
Batu Bara Anjlok karena Covid-19, Begini Siasat Bos Adaro
Savira Wardoyo, CNBC Indonesia
27 April 2020 16:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Thohir memberikan penjelasan terkait koreksi harga batu bara dunia dan pengaruhnya ke industri batu bara nasional. Boy Thohir, demikian biasa disapa, menjelaskan kebijakan ketat karantina wilayah (lockdown) menjadi pemicu utama kejatuhan harga batu bara.
"Harga batubara turun itu lebih karena faktor India yang totally lockdown. China yang merupakan pasar batubara yang cukup besar buat Indonesia sampai sekarang masih membeli dan membutuhkan kok, karena memang competitiveness batu bara dari Indonesia itu sangat baik dibandingkan kualitas dan harga batu bara domestik mereka," ungkap Boy saat wawancara eksklusif secara virtual dengan CNBC Indonesia.
Menurut pria yang akrab disapa Boy, dalam situasi sulit di masa pandemi, nasib industri tambang batu baru lebih baik dibandingkan industri lain. Salah satu alasannya, industri batu bara merupakan sektor strategis.
"Memang kalau bicara harga, ada penurunan tapi semua sektor pasti mengalami, setiap saat selalu up and down" ujarnya.
Meski begitu, Boy optimistis denga melakukan efisiensi, perusahaan batu bara nasional dapat menghadapi masa sulit, dampak dari wabah covid19.
"Kita terus melakukan efiesnsi-karena karena memang kuncinya itu bagaimana kita bisa survive dalam kondisi sulit ini dan bagaimana kita harus bisa memanage cost, sehingga perusahaan kami bisa jadi perusahaan yang efisien, ke depan tentu bisa kompetensi dg perusahan lain bukan hanya Indonesia tapi dunia" jelasnya
Harga batu bara dunia hingga akhir pekan lalu, Jumat (24/4/2020), berdasarkan kontrak acuan Newcastle Australia ditutup di US$ 52,55/ton atau menguat 0,96% dari posisi sebelumnya. Namun dalam sepekan harga si batu hitam telah anjlok 6,66% dan sepanjang tahun telah terpangkas sebesar 23,89%.
Sebelum virus corona menyebar luas dan menjangkiti berbagai negara di penjuru dunia, walau harga batu bara cenderung stabil. Namun pandemi yang membuat pemerintah di berbagai negara di dunia mengambil langkah pembatasan sosial (social distancing) dan bahkan karantina wilayah (lockdown).
Konsekuensinya jelas besar. Orang-orang dipaksa tinggal diam di rumah. Pusat perbelanjaan sepi, perkantoran, pabrik dan sekolah menjadi sepi dan banyak yang libur. Akibatnya kebutuhan untuk listrik jadi tak banyak.
Jika mengacu pada data Asosiasi Batu Bara Dunia (WCA) sebanyak 38% pembangkit listrik global menggunakan tenaga batu bara. Dengan penurunan konsumsi listrik yang signifikan membuat permintaan batu bara juga melemah.
Di Negeri Paman Sam dan Benua Biru, batu bara merupakan sumber energi primer yang dihindari karena tak ramah lingkungan. Konsumsi batu bara AS dan Eropa dari tahun ke tahun cenderung turun.
Berbeda dengan AS dan Eropa, pasar batu bara Asia masih semarak terutama masih ditopang dengan tingginya permintaan dari China, India, Jepang dan Korea Selatan. Namun di tengah pandemi COVID-19 seperti ini pasar batu bara lintas laut menjadi lesu. Tengok saja kinerja impor negara-negara konsumen terbesar batu bara Asia di bulan April.
Impor batu bara China dalam tiga pekan terakhir bulan April tercatat sebanyak 12,2 juta ton. Sementara pada periode yang sama tahun lalu impor batu bara China mencapai 13,7 juta ton.
Hingga pekan ketiga April, impor batu bara Jepang mencapai 8,5 juta ton. Turun dari periode sebelumnya sebesar 9,7 juta ton. Impor batu bara Jepang bulan ini diperkirakan sebesar 11,4 juta ton.
Beralih ke Negeri Ginseng, Korea Selatan dalam tiga pekan terakhir telah mengimpor batu bara termal sebanyak 4,7 juta ton. Sementara pada periode yang sama tahun lalu, impor batu bara Korea Selatan mencapai 7,5 juta ton.
Faktor yang menekan kinerja impor batu bara di Jepang dan Korea Selatan adalah berakhirnya periode musim dingin yang lebih mild serta penurunan output industri terutama baja di kedua negara tersebut akibat pandemi COVID-19.
(hps/hps) Next Article Boy Thohir Buka-bukaan Strategi Pengembangan EBT Adaro
"Harga batubara turun itu lebih karena faktor India yang totally lockdown. China yang merupakan pasar batubara yang cukup besar buat Indonesia sampai sekarang masih membeli dan membutuhkan kok, karena memang competitiveness batu bara dari Indonesia itu sangat baik dibandingkan kualitas dan harga batu bara domestik mereka," ungkap Boy saat wawancara eksklusif secara virtual dengan CNBC Indonesia.
Menurut pria yang akrab disapa Boy, dalam situasi sulit di masa pandemi, nasib industri tambang batu baru lebih baik dibandingkan industri lain. Salah satu alasannya, industri batu bara merupakan sektor strategis.
Meski begitu, Boy optimistis denga melakukan efisiensi, perusahaan batu bara nasional dapat menghadapi masa sulit, dampak dari wabah covid19.
"Kita terus melakukan efiesnsi-karena karena memang kuncinya itu bagaimana kita bisa survive dalam kondisi sulit ini dan bagaimana kita harus bisa memanage cost, sehingga perusahaan kami bisa jadi perusahaan yang efisien, ke depan tentu bisa kompetensi dg perusahan lain bukan hanya Indonesia tapi dunia" jelasnya
Harga batu bara dunia hingga akhir pekan lalu, Jumat (24/4/2020), berdasarkan kontrak acuan Newcastle Australia ditutup di US$ 52,55/ton atau menguat 0,96% dari posisi sebelumnya. Namun dalam sepekan harga si batu hitam telah anjlok 6,66% dan sepanjang tahun telah terpangkas sebesar 23,89%.
Sebelum virus corona menyebar luas dan menjangkiti berbagai negara di penjuru dunia, walau harga batu bara cenderung stabil. Namun pandemi yang membuat pemerintah di berbagai negara di dunia mengambil langkah pembatasan sosial (social distancing) dan bahkan karantina wilayah (lockdown).
Konsekuensinya jelas besar. Orang-orang dipaksa tinggal diam di rumah. Pusat perbelanjaan sepi, perkantoran, pabrik dan sekolah menjadi sepi dan banyak yang libur. Akibatnya kebutuhan untuk listrik jadi tak banyak.
Jika mengacu pada data Asosiasi Batu Bara Dunia (WCA) sebanyak 38% pembangkit listrik global menggunakan tenaga batu bara. Dengan penurunan konsumsi listrik yang signifikan membuat permintaan batu bara juga melemah.
Di Negeri Paman Sam dan Benua Biru, batu bara merupakan sumber energi primer yang dihindari karena tak ramah lingkungan. Konsumsi batu bara AS dan Eropa dari tahun ke tahun cenderung turun.
Berbeda dengan AS dan Eropa, pasar batu bara Asia masih semarak terutama masih ditopang dengan tingginya permintaan dari China, India, Jepang dan Korea Selatan. Namun di tengah pandemi COVID-19 seperti ini pasar batu bara lintas laut menjadi lesu. Tengok saja kinerja impor negara-negara konsumen terbesar batu bara Asia di bulan April.
Impor batu bara China dalam tiga pekan terakhir bulan April tercatat sebanyak 12,2 juta ton. Sementara pada periode yang sama tahun lalu impor batu bara China mencapai 13,7 juta ton.
Hingga pekan ketiga April, impor batu bara Jepang mencapai 8,5 juta ton. Turun dari periode sebelumnya sebesar 9,7 juta ton. Impor batu bara Jepang bulan ini diperkirakan sebesar 11,4 juta ton.
Beralih ke Negeri Ginseng, Korea Selatan dalam tiga pekan terakhir telah mengimpor batu bara termal sebanyak 4,7 juta ton. Sementara pada periode yang sama tahun lalu, impor batu bara Korea Selatan mencapai 7,5 juta ton.
Faktor yang menekan kinerja impor batu bara di Jepang dan Korea Selatan adalah berakhirnya periode musim dingin yang lebih mild serta penurunan output industri terutama baja di kedua negara tersebut akibat pandemi COVID-19.
(hps/hps) Next Article Boy Thohir Buka-bukaan Strategi Pengembangan EBT Adaro
Most Popular