Rumahkan 1,5 Juta Karyawan, Apa Kabar Emiten Tekstil?

Haryanto, CNBC Indonesia
08 May 2020 06:37
[THUMB] Tsunami Tekstil
Foto: Topik/Tsunami Tekstil/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Beratnya biaya operasional sejumlah perusahaan tekstil di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna meredam penyebaran pandemi virus corona (COVID-19) berdampak pula kondisi keuangan emiten tekstil yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Apalagi sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita juga menyampaikan bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) secara umum telah merumahkan 1,5 juta karyawan sebagai dampak pandemi corona.

Sektor ini sempat dianggap paling rendah risiko terdampak corona karena menopang sektor alat kesehatan seperti alat pelindung diri (APD). Namun faktanya, Menperin menyebut, industri TPT merupakan salah satu kelompok yang suffered (menderita) di tengah penerapan skema PSBB.

Di Bursa Efek Indonesia, ada lebih dari 20 emiten tekstil dan produk tekstil serta jasa pendukung lainnya yang masuk dalam sektor Aneka Industri, Sub-sektor Tekstil. 

Sebab itu, Tim Riset CNBC Indonesia mencoba membedah kondisi emiten TPT, khususnya seberapa tinggi rasio utang perusahaan tekstil di BEI. Parameter yang dipakai ialah tingkat utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio/DER). Besaran DER ini nantinya berpengaruh pada ukuran kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban.

DER adalah rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas. Rasio ini sering digunakan para analis dan para investor untuk melihat seberapa besar utang perusahaan jika dibandingkan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan atau para pemegang saham.

Jika rasionya meningkat, ini artinya perusahaan dibiayai oleh kreditor (pemberi utang) dan bukan dari sumber keuangannya sendiri yang mungkin merupakan tren yang cukup berbahaya.

Pemberi pinjaman dan investor biasanya memilih emiten dengan DER yang rendah karena kepentingan mereka lebih terlindungi jika terjadi penurunan bisnis pada perusahaan yang bersangkutan.

Dengan demikian, perusahaan yang memiliki DER tinggi cenderung terbatas dalam menarik tambahan modal dengan pinjaman dari pihak lain.

Berikut ulasan terkait dengan emiten sub-sektor tekstil dari levelDER tertinggi hingga terendah, berdasarkan laporan keuangan 2019, dan sebagian September 2019:

Emiten TekstilFoto: Emiten tekstil, periode lapkeu 2019-2018 dan sebagian September 2019. Harga saham penutupan Rabu 6 Mei 2020.


Mengacu data di atas, Century Textile Industry punya DER cukup tinggi yakni 25,7 kali dengan kewajiban total mencapai US$ 47,8 juta atau setara Rp 741 miliar (asumsi kurs Rp 15,500/US$), padahal ekuitasnya hanya US$ 1,86 juta atau Rp 29 miliar.

Sementara DER terendah dicatatkan Tifico Fiber Indonesia sebesar 0,06 kali, kewajibannya mencapai US$ 17,98 juta atau Rp 279 miliar, sementara ekuitas lebih besar yakni US$ 292,69 juta atau Rp 4,53 triliun.

Data ini memakai laporan keuangan Desember 2019-2018, kecuali ADMG, ARGO, ERTX, HDTX, MYTX, PBRX, RICY, SSTM, TFCO, dan UNIT yang memakai lapkeu September 2019-Desember 2018.

Berkaitan dengan nilai DER, memang sangat sulit ditemui perusahaan yang memiliki nilai DER kurang dari 1 kali, kecuali perusahaan tersebut merupakan perusahaan berskala kecil. Perusahaan berskala menengah ke atas umumnya memiliki nilai DER yang lebih dari 1 kali.

Hal ini dapat dimaklumi, dan bukan merupakan lampu merah bagi para investor untuk menanam modal di perusahaan besar tersebut. Umumnya, besarnya DER yang dapat ditoleransi adalah berkisar antara 1,5 hingga 2 kali. Untuk perusahaan berskala besar, nilai DER yang bernilai lebih dari 2 kali masih bisa ditolerir.

Secara garis besar, DER merupakan salah satu indikator yang penting untuk melihat perekonomian suatu perusahaan. Debt to equity ratio dapat menunjukkan tingkat kemandirian finansial perusahaan berkaitan dengan utang. Semakin rendah nilai DER, maka semakin bagus.

VP Equity Research RHB Sekuritas, Christopher Andre Benas mengatakan, bahwa emiten di sektor tekstil pada tahun ini mengalami tantangan yang cukup berat, permintaan dari peritel global yang melemah akibat pandemi dan beberapa toko yang harus tutup tentunya akan berimbas negatif terhadap pendapatan.


Selain itu, kata dia, emiten tekstil, dari sisi profitabilitas juga relatif kecil dan cenderung memiliki profil risiko utang yang besar.

"Kalau tekstil memang dari sahamnya bisa dibilang kurang ada menarik, yang kita tahu low profitability margin kecil, banyak utang, kalau tidak ada turnover akan tertekan," kata Christopher, Selasa (28/4/2020).

Dalam kesempatan sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan TPT sebetulnya sudah mendiversifikasi bisnis dengan membuat APD (alat pelindung diri). Hanya saja faktanya dampak masih terasa.

"Padahal kita tau bahwa asosiasi pertekstilan dan produk tekstil saat ini mereka sedang melakukan diversifikasi, dari tadinya memproduksi garmen dan tekstil, mereka diversifikasi membuat APD, masker dan sebagainya," jelas Agus dalam interview virtual dengan
CNBC Indonesia, Senin (20/4/2020).

[Gambas:Video CNBC]

 

Lebih lanjut Menperin mengatakan saat ini fokus pemerintah yakni terus memberikan pendampingan agar industri yang sedang terdampak tidak semakin terpuruk. Salah satunya industri tekstil yang bisa mengelola kebutuhan di tengah pandemi.

"Sebagai supply chain karena yang banyak suffered (menderita) industri kecil dan menengah, itu berkaitan dengan stimulus, program-program yang skalanya besar. Jadi saya juga termasuk yang ikut secara intensif pembahasan stimulus terutama industri manufaktur. Dalam waktu dekat akan diumumkan pemerintah," ujarnya.

Pemerintah memang sempat memetakan sektor yang paling rentan sampai yang paling kuat dari hantaman corona.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat secara urutan sektor yang paling kena dampak sampai yang justru diuntungkan karena corona, antara lain pariwisata, konstruksi, transportasi darat-laut-udara, pertambangan, keuangan, otomotif, usaha mikro kecil dan menengah, pertanian, jasa logistik, jasa telekomunikasi, elektronika, makanan dan minuman, kimia-farmasi-alat kesehatan, dan terakhir TPT.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sebelumnya juga mengungkapkan hantaman Covid-19 terhadap industri TPT semakin berat, bahkan diprediksi akan memasuki titik nadir di awal Mei ini. Langkah merumahkan karyawan industri tekstil tak bisa dihindari, sedikitnya 1,8 juta pekerja tekstil dan garmen sudah dirumahkan.

Saat ini utilisasi atau pemanfaatan produksi beberapa industri tekstil bahkan berjalan di titik yang sangat rendah yaitu di bawah lima persen untuk daerah Bandung dan Majalaya. Sejumlah pabrik bahkan telah merumahkan sebagian besar karyawan mereka karena beban industri yang kian berat.

"Kita tiap minggu mengadakan survey, rata-rata mereka sudah merumahkan karyawan mereka itu di titik 80 persen, mereka itu running ke titik nol karena tidak adanya demand atau permintaan di pasar lokal maupun pasar ekspor," ujar Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua API, dalam dialog via Zoom di program Squawk Box, CNBC Indonesia, Senin (27/04/2020).



(tas/tas) Next Article Tutup Pabrik Karawang-Kendal, Emiten Tekstil Rumahkan Pegawai

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular