'Dihajar' Luar-Dalam, Rupiah Tetap Tegar di Bawah 15.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 May 2020 12:18
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (12/5/2020), meski masih di bawah level psikologis Rp 15.000/US$. Sentimen negatif "menghajar" rupiah baik dari luar maupun dalam negeri.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,4% di Rp 14.910/US$. Depresiasi rupiah semakin membesar hingga 0,84% ke Rp 14.975/US$ yang menjadi level terlemah intraday.

Setelahnya rupiah berhasil memangkas pelemahan dan berada di level Rp 14.890/US$ atau melemah 0,27% pada pukul 12:00 WIB, melansir data Refinitiv.

Tekanan dari eksternal membuat rupiah langsung melemah begitu perdagangan hari ini dibuka. Pelaku pasar kembali dibuat was-was, China dan Korea Selatan yang sebelumnya sudah "menang" melawan virus corona kini harus kembali siaga akibat adanya potensi penyebaran gelombang kedua. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%.



Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi. Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar.

Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.

Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.

Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.

Hal ini tentunya membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan "serangan" Covid-19 gelombang kedua ke negara-negara yang sudah melonggarkan karantina wilayah (lockdown) atau social distancing.

Selain China, dan Korea Selatan, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga sudah mulai melonggarkan lockdown, sehingga akan menjadi perhatian apakan kasus Covid-19 kembali mengalami peningkatan, atau terus menunjukkan tren penurunan.


[Gambas:Video CNBC]





Dari dalam negeri, lagi-lagi data ekonomi menunjukkan dampak negatif Covid-19. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Maret 2020 turun 4,5% year-on-year (yoy). Pada April, penjualan ritel diperkirakan turun lebih dalam.

"Hasil Survei Penjualan Eceran mengindikasikan berlanjutnya penurunan penjualan eceran pada Maret 2020. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Maret 2020 yang turun -4,5% (yoy), lebih dalam dibandingkan -0,8% (yoy) pada Februari 2020," demikian sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Selasa (12/5/2020).

Penurunan tersebut, lanjut keterangan BI, bersumber dari kontraksi penjualan pada hampir seluruh kelompok komoditas yang dipantau, kecuali kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau yang tetap solid. Penurunan penjualan eceran terdalam terjadi pada kelompok Barang Lainnya, khususnya subkelompok Sandang.

Pada April, BI memperkirakan penjualan ritel semakin terkontraksi (tumbuh negatif). Bahkan jauh lebih dalam yaitu -11,8% yoy.



Data tersebut memberikan tekanan tambahan bagi rupiah. Meski demikian, terpuruknya data-data ekonomi sudah terjadi dalam beberapa pekan terakhir, dan pelaku pasar sudah mengantisipasi hal tersebut. Karenanya, nilai tukar rupiah tidak mengalami pelemahan signifikan.

Pada pekan lalu, BI melaporkan indeks keyakinan konsumen (IKK) April 2020 sebesar 84,8. Turun drastis dari bulan sebelumnya yaitu 113,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2008.

Angka indeks di bawah 100 berarti konsumen Indonesia pesimistis melihat prospek ekonomi di masa yang akan datang.

"Melemahnya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menurunnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan penurunan terdalam pada indeks penghasilan saat ini dan ketersediaan lapangan kerja," sebut keterangan BI, Rabu (6/5/2020).

"Sementara di sisi ekspektasi, konsumen masih relatif optimis terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang meskipun tidak sekuat perkiraan bulan sebelumnya. Optimisme tersebut ditopang oleh perkiraan penghasilan yang meningkat dan kegiatan usaha yang kembali membaik pada 6 bulan mendatang, seiring dengan perkiraan telah meredanya pandemi COVID-19 di Indonesia."


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular