
Efek Covid-19
50 Lebih Emiten Cuma Kuat Sampai Juni, Ini Sektor Tersengsara
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
13 May 2020 10:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak virus corona (Covid-19) sangat signifikan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penurunan pendapatan membuat arus kas (cashflow) terganggu, karena emiten-emiten tersebut harus mengeluarkan biaya operasi yang sama pada saat normal sementara pendapatan turun drastis.
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyebutkan lebih dari 50 perusahaan yang mencatatkan saham di BEI atau emiten mulai mengalami kesulitan cashflow karena dampak pandemi Covid-19. Kemampuan kas untuk mendukung operasional emiten-emiten tersebut hanya kuat hingga Juni 2020.
Wakil Ketua Umum AEI, Bobby Gafur Umar menuturkan, kondisi pandemi ini menyebabkan hampir seluruh bisnis tertekan karena aktivitas ekonomi nyaris terhenti.
Akibatnya, perusahaan di sektor pariwisata, maskapai penerbangan, perhotelan, ritel, pengelola mall, UMKM, properti yang kehilangan pendapatan dan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan karyawan.
Untuk tetap bertahan, perusahaan di sektor ini menempuh berbagai cara untuk menyelamatkan bisnis, antara lain melakukan negosiasi dengan bank untuk memberikan kelonggaran dari sisi pembayaran pokok maupun bunga utang.
"Sekarang pun banyak yang sudah kesulitan. Lebih dari 50 perusahaan anggota AEI menyatakan tidak kuat [cashflow], yang ekstrem mereka melakukan negosiasi ke bank, merumahkan karyawan," kata Bobby, kepada CNBC Indonesia, Senin (11/5/2020).
Bobby menyebut, situasi pandemi ini memang sangatlah berat. Saat perusahaan sudah tidak kuat lagi secara keuangan, yang terjadi adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang tentu tidak hanya akan berdampak kepada ekonomi, melainkan juga dampak sosial.
"Ini yang menyebabkan faktor risiko naik," kata Bobby yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Energi, Minyak, dan Gas ini.
Upaya pemerintah yang sedang merancang pelonggaran pembatasan sosial secara bertahap dan akan mengakhiri masa tanggap darurat pada 29 Mei 2020 diharapkan bisa segera mempercepat pemulihan.
Pada kuartal I-2020 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun tajam menjadi 2,97% dari periode akhir 2019 sama di 5,04% Bahkan, pemerintah memproyeksikan, pada skenario paling berat, pertumbuhan ekonomi akan minus 0,4%.
Bobby menanbahkan, agar tak tertekan lebih dalam lagi, pemerintah harus membantu dunia usaha dengan memberikan likuiditas yang cukup kepada perbankan agar nantinya bank dapat memberikan paket relaksasi kepada sektor-sektor bisnis untuk kembali memulihkan perekonomian nasional.
Sebab, insentif yang selama ini diberikan seperti penurunan pajak dari 25% menjadi 22% belum dapat dilakukan perusahaan karena tiadanya pendapatan.
Relaksasi yang bisa diberikan, katanya, bisa melalui penundaan dari sisi pembayaran bunga atau pokok utang. Sebabnya, kata Bobby, masih banyak anggota AEI yang memiliki utang ke perbankan.
"Ini harus ditolong, Bank Indonesia harus mendukung bank melakukan penundaan pembayaran pokok dan bunga. Bank menyediakan berbagai paket untuk menyelamatkan perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan, karena kalau bangkrut, PHK, ini akan bahaya," jelasnya lagi.
Direktur Utama CSA Institute, Aria Samata Santoso, mengatakan, penyebaran pandemi jika belum bisa dihentikan hingga kuartal kedua tahun ini akan menyebabkan kian banyak perusahaan di sektor keuangan, properti, konstruksi, manufaktur dan perdagangan kesulitan likuiditas.
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyebutkan lebih dari 50 perusahaan yang mencatatkan saham di BEI atau emiten mulai mengalami kesulitan cashflow karena dampak pandemi Covid-19. Kemampuan kas untuk mendukung operasional emiten-emiten tersebut hanya kuat hingga Juni 2020.
Wakil Ketua Umum AEI, Bobby Gafur Umar menuturkan, kondisi pandemi ini menyebabkan hampir seluruh bisnis tertekan karena aktivitas ekonomi nyaris terhenti.
Untuk tetap bertahan, perusahaan di sektor ini menempuh berbagai cara untuk menyelamatkan bisnis, antara lain melakukan negosiasi dengan bank untuk memberikan kelonggaran dari sisi pembayaran pokok maupun bunga utang.
"Sekarang pun banyak yang sudah kesulitan. Lebih dari 50 perusahaan anggota AEI menyatakan tidak kuat [cashflow], yang ekstrem mereka melakukan negosiasi ke bank, merumahkan karyawan," kata Bobby, kepada CNBC Indonesia, Senin (11/5/2020).
Bobby menyebut, situasi pandemi ini memang sangatlah berat. Saat perusahaan sudah tidak kuat lagi secara keuangan, yang terjadi adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang tentu tidak hanya akan berdampak kepada ekonomi, melainkan juga dampak sosial.
"Ini yang menyebabkan faktor risiko naik," kata Bobby yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Energi, Minyak, dan Gas ini.
Upaya pemerintah yang sedang merancang pelonggaran pembatasan sosial secara bertahap dan akan mengakhiri masa tanggap darurat pada 29 Mei 2020 diharapkan bisa segera mempercepat pemulihan.
Pada kuartal I-2020 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun tajam menjadi 2,97% dari periode akhir 2019 sama di 5,04% Bahkan, pemerintah memproyeksikan, pada skenario paling berat, pertumbuhan ekonomi akan minus 0,4%.
Bobby menanbahkan, agar tak tertekan lebih dalam lagi, pemerintah harus membantu dunia usaha dengan memberikan likuiditas yang cukup kepada perbankan agar nantinya bank dapat memberikan paket relaksasi kepada sektor-sektor bisnis untuk kembali memulihkan perekonomian nasional.
Sebab, insentif yang selama ini diberikan seperti penurunan pajak dari 25% menjadi 22% belum dapat dilakukan perusahaan karena tiadanya pendapatan.
Relaksasi yang bisa diberikan, katanya, bisa melalui penundaan dari sisi pembayaran bunga atau pokok utang. Sebabnya, kata Bobby, masih banyak anggota AEI yang memiliki utang ke perbankan.
"Ini harus ditolong, Bank Indonesia harus mendukung bank melakukan penundaan pembayaran pokok dan bunga. Bank menyediakan berbagai paket untuk menyelamatkan perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan, karena kalau bangkrut, PHK, ini akan bahaya," jelasnya lagi.
Direktur Utama CSA Institute, Aria Samata Santoso, mengatakan, penyebaran pandemi jika belum bisa dihentikan hingga kuartal kedua tahun ini akan menyebabkan kian banyak perusahaan di sektor keuangan, properti, konstruksi, manufaktur dan perdagangan kesulitan likuiditas.
Pages
Most Popular