Kasus Corona Masih Nambah, Siapkah RI Menuju New Normal?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 May 2020 05:55
Terminal bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur sepi imbas dari COVID-19. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Terminal bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur sepi imbas dari COVID-19. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Seiring dengan penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang mulai mereda, berbagai negara gegap gempita menyambut kehidupan normal. Bukan normal seperti masa pra-corona, tetapi the new normal di mana protokol kesehatan dan pembatasan sosial (social distancing) tetap berlaku meski dosisnya dikurangi.

Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 24 Mei 2020 adalah 5.204.508 orang. Bertambah 101.502 orang atau 1,99% dibandingkan posisi sehari sebelumnya.

Meski masih terjadi penambahan, tetapi persentase lajunya melambat. Sejak 27 April, tambahan kasus sudah berada di bawah 3% per hari. Ini bisa menjadi pertanda awal bahwa virus corona sudah bisa dijinakkan.





Dengan penyebaran yang lebih terkendali, maka timbul pemikiran bahwa mungkin sudah saatnya manusia hidup berdampingan dengan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Awalnya, respons terhadap virus ini memang sangat ekstrem karena pemerintah di berbagai negara sampai meminta (bahkan melarang) warga keluar rumah dan berbagai aktivitas non-esensial harus ditutup untuk sementara.

Kasus corona yang melambat membuat sejumlah negara mengendurkan kebijakan social distancing. Bahkan di Amerika Serikat (AS), negara dengan jumlah pasien corona terbanyak di kolong langit, berbagai negara bagian sudah mulai membuka keran aktivitas masyarakat yang 'dikunci' selama berbulan-bulan.

Per 24 Mei, US Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona adalah 1.622.114 orang. Bertambah 26.229 orang atau 1,64 dibandingkan posisi per hari sebelumnya.



Namun, harus diakui bahwa 'serangan' corona di Negeri Paman Sam sudah jauh mereda dibandingkan sebelumnya. Sudah tujuh hari beruntun persentase pertumbuhan kasus corona berada di bawah 2%.

Oleh karena itu, pemerintah AS sudah berani melonggarkan social distancing (meski tidak sedikit suara yang kontra). Berbagai aktivitas sudah kembali berjalan.



Akan tetapi, situasi belum bisa kembali seperti dulu. Virus corona masih harus membuat manusia belum bisa berinteraksi dan berkontak seintim sebelumnya.

"Demi keamanan, dimohon berdiri 2 meter dari orang lain," demikian tulis pengumuman di sebuah stasiun pengisian bahan bakar di London, Inggris.

"Hai, cantik! Jangan lupa menjaga jarak aman!" tulis pengumuman di sebuah pusat perbelanjaan di Dubai, Uni Emirat Arab.

coronaReuters/Ahmed Jadallah

Ya, dunia memasuki era baru. Hidup berdampingan dengan virus mematikan memang harus hati-hati, salah sedikit nyawa bisa melayang.

Jadi walau warga sudah boleh beraktivitas di luar rumah, tetapi protokol kesehatan tetap harus ditegakkan, setidaknya sampai vaksin ditemukan dan sudah ada vaksinasi secara massal di seluruh dunia. Inilah yang disebut dengan the new normal.




Impian untuk menyambut the new normal juga hadir di Indonesia. Salah satu kajian di Kemenko Perekonomian mengungkapkan, bahkan aktivitas masyarakat sudah bisa dimulai kembali paling cepat 1 Juni. Namun sekali lagi, dengan protokol kesehatan yang masih berlaku.


coronaPresentasi Raden Pardede


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberi rambu-rambu bahwa wabah virus corona baru terkendali apabila rasio penularan (Rt) kurang dari satu selama 14 hari alias dua minggu. Sebab jika Rt masih di atas satu, maka artinya seorang pasien positif akan menulari orang-orang lain.


coronaBappenas

Sebenarnya tingkat penularan virus corona di Indonesia masih agak tinggi. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan jumlah pasien positif corona per 25 Mei adalah 22.750 orang. Bertambah 479 orang atau 2,15% dari posisi per hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pertumbuhan kasus corona di Tanah Air adalah 3,39% per hari. Lumayan jauh di atas rata-rata global yaitu 2,05% per hari.






Coba bandingkan dengan negara-negara tetangga. Berdasarkan catatan WHO, pertumbuhan kasus corona di Malaysia dalam 14 hari terakhir adalah 0,62% per hari. Sementara di Singapura adalah 2,35%, Filipina 1,88%, Thailand 0,07%, dan Vietnam 0,89%. Indonesia jauh di atas negara-negara ASEAN-6.

Belum lagi penambahan jumlah kasus di Indonesia kemungkinan masih akan tinggi mengingat jumlah tes yang minim. Saat ini jumlah uji corona yang sudah dilakukan adalah terhadap 296.946 spesimen. Masih di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (513.370), Thailand (375.453), atau Filipina (301.677).

Dengan jumlah populasi yang mencapai 273.223.931 (terbanyak keempat di dunia), artinya baru 940 per 1 juta penduduk Indonesia yang sudah menjalani uji corona. Lagi-lagi berada di bawah para tetangga.






Meski dari aspek kesehatan masih banyak catatan jika Indonesia ingin menuju new normal, tetapi sepertinya aspek ekonomi sulit untuk menunggu lebih lama lagi. Apabila aktivitas masih sangat terbatas seperti sekarang, maka prospek ekonomi Indonesia bakal semakin suram.

Pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sampai 3%, terendah sejak 2001. Kemungkinan besar pada kuartal berikutnya akan jauh lebih rendah, atau bahkan bisa kontraksi (tumbuh negatif) karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku penuh selama satu triwulan.



Pelambatan pertumbuhan atau bahkan kalau sampai kontraksi menunjukkan aktivitas ekonomi yang mengkerut. Itu berarti lapangan kerja juga ikut menyusut. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah pekerja yang dirumahkan atau mendapat 'vonis' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 12 Mei adalah 1.722.958 orang.


Semakin tinggi jumlah pengangguran, maka kemiskinan akan mengikuti. Kajian Bank Dunia menyatakan, kebijakan social distancing bisa membuat setidaknya 49 juta orang di seluruh dunia terjerumus ke jurang kemiskinan ekstrem.

Bahkan kajian Andy Sumner dari King's College (London) lebih seram lagi. Apabila pendapatan per kapita global anjlok sampai 20% gara-gara social distancing, maka jumlah penduduk yang berada di tingkat kemiskinan ekstrem bisa mencapai 420 juta jiwa. Hampir setara dengan populasi seluruh negara di Amerika Latin.


Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2019 adalah 24,79 juta jiwa. Turun dibandingkan Maret 2019 yang sebanyak 25,14 juta jiwa dan September 2018 yakni 25,67 juta jiwa.



Namun, pemerintah memperkirakan jumlah penduduk miskin bakal bertambah seiring perlambatan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini hanya 2,3%, maka jumlah penduduk miskin akan bertambah 1,89 juta orang. Kalau ekonomi Indonesia sampai terkontraksi -0,4%, maka penduduk miskin diperkirakan bertambah 4,86 juta orang.


Oleh karena itu, pilihannya yang ada memang sangat terbatas dan sulit. Social distancing memang bisa menyelamatkan ribuan bahkan jutaan nyawa. Namun jangan-jangan malah bakal merenggut lebih banyak nyawa karena orang-orang mati kelaparan.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji) Next Article Tsunami Corona India Bikin Rupee dan Bursa Saham Sengsara!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular