Rupiah Suka Melawan "Gravitasi", Apa Sebabnya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 May 2020 17:18
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah belakangan menguat tipis-tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS), padahal mata uang utama Asia terus melemah. Mata Uang Garuda seolah melawan "gravitasi" yang seharusnya membuatnya melemah.

Senin kemarin contohnya, rupiah mampu menguat 0,07% di saat mayoritas mata uang utama melemah melawan dolar AS. Sementara pada hari ini, Selasa (19/5/2020) rupiah menguat cukup tajam 0,47% ke Rp 14.750/US$, begitu juga dengan mayoritas mata uang utama Asia lainnya.

Intervensi Bank Indonesia (BI) sepertinya bukan menjadi alasan rupiah melawan "gravitasi" dalam beberapa hari terakhir. BI di bawah komando Gubernur Perry Warjiyo menerapkan kebijakan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder guna menstabilkan rupiah.

Tetapi intervensi BI belakangan ini sangat minim, di pasar DNDF misalnya, berdasarkan data Refinitiv, kurs DNDF hari ini terakhir update pada pukul 9:01 WIB, awal pekan kemarin juga sama pada pukul 9:08 WIB. Artinya tidak ada tekanan jual rupiah di pasar DNDF sehingga BI tidak banyak melakukan intervensi. 



Kemudian di pasar SBN, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, nilai SBN yang dimiliki BI di akhir April lalu sebesar Rp 261,71 triliun, bertambah 6,61 triliun dibandingkan posisi akhir April. Meski bertambah, tetapi jauh lebih rendah ketimbang penambahan bulan Maret lalu Rp 139,97 triliun, yang artinya intervensi BI di pasar SBN juga minim di bulan April

Minimnya intervensi BI di bulan April juga terlihat dari kenaikan cadangan devisa di bulan lalu. Pada Jumat (8/5/2020) BI melaporkan kenaikan cadangan devisa pada April sebesar US$ 127,9 miliar, atau naik US$ 6,9 miliar dari bulan sebelumnya. Memang penerbitan global bond pemerintah membantu penambahan devisa tersebut, tetapi penguatan tajam rupiah di bulan April (lebih dari 9%) dan kenaikan cadangan devisa bisa memberikan gambaran minimnya intervensi BI.

Bandingkan dengan bulan Maret saat rupiah babak belur, ambles lebih dari 13% bahkan sempat menyentuh level Rp 16.620/US$, yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Saat itu, guna menstabilkan rupiah, BI melakukan intervensi hingga cadangan devisa tergerus US$ 9,4 miliar menjadi US$ 121 miliar.


[Gambas:Video CNBC]




Di bulan Maret, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang dapat memicu resesi dunia memicu kepanikan di pasar finansial global. Para investor menjual semua aset yang dimiliki, mulai dari aset berisiko hingga aset aman (safe haven) seperti emas tidak lepas dari sell off. Hingga saat itu muncul istilah "cash is the king", tetapi bukan sembarang cash, melainkan dalam bentuk dolar AS.

Dampaknya rupiah babak belur.

Tetapi selepas bulan Maret, kepanikan investor mulai mereda, hal tersebut tercermin pergerakan volatility index (VIX) yang terus menurun. VIX menjadi indikator ketakutan atau kepanikan pelaku pasar, semakin tinggi artinya pelaku pasar semakin panik dan melakukan aksi jual. Begitu juga sebaliknya, semakin turun berarti pelaku pasar sedang dalam mood yang bagus dan dengan tenang mengalirkan modalnya ke intrumen berisiko, yang tentunya memberikan imbal hasil tinggi.



Saat rupiah mengalami tekanan hebat hingga menyentuh Rp 16.620/US$ pada pertengahan Maret, lalu, volatility index sedang tinggi-tingginya, di atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008.

Padahal di bulan Januari, VIX rata-rata berada di bawah level 15. Bahkan jika melihat lebih ke belakang sejak awal 2019, volatility index selalu berada di bawah level 25.

Sejak mencapai level tertinggi 12 tahun pada pertengahan Maret lalu, VIX akhirnya terus menurun dan hari ini berada di bawah level 30. Sekali lagi penurunan tersebut artinya kepanikan investor global mulai mereda, mood perlahan membaik dan modal kembali dialirkan ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi, dan rupiah mendapat rejeki.

Imbal hasil atau yield obligasi Indonesia saat ini relatif tinggi. Senin kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,809%. Yield tersebut lebih tinggi ketimbang negara emerging market lainnya, apalagi negara maju.



Tabel di atas menunjukkan yield obligasi tenor 10 tahun baik negara-negara emerging market maupun negara maju. Yield obligasi Brasil dan Afrika Selatan memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi rating surat utang jangka panjang kedua negara tersebut belum masuk investment grade seperti Indonesia.m Sehingga secara risiko, Brasil dan Afrika Selatan lebih berisiko ketimbang Indonesia.

Tingginya yield tentunya menggoda pelaku pasar untuk kembali mengalirkan modalnya ke Indonesia yang akhirnya membuat rupiah perkasa.

Selain itu, tidak adanya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia juga mempengaruhi sentimen pelaku pasar. Memang saat ini jumlah kasus masih dalam tren naik, tetapi jika dilihat penambahan per harinya cenderung stabil. Persentase penambahan kasus per harinya sebesar 5% ke bawah sudah sejak 25 April lalu.



Pemodelan yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait jumlah kasus Covid-19 sebelumnya memperkirakan jumlah kasus di akhir April sebanyak 27.307 kasus. Tetapi pada kenyataannya, di akhir April jumlah kasus sebanyak 10.118 orang, jauh di bawah pemodelan BIN.

Laju penambahan kasus yang terkendali tersebut menimbulkan dua persepsi, yang pertama penanganan dari pemerintah yang efektif meredam penyebaran, dan yang kedua masih sedikitnya warga yang dites.

Meski demikian, rasa optimistis tetap muncul di pasar apalagi setelah Bank Indonesia menggelontorkan stimulus moneter yang hingga saat ini diklaim sebesar Rp 583 triliun, sementara pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal senilai Rp 405,1 triliun. Semua stimulus tersebut dikucurkan guna menanggulangi pandemi Covid-19 dan membangkitkan lagi perekonomian.

Mood investor global yang membaik dan aliran modal ke dalam negeri bisa juga tergambar dari hasil survei 2 mingguan Reuters, yang menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi short (jual) rupiah sejak awal April.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (14/5/2020) lalu menunjukkan angka 0,21, turun jauh dari rilis sebelumnya 30 April sebesar 0,58. Angka tersebut menunjukkan penurunan dalam 4 survei beruntun, yang sejalan dengan penguatan rupiah di sejak bulan April.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Semakin rendahnya angkat positif di hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar semakin menurunkan posisi long dolar AS, yang berarti short rupiah semakin menurun. Artinya, pelaku pasar perlahan-lahan kembali memburu rupiah sebagai aset investasi. 



Di bulan Maret, rupiah mengalami gejolak, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Hasil survei Reuters kala itu menunjukkan angka 1,57, artinya posisi jual rupiah sedang tinggi.

Sementara itu sebelum bulan Maret, hasil survei Reuters tersebut selalu menunjukkan angka minus (-) yang berarti pelaku pasar mengambil posisi short dolar AS dan long rupiah. Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.



Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

Dengan terus menurunnya angka positif di survei Reuters tersebut, artinya perlahan rupiah mulai dicintai lagi oleh pelaku pasar. Jika pada survei berikutnya sudah menjadi minus lagi, peluang rupiah untuk terus menguat akan terbuka lebar.




TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular