Rupiah Suka Melawan "Gravitasi", Apa Sebabnya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 May 2020 17:18
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Di bulan Maret, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang dapat memicu resesi dunia memicu kepanikan di pasar finansial global. Para investor menjual semua aset yang dimiliki, mulai dari aset berisiko hingga aset aman (safe haven) seperti emas tidak lepas dari sell off. Hingga saat itu muncul istilah "cash is the king", tetapi bukan sembarang cash, melainkan dalam bentuk dolar AS.

Dampaknya rupiah babak belur.

Tetapi selepas bulan Maret, kepanikan investor mulai mereda, hal tersebut tercermin pergerakan volatility index (VIX) yang terus menurun. VIX menjadi indikator ketakutan atau kepanikan pelaku pasar, semakin tinggi artinya pelaku pasar semakin panik dan melakukan aksi jual. Begitu juga sebaliknya, semakin turun berarti pelaku pasar sedang dalam mood yang bagus dan dengan tenang mengalirkan modalnya ke intrumen berisiko, yang tentunya memberikan imbal hasil tinggi.



Saat rupiah mengalami tekanan hebat hingga menyentuh Rp 16.620/US$ pada pertengahan Maret, lalu, volatility index sedang tinggi-tingginya, di atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008.

Padahal di bulan Januari, VIX rata-rata berada di bawah level 15. Bahkan jika melihat lebih ke belakang sejak awal 2019, volatility index selalu berada di bawah level 25.

Sejak mencapai level tertinggi 12 tahun pada pertengahan Maret lalu, VIX akhirnya terus menurun dan hari ini berada di bawah level 30. Sekali lagi penurunan tersebut artinya kepanikan investor global mulai mereda, mood perlahan membaik dan modal kembali dialirkan ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi, dan rupiah mendapat rejeki.

Imbal hasil atau yield obligasi Indonesia saat ini relatif tinggi. Senin kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,809%. Yield tersebut lebih tinggi ketimbang negara emerging market lainnya, apalagi negara maju.



Tabel di atas menunjukkan yield obligasi tenor 10 tahun baik negara-negara emerging market maupun negara maju. Yield obligasi Brasil dan Afrika Selatan memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi rating surat utang jangka panjang kedua negara tersebut belum masuk investment grade seperti Indonesia.m Sehingga secara risiko, Brasil dan Afrika Selatan lebih berisiko ketimbang Indonesia.

Tingginya yield tentunya menggoda pelaku pasar untuk kembali mengalirkan modalnya ke Indonesia yang akhirnya membuat rupiah perkasa.

Selain itu, tidak adanya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia juga mempengaruhi sentimen pelaku pasar. Memang saat ini jumlah kasus masih dalam tren naik, tetapi jika dilihat penambahan per harinya cenderung stabil. Persentase penambahan kasus per harinya sebesar 5% ke bawah sudah sejak 25 April lalu.



Pemodelan yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait jumlah kasus Covid-19 sebelumnya memperkirakan jumlah kasus di akhir April sebanyak 27.307 kasus. Tetapi pada kenyataannya, di akhir April jumlah kasus sebanyak 10.118 orang, jauh di bawah pemodelan BIN.

Laju penambahan kasus yang terkendali tersebut menimbulkan dua persepsi, yang pertama penanganan dari pemerintah yang efektif meredam penyebaran, dan yang kedua masih sedikitnya warga yang dites.

Meski demikian, rasa optimistis tetap muncul di pasar apalagi setelah Bank Indonesia menggelontorkan stimulus moneter yang hingga saat ini diklaim sebesar Rp 583 triliun, sementara pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal senilai Rp 405,1 triliun. Semua stimulus tersebut dikucurkan guna menanggulangi pandemi Covid-19 dan membangkitkan lagi perekonomian.

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular