
Ambles karena Covid-19, Masih Menarikah Melirik Saham Rokok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang dirasakan emiten rokok yang melantai di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Usai dibebani kenaikan cukai rokok sebesar 23%, industri ini terpukul karena terdampak wabah virus corona (Covid-19).
Virus Covid-19 memang tidak menyerang industri rokok saja, hampis semua industri terdampak. Namun kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus nCOV-2019 tersebut secara langsung menekan daya beli konsumen.
Tak sampai disitu, ratusan karyawan pabrik emiten perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk terpaksa dikarantina karena berberapa karyawan positif terjangkit virus corona, Pabrik yang beroperasi di Rungkut, Jawa Timur ini terpaksa menghentikan kegiatan produksinya untuk sementara.
Penyebaran virus COVID-19 di Indonesia ini memang belum ada tanda-tanda mengalami penurunan. Saham rokok pun sudah anjlok bahkan sebelum status pandemik ditetapka pada Maret lalu.
Lalu apakah saham emiten perusahaan rokok di Indonesia kini masih menarik menjadi tujuan investasi setelah koreksi berkepanjangan? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.
Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa 3 perusahaan rokok di Indonesia sudah mengalami koreksi harga signifikan baik secara Year-on-Year (YoY) maupun secara Year to Date (YTD).
Koreksi tahunan terjadi akibat peningkatan cukai rokok yang mulai diumumkan sejak pertengahan tahun 2019 sehingga tercermin dalam pergerakan setahun harga saham tersebut. Sementara itu, dampak virus COVID-19 terpotret dari pergerakan harga saham mereka secara tahun berjalan.
1. PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
Secara Price-Earning Ratio (PER) Valuasi saham GGRM adalah yang paling murah dibandingkan emiten rokok lain yaitu sebesar 8,65.
Dengan asumsi penurunan laba sebanyak 50% di tahun 2020 akibat COVID-19, PER GGRM masih berkisar di angka 17 yang masih tergolong baik untuk industri ini. Secara rata-rata industri rokok memiliki PER sebesar 11,3 kali.
2. PT HM Sampoerna Tbk (HMSP)
Di antara 4 perusahaan emiten rokok HMSP adalah perusahaan yang memiliki pengembalian ekuitas (Return on Equity/ROE) tertinggi di antara perusahaan lain.
Perseroan juga berani membagikan 99% laba bersih kepada investor sebagai dividen. Hal ini menunjukan kinerja fundamental perusahaan yang kuat dan stabil. Imbal hasil (yield) dividen HMSP berada di level 7,56%, secara rata-rata dividend yield industri rokok adalah di kisaran 5,16%
3. PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC)
Kenaikan harga yang sangat tinggi secara tahunan ternyata tidak dibarengi kinerja fundamental perusahaan. Secara Fundamental perusahaan ini sudah terlalu mahal untuk investasi. Pada tahun 2019 perusahaan ini mencetak rugi bersih sebesar 7 rupiah per lembar saham
Saham perusahaan ini belum terdistribusi dengan baik sehingga hanya segelintir investor yang memegang saham ini dan rawan terjadi cornering dimana pemegang mayoritas saham yang beredar dapat menggerakan saham dengan mudah ke arah tertentu. Saham ini baru saja melakukan penawaran publik perdana (IPO) pada 4 Juli 2019 silam.
4. PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM)
Kapitalisasi pasar Wismilak adalah yang terkecil di antara keempat emiten dengan rasio harga terhadap nilai buku (Price to Book Value/PBV) yang cukup rendah untuk standar industri rokok yaitu 0,26 kali. Rata-rata PBV di industri rokok adalah sebesar 4,02 kali.
Dengan PER sebesar 12,3 kali, perusahaan ini juga tidak bisa dikatakan mahal.
Dari tabel-tabel di atas dapat disimpulkan secara fundamental saham HMSP dan GGRM masih menjanjikan untuk aset investasi di pasar saham karena kinerjanya masih lebih baik dari rata-rata industri. Namun jika mengacu pada PBV, maka saham WIIM yang terhitung paling murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article Kabar Gembira Emiten Rokok! Boleh Puasa Bayar Cukai 3 Bulan