
AEI: Cashflow Emiten di Bursa Banyak yang Tak Kuat Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyatakan lebih dari 50 emiten anggotanya mengalami kesulitan arus kas (cashflow) karena terguncang pandemi Covid-19. Emiten pun mencari segala cara menyelamatkan bisnis, melalui negosiasi ke perbankan agar tidak mengalami kebangkrutan.
Wakil Ketua Umum AEI, Bobby Gafur Umar menuturkan, kondisi pandemi ini menyebabkan hampir seluruh bisnis tertekan karena aktivitas ekonomi nyaris tidak bergerak.
Akibatnya, perusahaan di sektor pariwisata, maskapai penerbangan, perhotelan, ritel, pengelola mall, UMKM, properti yang kehilangan pendapatan dan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan karyawan.
"Lebih dari 50 perusahaan anggota AEI menyatakan tidak kuat [cashflow], yang ekstrem mereka melakukan negosiasi ke bank, merumahkan karyawan," kata Bobby, kepada CNBC Indonesia, Senin (11/5/2020).
"Sampai satu titik perusahaan tidak kuat, terjadi gelombang PHK, ini dampaknya tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial. Ini yang menyebabkan faktor risiko naik," imbuhnya lagi.
AEI menilai, meski pemerintah sedang merancang pelonggaran pembatasan sosial secara bertahap dan akan mengakhiri masa tanggap darurat pada 29 Mei 2020, hal ini tidak akan cukup banyak memulihkan perekonomian Tanah Air yang sudah pontang-panting.
Di kuartal I-2020 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun tajam menjadi 2,97% dari periode akhir 2019 sama di 5,04% Bahkan, pemerintah memproyeksikan, pada skenario paling berat, pertumbuhan ekonomi akan minus 0,4%.
Ketidakpastian inilah, kata Bobby yang membuat faktor risiko ketidakpastian meningkat dan menyebabkan investor asing melakukan aksi jual bersih. Tercatat, arus modal keluar dari pasar saham sudah mencapai Rp 21 triliun sejak awal tahun. Kondisi yang sama juga terjadi di instrumen surat berharga negara (SBN).
Atas kondisi tersebut, kata dia, pemerintah harus membantu dengan memberikan likuiditas yang cukup kepada perbankan agar nantinya bank memberikan relaksasi kepada sektor-sektor bisnis yang langsung terkena dampak pandemi selain pemberian insentif pajak badan usaha yang diturunkan dari 25% menjadi 22%. Namun, hal ini juga belum bisa dilakukan perusahaan karena tiadanya pendapatan.
Relaksasi yang bisa diberikan, katanya bisa melalui penundaan dari sisi pembayaran bunga atau pokok utang. Sebabnya, kata Bobby, masih banyak anggota AEI yang memiliki utang ke perbankan.
"Ini harus ditolong, Bank Indonesia harus mendukung bank melakukan penundaan pembayaran pokok dan bunga. Bank menyediakan berbagai paket untuk menyelamatkan perusahaan agar tidak terjadi kebangkrutan, karena kalau bangkrut, PHK, ini akan bahaya," jelasnya lagi.
Direktur Utama CSA Institute, Aria Samata Santoso, mengatakan, penyebaran pandemi jika belum bisa dihentikan hingga kuartal kedua tahun ini akan menyebabkan kian banyak perusahaan di sektor keuangan, properti, konstruksi, manufaktur dan perdagangan kesulitan likuiditas.
Akan tetapi, adanya kebijakan pelonggaran secara bertahap uang dilakukan pemerintah sedikit banyak akan cukup menolong agar perekonomian perlahan kembali bangkit.
"Pelonggaran PSBBÂ [pembatasan sosial berskala besar] akan sangat menolong untuk kembali menggerakkan roda perekonomian dan keberlangsungan bisnis banyak emiten. Walaupun belum kembali 100%, setidaknya aktivitas bisnis akan secara bertahap berangsur pulih," katanya kepada CNBC Indonesia.
(tas/tas) Next Article Jadi Daya Tarik, Emiten Gak Sabar Omnibus Law Diterapkan 2020
