Defisit APBN Naik, Apakah Pasar Masih Kuat Biayai?

Haryanto, CNBC Indonesia
22 May 2020 12:56
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona telah meluluhlantakkan ekonomi dunia termasuk Indonesia. Oleh karena itu, untuk menangani pandemi ini diperlukan pembiayaan yang cukup besar termasuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pemerintah berencana kembali mengubah postur APBN 2020 dari yang disampaikan di dalam Perpres 54/2020. Defisit APBN 2020, yang tadinya sebesar 5,07% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), naik menjadi 6,27% terhadap PDB.

Seperti diketahui, Perpres No. 54/2020 adalah peraturan yang berisi tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perubahan postur APBN Tahun Anggaran 2020 ini berubah karena ada program pemulihan ekonomi nasional.

"Kami akan melakukan revisi Perpres dan menyampaikan ini ke Banggar dan Komisi XI DPR untuk memperesentasikan desain pemulihan ekonomi dan dampak postur APBN 2020," kata Sri Mulyani melalui video conference, Senin (18/5/2020).

Adapun Sri Mulyani merinci, pertumbuhan ekonomi pada 2020 diproyeksikan di kisaran minus 0,4% sampai positif 2,3%. Dari sebelumnya pada Perpres 54/2020 yang sebesar 2,4%.

Kemudian inflasi diperkirakan 2% hingga 4%. Dari yang sebelumnya diproyeksikan menyentuh 3,9%. Sementara untuk nilai tukar rupiah, dari Perpres 54/2020 yang sebesar Rp 17.500/US$ direvisi menjadi Rp 14.900/US$ hingga Rp 15.500/US$.

Dari hasil ini, didapatl defisit anggaran 6,27% atau sebesar Rp 1.028,5 triliun, dari sebelumnya pada Perpres 54/2020 sebesar 5,07% terhadap PDB atau sebesar Rp 852,9 triliun.

"Ini sudah menampung berbagai hal yang dimasukkan, tambahan subsidi untuk UMKM, diskon listrik diperpanjang tiga bulan jadi 6 bulan. Bansos tunai diperpanjang hingga Desember dengan bantuan menurun Rp 300 ribu," kata Sri Mulyani.

Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu No 1/2020 untuk menambah alokasi belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020. Pemerintah akan memiliki tambahan dana Rp 405,1 triliun untuk mengatasi dampak penyebaran virus corona melalui stimulus fiskal nya.

Sekitar Rp 150 triliun dana itu untuk pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang mencakup restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha. Kemudian senilai Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.

Kemudian, sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial (social safety net). Pemerintah juga akan menambah anggaran kartu sembako, kartu prakerja, dan subsidi listrik. Terakhir, Rp 70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).

Bertambahnya belanja APBN itu tentu menyebabkan defisit anggaran menjadi 5,07% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini melampaui batas ketentuan undang-undang yang dipatok di 3% dari PDB.

Pelebaran atau kenaikan defisit anggaran tersebut akan memicu pemerintah untuk menambah suplai penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) guna memenuhi sebagian pembiayaan dalam APBN 2020. Dimana pemerintah akan mengoptimalkan penerbitan melalui lelang, obligasi negara ritel (ORI) serta private placement.

Penerbitan obligasi dalam minggu-minggu terakhir ini dianggap cukup sukses atau berhasil, karena mengalami kelebihan permintaan (over subscribed). Pada Rabu pekan ini, pemerintah melakukan lelang enam seri Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) biasanya dilaksanakan setiap hari Selasa, dengan kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak 2,7 kali.

Sebelumnya, pemerintah juga melakukan lelang tujuh seri Surat Utang Negara (SUN). Target indikatif pada lelang tersebut sebesar Rp 20 triliun dengan target maksimal Rp 40 triliun, permintaan yang masuk senilai Rp 73,75 triliun, dan pemerintah memenangkan sebesar Rp 20 triliun dari tujuh seri tersebut, mengacu data DJPPR Kementerian Keuangan.

Mengacu dari hasil lelang yang masuk, investor cukup optimis terhadap aset pendapatan tetap (fixed income) ini. Hal tersebut terlihat dari pencapaian permintaan yang melewati target maksimal yang diproyeksikan pemerintah.

Artinya minat investor terhadap obligasi pemerintah sangat baik, dengan kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak 3,7 kali. Sementara pada lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Selasa sebelumnya (5/5/2020) terjadi oversubscribed sebanyak 2,3 kali, yang tercermin dari permintaan yang masuk senilai Rp 18,11 triliun  dengan target indikatif Rp 8 triliun.

Hal tersebut mencerminkan investor global terus memburu aset pendapatan tetap (fixed income) Tanah Air karena penawaran tingkat yield yang cenderung lebih tinggi. Sementara meningkatnya kekhawatiran ketegangan antara AS-China turut mendukung aset fixed income yang minim risiko.

Sukses dalam lelang-lelang tersebut, mencerminkan bahwa penyerapannya cukup bisa diandalkan untuk membiayai postur APBN 2020 yang berencana naik  menjadi sebesar Rp 1.028,5 triliun, kendati tidak seutuhnya hanya melalui pasar obligasi.

Negara yang ingin memperbaiki defisit anggarannya dapat melakukannya dengan cara penghematan belanja dan meningkatkan pendapatan. Cara penghematannya, seperti penghentian program yang tidak efektif, pemangkasan biaya operasional dan rutin lainnya, serta pemotongan subsidi.

Sementara dari sisi pendapatan, yang bisa digenjot juga dari pajak, selain dengan cara melakukan pinjaman dan mengeluarkan surat utang (obligasi).

TIM RISET CNBC INDONESIA


(har/har) Next Article Corona Terjang Ekspor Impor, Harga Obligasi RI Tak Berdaya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular