Round Up

Rakyat RI Bakal Hidup Normal, Rupiah Buktikan Ketangguhannya

Haryanto, CNBC Indonesia
09 May 2020 14:25
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika Serikat (greenback) pada perdagangan sepekan ini (week-on-week/WoW) terkoreksi tipis 0,44% 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.890/US$ pada penutupan Jumat (8/5/2020). Namun nilai tukar rupiah pekan ini relatif masih terjaga seiring dengan harapan kondisi normal akan terjadi pada Juni mendatang dan cadangan devisa yang bertambah.

Pada perdagangan Jumat kemarin (8/5/2020), nilai tukar rupiah menguat 0,60% dari penutupan sebelumnya di hari Rabu (6/5/2020) kala rupiah dihargai Rp 14.980/US$, mengacu data dari Refinitiv. Hari Kamis  (7/5/2020) pasar ditutup untuk libur Hari Buruh (May Day).

Penguatan ini terdorong oleh sejumlah negara yang sudah mulai melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) termasuk rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam beberapa fase mulai 1 Juni 2020, sehingga roda perekonomian bisa mulai berputar kembali.


 

 

Selain itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan kenaikan cadangan devisa di bulan April. Kenaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah. Cadangan devisa Indonesia pada April 2020 tercatat sebesar US$ 127,9 miliar, atau naik US$ 6,9 miliar dari bulan sebelumnya.

Dengan penguatan hari Jumat kemarin, rupiah sekali lagi menjadi juara alias mata uang dengan kinerja terbaik di Asia pada perdagangan akhir pekan (8/5). Rabu lalu, rupiah juga menjadi juara Asia meski mengarungi mayoritas perdagangan di zona merah.

Kendati rupiah menguat pada perdagangan Jumat, namun menengok performa mata uang kawasan Asia lainnya selama sepekan ini, rupiah menjadi yang terburuk kedua setelah ringgit Malaysia. Sementara mata uang yang paling menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) adalah baht Thailand. 

Mata UangFoto: Table
Mata Uang

 

Koreksi rupiah sepekan terjadi di tengah memburuknya sentimen pelaku pasar setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor terhadap produk China akibat cara penanganan virus corona yang dilakukan China sehingga menjadi pandemi global.

Hal ini dikatakan Trump dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4/2020) waktu setempat. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya babak baru perang dagang AS-China jilid dua tentunya memberikan gejolak di pasar keuangan dunia termasuk Indonesia. Ketika geopolitik terjadi maka aset aman (safe haven) seperti dolar AS menjadi perburuan investor, sehingga menekan rupiah.

Pelemahan rupiah juga dipicu oleh rilis data dari dalam negeri yang menunjukkan bahwa PMI Manufaktur IHS Markit Indonesia merosot ke 27,5 pada bulan April 2020 dari 45,3 pada Maret.

 

Angka ini menunjukkan kontraksi paling curam dalam catatan, karena langkah-langkah untuk menahan pandemi virus corona menyebabkan penutupan pabrik dan permintaan yang menurun. Sementara output, pesanan baru, dan lapangan kerja semua turun paling banyak sejak survei dimulai pada April 2011.

Selain itu, tingkat inflasi tahunan Indonesia turun menjadi 2,67% pada April 2020, terendah sejak Maret tahun lalu dan di bawah ekspektasi pasar untuk pembacaan 2,77%. Sementara untuk skala bulanan inflasi turun ke 0,08% dari 0,1% di bulan sebelumnya.

Suramnya data ekonomi Indonesia membuat investor dan pelaku pasar pesimisme terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat ini dan ke depan di tengah pandemi virus corona, sehingga turun menekan performa mata uang Garuda.

Lalu bagaimana performa rupiah terhadap mata uang Asia lainnya?

Jika menengok performa rupiah terhadap mata uang kawasan Asia lainnya, rupiah hanya menguat terhadap ringgit Malaysia dan flat terhadap won Korea, sedangkan yang paling melemah adalah terhadap dolar Australia (Aussie).

Sementara nilai tukar rupiah jika dibandingkan dengan mata uang zona Eropa justru mengalami penguatan dan paling menguat terhadap mata uang euro.

 

RupiahFoto: Table
Rupiah

 

Ke depan rupiah masih cukup berfluktuasi dan risiko terjadinya kemerosotan ekonomi akibat pandemi virus corona (Covid-19) masih tinggi. Oleh karena itu, Fitch Solutions memprediksi mata uang Asia masih berisiko mengalami aksi jual dan rupiah menjadi salah satu yang berisiko kembali mengalami pelemahan.

"Kami memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan pasar finansial global akan kembali mengalami volatilitas, yang akan membebani rupiah Indonesia, yang memiliki ketergantungan dengan aliran modal (hot money)" tulis Fitch Solutions.

Oleh sebab itu, Fitch Solutions memprediksi rupiah akan berada di level Rp 16.500/US$ di akhir tahun ini.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Hal tersebut sangat kentara pada bulan Maret lalu, ketika rupiah babak belur. Rupiah sepanjang Maret merosot 13,67%, bahkan sempat menyentuh Rp 16.620/US$ yang menjadi level terlemah sejak krisis moneter 1998.



[Gambas:Video CNBC]




 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular