Manipulasi Pasar Bikin Emas Batal Terbang Tinggi, Benarkah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 May 2020 16:51
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melemah lagi pada perdagangan Selasa (26/5/2020), meski masih bertahan di atas US$ 1.700/troy ons. Pada pukul 14:05 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.727,22/troy ons, melemah 0,11% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Sepanjang tahun ini hingga Senin kemarin emas sudah menguat 14%, tetapi emas dikatakan seharusnya bisa terbang lebih tinggi lagi. Adanya manipulasi pasar dikatakan menjadi penyebab emas belum terbang tinggi.

"Kita menyaksikan manipulator pasar finansial dalam skala dan frekuensi yang jarang terjadi sebelumnya. Kurangnya integritas dari pelaku pasar yang powerful menyebabkan ambruknya pasar finansial utama" kata Carol Alexander, profesor Finansial, di University of Sussex Business School, sebagaimana dilansir Kitco.

Analisis yang dilakukan oleh tim CryptoMarketRisk University of Sussex Business School melaporkan adanya manipulasi yang besar dan tidak diketahui oleh regulator.

"Tim CryptoMarketRisk dari University of Sussex Business School telah melacak transaksi dalam beberapa bulan dan mendapati adanya sell order yang sangat besar di emas berjangka (futures), aksi beli dan jual masif di tembaga futures, dan order palsu di bursa Cyrpto," tulis University of Sussex dalam website resminya di awal Mei lalu.



"Beberapa transaksi tunggal di COMEX (bursa komoditas di AS) begitu besar sehingga bisa menggerakkan pasar, jelas itu merupakan pelanggaran undang-undang tentang penyalahgunaan pasar di AS. Tetapi, akibat gejolak yang terjadi di pasar regulator seperti Commodity Futures Trading Commission (CFTC) banyak yang harus dikerjakan, sehingga manipulasi dalam skala besar bisa terlewatkan oleh regulator" tulis University of Sussex.

Manipulasi tersebut dikatakan menjadi alasan kenapa emas malah merosot pada pertengahan Maret lalu, ketika bursa saham global mengalami aksi jual.
Hasil studi yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan korelasi antara indeks S&P 500 dengan emas saat krisis finansial 2008 yang juga menyebabkan aksi jual di pasar saham global dengan yang terjadi saat ini. Pada tahun 2008, indeks S&P500 dan emas memiliki korelasi negatif hingga minus 40%. Korelasi minus artinya keduanya bergerak berlawan arah. Sementara di tahun ini, indeks S&P500 dan emas memiliki korelasi positif 20%, artinya pergerakannya searah.

"Saat terjadi aksi jual di pasar saham, analis akan memperkirakan terjadi peningkatan permintaan untuk emas dan bitcoin meningkat. Tetapi saat ini aset safe haven (seperti emas) memiliki perilaku yang sangat berbeda. Emas dan bitcoin turut anjlok bersama busa saham AS," tulis Alexander.

"Saat indeks S&P 500 ambrol di bulan Maret 2020, emas juga mencatat pekan terburuk dalam 8 tahun terakhir, padahal harusnya menjadi pekan terbaik bagi emas. Hal itu terjadi akibat adanya aksi short (jual) di emas berjangka (futures) COMEX," tambahnya.

Sebelum terjadi pandemi penyakit virus corona (Covid-19) sudah banyak yang memprediksi emas akan menguat. Ketika pandemi terjadi, emas diprediksi terbang tinggi.

Pada bulan April lalu, Bank of America (BofA) memprediksi harga emas akan ke US$ 3.000/US$ dalam 18 bulan ke depan. Analis dari BofA tersebut melihat perekonomian global yang mengalami resesi, kemudian stimulus fiskal serta peningkatan neraca bank sentral akan membuat pelaku pasar memburu emas sebagai investasi, sehingga harganya akan melonjak.

Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi.

Akibatnya bank sentral di berbagai negara menerapkan kebijakan ultra longgar dengan memangkas suku bunga bahkan menerapkan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset (quatitative easing/QE).

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang paling agresif, di bawah pimpinan Jerome Powell suku bunga dibabat habis hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat akibat pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.

Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011.



Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE akibat pandemi Covid-19.

Saat ini, tidak hanya bank sentral yang mengambil kebijakan agresif. Pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal guna menanggulangi Covid-19. Pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Kebijakan tersebut membuat perekonomian global banjir likuiditas, lagi-lagi kondisi yang menguntungkan bagi emas.

Kebijakan moneter dan fiskal tersebut membuat Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi dalam jangka panjang emas akan di atas US$ 4.000/troy ons

Hansen mengatakan pelaku pasar belum paham sepenuhnya bagaimana dampak kebijakan bank sentral dan pemerintah di berbagai negara ke pasar finansial.

"Dari perspektif investasi emas, ini bukan mengenai apa yang terjadi hari ini, besok, atau bulan depan, tetapi apa yang akan terjadi 6 sampai 12 bulan ke depan atau lebih dari itu" kata Hansen, sebagaimana dikutip Kitco.

Hansen memprediksi di akhir tahun ini harga emas berada di US$ 1.800/troy ons, kemudian mencetak rekor tertinggi di 2021, dan dalam jangka panjang berada di atas US$ 4.000/troy ons.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular