Hati-Hati, Besok Rupiah Bisa Tergelincir Lewati Rp 15.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 May 2020 19:11
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri libur Hari Raya Waisak pada hari ini, Kamis (7/5/2020), tetapi rupiah masih diperdagangkan di pasar Non-Deliverable Forward (NDF). Melihat pergerakan rupiah di pasar NDF, seandainya pasar dalam negeri hari ini dibuka, rupiah sepertinya akan kembali ke atas Rp 15.000/US$ hari ini.

Hal tersebut terlihat dari melemahnya rupiah di pasar NDF pada hari ini dibandingkan dengan Rabu (6/5/2020) sore kemarin.



NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Semakin tinggi kurs NDF, maka tekanan bagi rupiah semakin kuat.

Pelemahan kurs NDF pada hari ini jika berlanjut hingga Jumat (8/5/2020) besok tentunya membuat rupiah sulit bertahan di bawah Rp 15.000/US$. Rabu kemarin, rupiah berhasil menguat 0,33% ke Rp 0,33% ke Rp 14.980/US$, setelah menghabiskan mayoritas perdagangan di zona merah.



Sentimen negatif hari ini datang dari memanasnya hubungan Amerika Serikat dengan China yang bisa memicu babak baru perang dagang.

Memburuknya hubungan kedua negara bermula dari AS yang menuduh China menutup-nutupi wabah di awal kemunculannya sehingga kini wabah itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Tiongkok bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China.

"Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).

"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.

Tetapi Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi.

Namun demikian Trump menyatakan dirinya belum bisa menentukan jumlah akhir dari biaya kompensasi tersebut. Tetapi ia menyebut nilainya lebih besar dari yang disebutkan oleh seorang editor media terkemuka Jerman yang baru-baru ini meminta China membayar ganti rugi ke Jerman senilai US$ 165 miliar atau sekitar RP 2.475 triliun untuk menutupi kerugian ekonomi Jerman akibat Covid-19.

"Jerman melihat beberapa hal, kami melihat beberapa hal juga," katanya, menurut AFP, Senin (27/4/2020). "Kami berbicara tentang lebih banyak uang daripada yang dibicarakan Jerman."

Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu.

"Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."

Tidak hanya menaikkan bea impor, Presiden Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.

"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Terus diserang tentunya membuat China mulai gerah, dan mempertimbangkan langkah-langkah balasan jika benar AS kembali menaikkan bea impor atau membatalkan kesepakatan dagang fase I.



"Perang" melawan Covid-19 masih belum berakhir, jika perang dagang kedua negara kembali berkecambuk, perekonomian global diramal akan mengalami resesi dalam waktu yang panjang.

Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.

"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.

L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang lebih dramatis ketimbang U-shape dan V-shape.

Merosotnya perekonomian global hingga mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 di tahun ini diprediksi bisa segera bangkit ketika Covid-19 berhasil dihentikan, oleh karenanya perekonomian diprediksi akan membentuk kurva V-shape. Tetapi banyak yang meragukan hal tersebut, dan kurva U-shape dikatakan lebih tepat, dimana perekonomian mengalami resesi dan agak lama berada di bawah sebelum akhirnya bangkit.

Sementara dalam L-shape perekonomian global mengalami resesi, kemudian memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih.

Jika tidak ada sentimen positif dari pasar finansial global hingga tengah malam nanti, risiko rupiah kembali ke atas Rp 15.000/US$ pada perdagangan besok akan semakin besar.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular