Round Up

Asing Jaga Jarak, IHSG Sepekan Koreksi 0,31%

Haryanto, CNBC Indonesia
18 April 2020 14:34
Bursa efek Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham domestik yang tercermin pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan terakhir membukukan penurunan tipis 0,31% ke level 4.634,82, menjadi yang terburuk di bursa saham kawasan Asia lainnya.

Kendati demikian, pada penutupan perdagangan Jumat (17/4/2020), IHSG menguat 154,26 poin atau 3,44% karena sentimen positif datang dari Negeri Paman Sam, mengenai perkembangan kasus penyakit virus corona (COVID-19).

Begitu perdagangan kemarin dibuka, IHSG langsung melesat ke di zona hijau. IHSG tidak sekalipun masuk ke zona merah, hingga akhir sesi I berada di level 4.610.365, menguat 2,9%.

Harapan akan segera berakhirnya pandemi Covid-19 kembali muncul setelah adanya kabar Gilead Science Inc, raksasa farmasi di AS, memiliki obat yang efektif melawan virus corona.

CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang terpapar parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi secara ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.

Pedoman baru dari Presiden Donald Trump untuk membuka kembali ekonomi AS dan sentimen data awal terkait dengan pengobatan COVID-19 yang potensial mendorong investor menuju aset berisiko.

Namun dengan penguatan ini, IHSG belum mampu membukukan penguatan di perdagangan sepekan di tengah peringatan bahwa ada kemungkinan fake rebound alias death cat bounce. 

 

Sementara itu, bursa saham Asia juga ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (17/4/2020) ditopang oleh sentimen positif laporan data awal yang menjanjikan terkait dengan potensi pengobatan Covid-19 dari Gilead Sciences Inc.

Selain itu, rencana Presiden AS Donald Trump yang berencana membuka kembali aktivitas ekonomi AS juga membantu sentimen investor untuk melirik pasar modal, termasuk di bursa Asia.

Harapan akan segera berakhirnya pandemi Covid-19 kembali muncul setelah adanya kabar Gilead Science Inc, raksasa farmasi di AS, memiliki obat yang efektif melawan virus corona.

CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang terpapar parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi secara ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.

Di kala bursa saham Asia lainnya membukukan penguatan dalam kurun sepekan kemarin, namun IHSG justru terkoreksi. Salah satu koreksi ini dipicu oleh investor asing yang masih melakukan aksi jual bersih (net sell), sepanjang pekan ini, dengan net sell asing sebesar 2,23 triliun di pasar reguler dan negosiasi.

Saham-saham yang mendorong penurunan sepekan di antaranya PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS) (-21,43%), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) (-20,06%), PT Medco Energy International Tbk (MEDC) (-13,40%), Sedangkan PT Elnusa Tbk (ELSA) (-13,27%) dan PT Kresna Graha Investama Tbk (KREN) (-9,57%).

Di sisi lain, aksi jual bersih investor dikarenakan kekhawatiran seputar dampak penyebaran pandemi virus corona terhadap ekonomi dunia dan Tanah Air yang berujung resesi.

Saat ini, ada 2,2 juta orang lebih terinfeksi positif virus corona dan korban jiwa tercatat sebanyak 154.142 orang. Sementara Indonesia tercatat 5.923 terpapar dengan angka kematian sebanyak 520 jiwa. Mengutip dari Universitas Johns Hopkins.

Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor. Arus modal asing enggan masuk ke Indonesia sepanjang data dan persepsi belum membaik.

Sentimen negatif muncul setelah Dana Moneter Internasional (IMF) kembali meramal pertumbuhan ekonomi Asia di tahun 2020  bakal "terhenti". Ini pertama kalinya terjadi dalam 60 tahun terakhir, apalagi kalau bukan karena corona (COVID-19).

"Masa yang sangat tidak pasti dan menantang bagi ekonomi global. Wilayah Asia-Pasifik tidak terkecuali," kata Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Changyong Rhee, dikutip dari Reuters, Kamis (16/4/2020).

Ia mengatakan negara Asia tidak boleh menganggap situasi ini sepele. Situasi sekarang bukan "business as usual" dan sejumlah instrumen kebijakan diperlukan.

Bahkan, ekonomi Asia bakal nol tahun ini. Lebih buruk dari pertumbuhan saat krisis keuangan global tahun 2008 yakni 4,7% dan krisis keuangan Asia tahun 1990 yakni 1,3%.

Ramalan ini lagi dan lagi berdampak pada aksi jual di pasar saham atau mulai terjadinya sentimen risk aversion atau kecenderungan investor menghindari aset-aset berisiko akibat kekhawatiran resesi global sebagai dampak dari pandemi virus corona (Covid-19).

Sementara itu, Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB dan merevisi outlook menjadi negatif pada 17 April 2020.

Dalam laporannya S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada BBB karena tatanan kelembagaan yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan kebijakan fiskal yang secara historis cukup prudent.

Sementara itu, outlook negatif mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia menghadapi kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi COVID-19.

Menanggapi keputusan S&P tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan, “Outlook negatif ini diyakini bukan cerminan dari permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu oleh kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi COVID-19 yang bersifat temporer.”

Keyakinan ini didasarkan pada fakta bahwa, sampai dengan beberapa saat sebelum COVID-19 meluas ke seluruh dunia, kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap prospek dan ketahanan ekonomi Indonesia masih sangat tinggi.

Didukung oleh konsistensi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural, kepercayaan tersebut antara lain tampak pada aliran masuk modal asing yang sangat deras dan rangkaian kenaikan peringkat yang diberikan kepada Indonesia oleh berbagai lembaga pemeringkat terkemuka di dunia.

Hingga triwulan I 2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan ada yg membaik. Fitch pada Januari dan Moody’s pada Februari memutuskan untuk mempertahankan peringkat Indonesia masing-masing pada BBB dengan outlook Stabil dan Baa2 dengan outlook Stabil. JCRA dan R&I, masing-masing pada Januari dan Maret, bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB+ dengan outlook Stabil.

Gubernur Bank Indonesia menambahkan, “Ketidakpastian kondisi ekonomi dan keuangan saat ini merupakan fenomena global dan Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang telah mengambil langkah-langkah kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan untuk mengatasi dampak negatif penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Bank Indonesia meyakini bahwa berbagai langkah kebijakan tersebut akan dapat mengembalikan trajectory ekonomi Indonesia, baik dari sisi pertumbuhan, eksternal, maupun fiskal, ke arah yang lebih sustainable dalam waktu yang tidak terlalu lama.”


Keyakinan tersebut ditopang oleh beberapa faktor pendukung, yaitu:

(a) ketahanan sistem keuangan Indonesia yang saat ini tetap kuat dan terjaga dengan baik, suatu kondisi yang sangat berbeda dibandingkan ketika Indonesia menghadapi krisis Asia 1997 dan krisis keuangan global 2008;

(b) komitmen Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjalankan disiplin fiskal dan disiplin moneter sebagaimana track record Indonesia selama ini; dan

(c) keberadaan berbagai kerjasama internasional yang telah dijalin oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, baik dalam bentuk Jaring Pengaman Keuangan Internasional maupun komitmen pembiayaan dari berbagai negara mitra dan lembaga keuangan internasional.

Selaras dengan asesmen Bank Indonesia, S&P memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8% pada tahun ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19 sebelum membaik secara kuat pada satu atau dua tahun ke depan.

Keputusan Pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah langkah kebijakan fiskal yang berani akan membantu mencegah pemburukan ekonomi jangka panjang. Karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia diperkirakan akan tetap jauh di atas rata-rata negara sejenis (peers).

Secara khusus S&P menyoroti peran penting Bank Indonesia dalam mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Perppu, yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk membeli surat berharga Pemerintah di pasar perdana apabila permintaan pasar dinilai tidak memadai.

Hal ini dapat membantu Pemerintah dalam mengelola biaya pinjaman ketika pasar keuangan sedang mengalami gangguan ekstrim. Sejak krisis keuangan dunia 2008, banyak bank sentral di negara-negara maju juga diberikan kewenangan yang sama. Karena kewenangan ini hanya digunakan saat situasi pasar keuangan sedang tertekan maka dampaknya terhadap inflasi dan nilai tukar relatif terkendali.

Dalam kaitan ini, S&P mengakui bahwa, dengan dukungan independensi yang dimilikinya, Bank Indonesia telah mampu mengelola inflasi pada tingkat yang selaras dengan negara-negara sejenis (peers).

S&P sebelumnya meningkatkan Sovereign Credit Rating Indonesia menjadi BBB dengan outlook Stabil pada 31 Mei 2019.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular