IHSG Melesat 5% & Terbaik di Asia, Meski Asing Cabut Rp 2,6 T

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 May 2020 16:36
Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat penguatan tajam di pekan ini, bahkan menjadi yang terbaik di bandingkan bursa saham utama Asia. Meski demikian, investor asing masih menarik dananya dari pasar saham Tanah Air dengan jumlah yang cukup besar.

Dalam 4 hari perdagangan (Jumat libur Hari Buruh) IHSG berhasil sapu bersih alias menguat 4 hari beruntun. Total penguatan tercatat sebesar 4,9% di level 4.716,403, dengan hari Kamis yang terbesar.

Berdasarkan data RTI, investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 2,68 triliun di pasar reguler dan non-reguler.

Di bandingkan indeks saham utama lainnya, IHSG unggul jauh, yang terdekat indeks Strait Times Singapura penguatannya sebesar 4,21%.



Sentimen pelaku pasar yang mulai membaik membuat aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi kembali menjadi buruan. IHSG pun mampu melesat tinggi.

Sejak pekan lalu, pasar keuangan global dinaungi sentimen positif dari perkembangan terbaru dari pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan segala hal yang terkait dengan virus yang telah menginfeksi lebih dari 3 juta warga dunia, dan menyebabkan lebih dari 230 ribu orang meninggal dunia.

Penyebaran Covid-19 di Eropa dan Amerika Serikat (AS) sudah menunjukkan tanda-tanda pelambatan, alias sudah mencapai puncaknya. Oleh karena itu, Eropa dam AS berencana melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown).

Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Italia dan Spanyol bahkan sudah mengijinkan warganya mulai beraktivitas meski terbatas sejak dua pekan lalu.

Kemudian Jerman juga mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei. Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.



Kemudian dari AS, Gubernur New York, Andrew Cuomo, mengatakan lockdown akan dibuka dalam beberapa fase setelah Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan jumlah pasien rawat inap sudah menurun.

Fase satu, New York dunia usaha di bidang konstruksi dan manufaktur akan diizinkan kembali beraktivitas. Fase kedua dunia usaha perlu rencana untuk beroperasi kembali, termasuk memiliki pengaman individual serta menerapkan social distancing.

Selanjutnya Gubernur Ohio, Mike DeWine, mengatakan sektor ritel dan jasa bisa kembali beroperasi pada 12 Mei. Selain itu, negara bagian Alaska, Georgia, South Carolina, Tennessee dan Texas sudah mengizinkan restoran dan beberapa usaha lainnya untuk kembali beroperasi.

Roda bisnis di Eropa dan AS yang mulai berputar kembali tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian global bisa perlahan bangkit dari keterpurukan.

[Gambas:Video CNBC]

Setelah kabar pelonggaran lockdown, sentimen pelaku pasar semakin membuncah setelah adanya perkembangan positif dari obat penyakit virus corona (Covid-19) buatan Gilead Science Inc.

CNBC International Rabu (29/4/2020 waktu AS melaporkan tahap awal uji klinis remdesivir tersebut yang dilakukan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases sudah mencapai tahap akhir, dan hasilnya bagus.

Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Dr. Anthony Fauci, mengatakan remdesivir menunjukkan hasil yang positif yang "jelas" dalam mengobati pasien virus corona.

Sementara itu Gilead juga merilis hasil uji klinis sendiri yang menunjukkan peningkatan kondisi pasien Covid-19 saat menggunakan remdesivir buatannya.

Presiden AS, Doland Trump, pada Rabu waktu setempat mengatakan ia ingin Food and Drug Administration (FDA) bergerak secepat yang mereka bisa untuk menyetujui remdesivir Gilead digunakan sebagai pengobatan virus corona.



"Kami ingin melihat persetujuan yang cepat, khususnya dengan obat yang mampu mengobati Covid-19" kata Trump di Gedung Putih, sebagaimana dilansir CNBC International.

Hanya berselang dua hari, Jumat kemarin sebelum perdagangan sesi AS ditutup, FDA mengijinkan penggunaan darurat remdesivir Gilead untuk mengobati pasien Covid-19.

Presiden Trump mengumumkan langsung keputusan tersebut bersama CEO Gilead Daniel O'Day di Gedung Putih.

Dengan ijin dari FDA tersebut, dokter akan dijinkan menggunakan remdesivir untuk pengobatan pasien Covid-19 di rumah sakit.

Kabar tersebut tentunya membuat harapan akan segara berakhirnya pandemi Covid-19 semakin membuncah. Kabar diizinkannya remdesivir Gilead untuk mengobati pasien Covid-19 tentunya menjadi kabar positif yang belum sempat direspon IHSG. Tetapi ada juga kabar buruk yang bisa membawa pasar saham Asia termasuk IHSG terkoreksi di awal pekan depan.

Pandemi Covid-19 belum selesai menjangkiti dunia, tetapi kini ancaman baru muncul dari kemungkinan babak baru perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.

Presiden AS, Donald Trump mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor akibat penanganan virus corona yang dilakukan China sehingga menjadi pandemi.

Hal ini dikatakan Trump dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, Kamis (30/4/2020) waktu setempat. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).

Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat (bukti)," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda (wartawan) soal ini."

Pernyataan Trump tersebut terbukti membebani sentimen pelaku pasar pada perdagangan Jumat kemarin, bursa Eropa dan Amerika Serikat berguguran.



Sejauh ini belum ada tanggapan dari China terkait ancaman tersebut, tetapi pasar sudah terlanjur cemas. Pandemi Covid-19 sudah membawa perekonomian global mengamali resesi, bahkan diperkirakan akan menjadi yang terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) pada tahun 1930an.
Seperti diketahui, pada bulan Januari lalu Amerika Serikat dan China sudah menandatangani kesepakatan dagang fase I.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar. Tarif sebesar 25% dari masing-masing negara tersebut baru akan dibahas pada negosiasi dagang fase II.

"Bea masuk masih berlaku, tapi saya setuju untuk menurunkan bea masuk jika kita bisa mencapai 'fase II'. Dengan kata lain, kita akan bernegosiasi mengenai bea masuk" kata Trump saat menandatangani kesepakatan dagang fase I 15 Januari waktu AS lalu.

Kesepakatan dagang fase II rencananya akan dilakukan setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) di AS bulan November nanti. Tetapi dengan adanya ancaman baru dari Trump, tampaknya kesepakatan dagang justru akan mengarah ke babak baru perang dagang.

Seberapa besar bea masuk yang akan dikenakan masih belum diketahui, mengingat ini baru ancaman awal dari Trump. Tetapi jika memang benar akhirnya kembali dilakukan ada kemungkinan Trump bea masuk yang dibatalkan di akhir tahun 2019 lalu yang akan digunakan.



Pada 15 Desember lalu, AS seharusnya mengenakan bea masuk senilai 15% untuk produk impor dari China senilai US$ 160 miliar. Tetapi Presiden Trump membatalkannya setelah mencapai kesepakatan dagang dengan China yang akhirnya ditandatangani pada pertengahan Januari 2020.

Jika babak baru perang dagang sampai terjadi, disaat pandemi Covid-19 belum lenyap dari muka bumi ini, maka dunia diprediksi resesi berkepanjangan,
Hal tersebut diungkapkan oleh Peter Chatwell, kepala strategi multi-aset di Mizuho International Plc. London.

"Jika ini (perang dagang) tereskalasi maka sentimen akan rusak, dan harapan pemulihan ekonomi yang sebelumnya U-shape akan lebih mendatar menjadi L-shape" kata Chatwell sebagaimana dilansir Bloomberg News.

L-shape merupakan pemulihan ekonomi yang paling dramatis ketimbang V-shape dan U-shape. Dalam kasus pemulihan V-shape, perekonomian akan segera bangkit setelah mengalami kemerosotan, sementara U-shape pemulihannya agak lama. Sedangkan L-shape, perekonomian dunia memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa pulih dari resesi.


TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ada Corona Varian Lokal Indonesia, Awas IHSG Jeblok Lagi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular