Efek Covid-19

BUMN Transportasi Boncos: Garuda hingga KAI 'Terpapar' Corona

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
30 April 2020 09:46
Airbus A330-900 Garuda Indonesia (Airbus)
Foto: Airbus A330-900 Garuda Indonesia (Airbus)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di jasa transportasi terdampak pandemi virus corona (Covid-19), tak terkecuali bagi PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Hal ini membuat maskapai pelat merah ini mengambil langkah efisiensi guna bertahan di tengah beratnya kondisi perusahaan.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra, mengakui, kondisi ini membuat gaji para karyawan ikut tertunda. "Kami melalui efisien produksi. Kami tunda pembayaran gaji karyawan, direksi komisaris, insentif tahunan dan tunjangan penunjang," kata Irfan dalam rapat virtual bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (29/4/20).

Dia menegaskan, goncangan akibat Covid-19 mendera semua lini usaha Garuda. Alhasil, semua karyawan Garuda Indonesia Group juga ikut terdampak.

"Kalau ada masalah di Garuda pasti akan ada masalah di GMF [GMF AeroAsia], ACS [AeroFood ACS], Aerotrans, dan lainnya. Ini magnitude, total hampir 25 ribu karyawan sehingga kami harus pastikan Garuda tetap berlangsung sehingga kami tunda pembayaran kepada pihak ketiga," bebernya.

Bos Garuda: PHK Bukan Opsi GIAA Menghadapi Pandemi Corona(CNBC Indonesia TV)Foto: Bos Garuda: PHK Bukan Opsi GIAA Menghadapi Pandemi Corona(CNBC Indonesia TV)
Bos Garuda: PHK Bukan Opsi GIAA Menghadapi Pandemi Corona(CNBC Indonesia TV)
Kendati begitu, dia tetap berkomitmen untuk mengupayakan bisa membayar THR bagi para karyawan. Namun pemberian THR itu tidak berlaku bagi para direktur dan komisaris sebagaimana arahan Menteri BUMN Erick Thohir.

Di sisi lain, dia juga berharap adanya relaksasi dari perbankan. Irfan bilang, tanggung jawab Garuda Indonesia cukup besar sehingga jika tidak ada relaksasi, bukan tak mungkin akan terjadi PHK.

"Kami pada posisi ini bahwa PHK itu adalah opsi terakhir. Kalau relaksasi finansial kami bisa peroleh, kami tentu saja bisa hindari ini dan ambil alternatif lebih bijak bagi seluruh keluarga besar Garuda Indonesia," ujarnya.

"Kami melalui efisien produksi. Kami tunda pembayaran gaji karyawan, direksi komisaris, insentif tahunan dan tunjangan penunjang tapi kami komit untuk tetap berikan THR meskipun menteri BUMN sudah keluarkan imbauan untuk tidak membayar THR bagi direksi dan komisaris," kata mantan bos BUMN PT Inti ini.
Sebelum adanya rapat dengan DPR ini, manajemen Garuda juga berencana melakukan pemotongan pembayaran take home pay karyawan mulai bulan ini hingga Juni 2020 mendatang. Pemotongan gaji ini akan dilakukan mulai dari level direksi dan komisaris hingga ke staf perusahaan dengan besar pemotongan 10%-50%.

Lebih lanjut, Irfan menyebutkan tengah mengalami masalah terkait dengan keuangan lantaran utang jatuh tempo pada Juni 2020 mendatang mencapai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,75 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/US$).

"Kami berupaya relaksasi keuangan, [kami] punya sedikit masalah, Juni ini [utang] jatuh tempo 500 juta dolar, sehingga kami membutuhkan bantuan keuangan dan relaksasi," kata Irfan.

Sebagai perbandingan, mengacu laporan keuangan Garuda 2019, total kewajiban jangka pendek perusahaan mencapai US$ 3,26 miliar atau sekitar Rp 51 triliun dari tahun 2018 yakni US$ 3,06 miliar.

Dari jumlah itu, ada utang yang jatuh tempo dalam satu tahun yakni utang obligasi US$ 498,99 juta, pinjaman jangka panjang US$ 141,78 juta, dan pinjaman jangka pendek utang usaha pihak berelasi US$ 428,23 juta.

Selain melakukan relaksasi keuangan, Garuda juga akan negosiasi pembayaran sewa pesawat kepada lessor. Beberapa strategi dilakukan termasuk melakukan penundaan pembayaran kepada pihak ketiga. Sementara itu, perseroan juga tetap berusaha agar ekosistem perusahaan tetap berlangsung.

"Kita melakukan negosiasi rental. Kondisi Covid-19 memungkinkan kita rekonstruksi sewa menyewa pesawat ini," imbuhnya.

"Kita menengarai bahwa harga sewa [pesawat] kita terlalu tinggi," tegas mantan bos BUMN PT Inti ini.

Dia mencontohkan, Boeing 777 yang dipakai untuk layanan penerbangan rute Amsterdam itu sewa pesawatnya US$ 1,6 juta atau Rp 25 miliar per bulan (asumsi kurs Rp 15.500/US$).

"Kita sudah coba nego dari lama, bahwa ini sudah terlalu mahal. Hari ini kita punya kesempatan yang sangat bagus untuk negosiasi karena harga pasar hanya US$ 800.000 dolar [Rp 12,4 miliar] per bulan. Kita punya 10 unit, jadi basically bayar 2 kali lipat dari harga market," tegasnya.
Selain itu, perseroan juga akan mengembalikan pesawat CRJ1000 Bombardier yang sebelumnya sudah 'dikandangkan' alias grounded.
"Kita juga sedang pengembalian CRJ yang kita grounded, kita terbangkan jauh lebih merugikan. Ongkos kita grounded setahun 50 juta dolar [Rp 775 miliar]. Ini waktu terbaik negosiasi sewa pesawat kita, kita minta pesawat tersebut diambil aja, kita punya fleet dan konfigurasi lebih pas."
Tak hanya Garuda, pandemi virus corona (Covid-19) berdampak pula pada kinerja PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Pendapatan harian dari pengangkutan penumpang pada Maret 2020 anjlok drastis dibanding bulan-bulan sebelumnya.

"Dari sisi pendapatan penumpang ini kalau kita bandingkan dari Februari 2020 itu secara menyeluruh per hari Rp 39 miliar. Ini tanggal 31 Maret jadi Rp 4 miliar," kata Dirut KAI Edi Sukmoro di sela rapat virtual bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (29/4/20).

Penurunan pendapatan harian dari penumpang itu setara hampir 90%, atau tepatnya 89,7%. Data KAI menyebut, volume penumpang harian anjlok hingga 78,35% dari 1,27 juta di Januari menjadi hanya 275.827 pada akhir Maret.

"Okupansinya ada KA jarak jauh sudah drop sekali. Dalam satu rangkaian ada yang 20 orang, ada yang cuma 15 orang," keluhnya.

Alhasil, pihaknya mencatat rugi sebesar Rp 92 miliar di Maret 2020. Angka itu jauh menurun mengingat pada Januari KAI masih mengantongi laba Rp 26 miliar dan Rp 143 miliar pada Februari 2020.

Kondisi ini juga tidak lepas dari penurunan pendapatan kumulatif menjadi Rp 1,54 triliun di Maret. Pada Januari, perseroan masih membukukan pendapatan sebesar Rp 1,88 triliun dan Rp 1,81 triliun pada Februari.

"Pendapatan memang dari Januari masih baik, Februari masih baik meski ga tercapai. Hanya saja di sini arus kasnya di Januari-Februari positif. Maret negatif Rp 693 miliar," ucapnya.

Padahal, berdasarkan laporan keuangan audit 2019, pendapatan KAI sepanjang tahun lalu tembus Rp 22,52 triliun naik dari tahun sebelumnya Rp 19,95 triliun, laba bersih juga naik menjadi Rp 2,02 triliun dari Rp 1,56 triliun.


Kinerja PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2020 juga terancam merosot drastis. Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry Ira Puspadewi, bahkan menyebut pihaknya tidak akan mampu mencetak laba pada tahun ini.

Berdasarkan skenario terburuk, BUMN pengelola angkutan penyeberangan kapal feri ini bisa rugi sampai Rp 478 miliar akibat dampak penyebaran virus corona. Angka itu merupakan perhitungan jika dampak pandemi Covid-19 berlangsung sampai Desember 2020.

Ira mengaku, telah melakukan perhitungan berdasarkan keadaan produksi pada 1-25 Maret 2020. Dari keadaan tersebut, pihaknya merumuskan tiga skenario.

"Pembedanya adalah dampak di periode itu. Skenario 1 Maret-Mei, skenario 2 jika enam bulan atau sampai Agustus, skenario 3 adalah 10 bulan atau sampai Desember. Dengan masa recovery masing-masing adalah tiga bulan," kata Ira di sela rapat virtual bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (29/4/20).

Dari tiga skenario itu, ASDP sudah mengambil ancang-ancang menerima kerugian. Artinya, tidak ada satupun skenario yang memungkinkan untuk meraup laba pada tahun ini.

"Dengan skenario itu, maka dapat dilihat bahwa laba-rugi menjadi rugi semua di semua skenario. Ini tidak pernah sebelumnya, ASDP tidak pernah rugi setelah sekian puluh tahun," keluhnya.

Berdasarkan senario pertama, dia memproyeksikan kemungkinan rugi mencapai Rp 68 miliar. Kedua, jika pandemi belangsung sampai Agustus, maka rugi ASDP adalah Rp 291 miliar. Terakhir, pada kondisi terburuk yakni pada skenario 3, ASDP akan rugi Rp 478 miliar.

"Satu hal yang kami ingin sampaikan bahwa dari saldo kas akhir jika keadaan terburuk maka ada saldo di angka Rp 818 miliar atau rasio likuiditas kami adalah Rp 236,4 miliar di posisi paling buruk," kata Ira.

"Dengan rasio likuiditas ini maka ASDP bisa hidup kurang lebih hingga pertengahan Juni 2021, jika asumsinya kami tidak mendapatkan cash in sama sekali. Tapi saya pikir tidak terjadi kalau tidak dapat cash in sama sekali karena logistik tetap jalan," lanjutnya.
Nasib serupa juga dialami PT Pelni (Persero). Direktur Utama Pelni, Insan Purwarisya L Tobing, menjelaskan bahwa dampak Covid-19 langsung terasa pada masa awal virus ini mewabah di Indonesia.

"Begitu pekan pertama, Pemda di Papua pada umumnya semua menutup pelabuhan untuk kapal penumpang Pelni. Dan kami tidak berlayar sampai Papua," ungkapnya di sela rapat virtual bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (29/4/20).

Menurutnya, penutupan itu pada akhirnya berdampak pula pada lalu lintas logistik. Ia mendapat keluhan dari para pemilik barang yang kesulitan mendapatkan layanan pengiriman.

"Barang-barang yang ada di wilayah Papua menjadi mahal harganya terutama bahan pokok. Sehingga kami negosiasi dengan Pemda setempat dan disetujui untuk kapal-kapal Pelni bisa membawa kebutuhan bahan pokok tanpa penumpang," bebernya.

Di samping itu, dia menjelaskan bahwa sejauh ini, pada kuartal pertama secara umum produksi masih cukup bagus. Penurunan signifikan baru terjadi pada April 2020.

"Jumlah penumpang triwulan pertama cukup baik masih mendekati RKP 2020, tapi di April turun banyak sekali sehingga angkanya sekitar 15% dari target yang kita harapkan," tandasnya.

Ia memprediksi, sampai akhir 2020, jumlah penumpang Pelni hanya mampu mencapai 32% dari RKP 2020. Hal itu berdampak pada pencapaian pendapatan hanya 31% dari realisasi 2019.

"Dari 113 kapal yang kami miliki, 13 kapal barang. 96% jumlah kapal menangani penugasan dari pemerintah. Sehingga prediksi realisasi yang akan kami dapatkan jumlah penumpang hanya bisa 1,7 juta orang dari target 4,8 juta," urainya.

Di sisi lain, dari mayoritas kapal yang menangani penugasan pemerintah, PSO dan subsidi yang diterima Pelni hanya 50%. Dari perhitungan pendapatan dan biaya produksi, maka Pelni diprediksi banyak merugi pada saat tutup buku 2020.

"Di akhir 2020, Pelni akan mengalami kerugian Rp 862 miliar," keluhnya.


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular