Ekonomi Global Rasanya Bakal Resesi Parah, Rupiah pun Melemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 April 2020 09:15
rupiah, bi
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Drama kejatuhan harga minyak masih menjadi sentimen negatif yang membuat investor kehilangan selera untuk bermain di aset-aset berisiko.

Pada Rabu (22/4/2020), US$ 1 dihargai Rp 15.500 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,65% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.


Investor memang sedang kehilangan risk appetite. Ini tampak dari kejatuhan di pasar saham New York dini hari tadi waktu Indonesia. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 2,67%, S&P 500 ambles 3,07%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,48%.

Kemarin, investor dibuat tercengang-cengang karena harga minyak jenis light sweet jatuh hingga ke teritori negatif. Harga minus, orang yang mau beli minyak malah dapat uang!

Hari ini, harga light sweet sudah jauh lebih baik karena mulai berlaku kontrak baru pengiriman Juni. Pada pukul 08:41 WIB, harga light sweet berada di US$ 12,89/barel atau melonjak 28,77% dibandingkan hari sebelumnya.

Namun harga minyak jenis brent, yang lebih banyak dipakai di dunia, sekarang ikut-ikutan turun. Harga brent berada di US$ 19,24/barel, turun 0,47% dan berada di posisi terendah sejak 2001.





Apa yang terjadi di pasar komoditas adalah bukti baru bahwa ekonomi dunia sedang benar-benar lesu. Tidak ada yang berminat membeli minyak, karena sepertinya resesi ekonomi akan sangat dalam sehingga permintaan energi turun drastis.

"Ini adalah bagian dari proses menuju deflasi. Dalam 2-3 tahun ke depan kita akan berada di lingkungan deflasi, semua harga aset turun. Kita hanya bisa bertahan hidup, dan cash is king," tegas Murray Gunn, Head od Global Research di Elliott Wavw International, seperti dikutip dari Reuters.

Ya, situasi ekonomi global (bahkan nasib umat manusia) sedang penuh ketidakpastian gara-gara pandemi virus corona. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 21 April adalah 2.397.216 orang, bertambah 83.006 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Sementara pasien meninggal dunia akibat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini berjumlah 162.956 orang. Bertambah 5.109 orang dari hari sebelumnya.

Penyebaran virus yang begitu luas dan cepat membuat pemerintah di berbagai negara memberlakukan kebijakan yang semakin ketat. Teranyar, Presiden AS Donald Trump melarang warga negara asing untuk menjadi warga negara Negeri Adidaya. Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi lapangan kerja yang semakin langka agar bisa diisi oleh warga AS.

Gara-gara virus corona, lapangan pekerjaan berkurang drastis. Penyebabnya adalah kebijakan social distancing yang membuat aktivitas publik menjadi terbatas dan roda ekonomi berjalan lambat.

Dalam sebulan terakhir, jumlah klaim tunjangan pengangguran di AS mencapai lebih dari 22 juta. Semakin banyak rakyat AS yang hidup dari uluran tangan pemerintah karena tidak bisa mencari nafkah sendiri.


"Menjadi salah dan tidak adil bagi rakyat AS yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat virus corona tetapi kemudian digantikan oleh imigran dari luar negeri. Kamu harus melindungi pekerja AS," tegas Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.

Ada kekhawatiran negara lain akan mengikuti apa yang dilakukan Trump, semakin menutup diri atas nama menjaga kepentingan nasional. Jika ini terjadi, maka arus ekonomi global tidak lagi mengalir dengan lancar tetapi tersekat-sekat. Sesuatu yang membuat ekonomi semakin sulit untuk bangkit.

"Jadi sepertinya kita memang sedang menuju resesi yang dalam. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, kapan aset-aset lain mulai mengalami devaluasi? Fundamental sedang runtuh, tidak hanya untuk minyak tetapi aset-aset lainnya juga," kata Patrik Perret-Green, Head of Research di AdMacro, sebagaimana diberitakan Reuters.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular