
Beda Nasib, Alasan Brent 'Stay Cool' Saat WTI Drop ke US$11

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kontrak berjangka minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) anjlok ke level terendahnya dalam 21 tahun terakhir pada Senin (20/4/2020), menyusul kian penuhnya tangki penyimpanan karena permintaan anjlok di tengah wabah COVID-19.
Kontrak futures minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Mei anjlok lebih dari 36% ke US$ 11,66 per barel. Koreksi tersebut jatuh sehari sebelum kontrak jatuh tempo yakni pada Selasa besok.
Sementara itu, harga kontrak futures untuk minyak jenis sama pengiriman Juni tertekan 11% ke US$ 22,29 per barel. Aksi jual terjadi setelah tangki penyimpanan AS dilaporkan kian penuh, setelah Arab Saudi dikabarkan membanjiri pasar minyak AS.
Kondisi yang agak berbeda terjadi pada harga kontrak futures minyak Brent yang menjadi acuan di Eropa. Koreksi yang terjadi hanya sebesar 5,8% ke level US$ 26,44 per barel.
Awal bulan ini analis Goldman Sachs mengingatkan bahwa wabah corona bakal sangat negatif untuk harga minyak dan bakal mengirim harga minyak mentah ke teritori negatif. Bank investasi itu memperkirakan harga minyak Brent bakal lebih terjaga di level US$ 20 per barel tahun ini.
Mengapa demikian?
Minyak jenis Brent umumnya dieksploitasi dari lepas pantai di mana kapal tanker penyimpan bisa leluasa menampung produksinya. Sementara itu, minyak jenis WTI diproduksi di daratan sehingga-menurut Goldman Sachs-lebih sulit untuk ditampung. Ketika penampungan di darat sudah penuh, maka suplai pun membanjir dan harga pun jatuh.
"Kontrak serah minyak mentah bergerak berbeda arah antara Brent dan WTI karena situasi contango yang dalam, tetapi situasi contango itu juga terlalu berlebihan," tutur Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas SEB, kepada CNBC International.
Pasar contango mengimplikasikan bahwa pelaku pasar minyak yakin bahwa harga akan menguat ke depan, sehingga mereka memborong minyak dan menguncinya untuk dijual di masa mendatang. Ini menjelaskan kenapa harga kontrak WTI pengiriman Juni di level US$ 22 sedangkan kontrak WTI pengiriman Mei anjlok menjadi hanya separuh dari itu.
Bjarne memperkirakan problem kapasitas penyimpanan yang berlebihan seharusnya "segera hilang" karena permintaan minyak bakal berbalik menguat secara signifikan sehingga inventori akan turun drastis. "Inilah mengapa harga minyak mentah untuk jenis Brent tahun depan cenderung awet di US$ 40 per barel."
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Nyaris Tanpa Cela, Minyak Mentah di Level Tertinggi 3 Bulan