Terbaik di Asia (Lagi), Masa Jaya Rupiah akan Segera Kembali?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 17:05
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (14/4/2020), melanjutkan kinerja impresif sejak pekan lalu.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah menguat tipis 0,06% ke Rp 15.600/US$. Penguatan tersebut semakin "tebal" hingga 0,7% ke Rp 15.500US$.

Namun, penguatan tersebut sempat terpangkas, dan rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 15.550/US$, menguat 0,38% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dengan penguatan tersebut, rupiah kembali menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Bahkan salah satu terbaik di dunia jika dilihat sejak pekan lalu total rupiah sudah menguat 5,18%.

Mayoritas mata uang utama Asia bahkan melemah melawan dolar AS pada perdagangan hari ini. Hingga pukul 15:50 WIB, selain rupiah hanya dolar Hong Kong dan baht Thailand yang menguat, itupun tipis-tipis sebesar 0,01% dan 0,06%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia pada hari ini.



Perkasanya rupiah belakangan ini tentunya mengingatkan kembali memori di awal tahun ini, ketika rupiah menjadi mata uang terbaik di dunia dengan penguatan paling besar melawan dolar AS. Kala itu bahkan hanya beberapa mata uang yang mampu menguat melawan the greenback.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis di Bank of America Merryl Lynch (BAML) dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).



Tetapi, tantangan bagi rupiah untuk kembali ke masa jaya tersebut cukup berat, mengingat penyebaran penyakit virus corona (COVID-19) di Indonesia sedang dalam tren naik. Jika sampai terjadi lonjakan kasus yang signifikan, tingkat kepercayaan investor terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia tentunya akan menurun, dan memukul kembali pasar keuangan.

Secara global, penyebaran pandemi COVID-19 terus menunjukkan pelambatan, meski di beberapa wilayah termasuk Indonesia masih dalam tren naik.

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) penambahan jumlah kasus secara penambahan jumlah kasus COVID-19 sudah satu digit persentase sejak 30 Maret lalu. Terbaru, pada 14 April terjadi penambahan kasus 4,05% sehingga total menjadi 1,84 juta kasus. Persentase penambahan tersebut merupakan yang terendah sejak 10 Maret.

Eropa yang menjadi episentrum penyebaran sebelum AS bahkan sudah mulai melonggarkan kebijakan lockdown-nya setelah penyebaran COVID-19 terus melambat.

CNBC International melaporkan Italia dan Spanyol, mulai mencabut beberapa larangan pembatasan aktivitas warganya setelah jumlah kasus baru serta korban meninggal akibat COVID-19 terus menurun.



Spanyol sudah mengizinkan beberapa aktivitas konstruksi bekerja kembali, begitu juga dengan pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi sejak hari Senin. Sementara itu Italia mulai mengizinkan beberapa usaha untuk kembali beraktivitas hari ini.

Tidak hanya itu, negara dengan nilai perekonomian terbesar di Benua Biru, Jerman, juga mempertimbangkan langkah-langkah secara bertahap menuju aktivitas normal.

Pelambatan penyebaran COVID-19 dan mulai dilonggarkannya lockdown di Eropa memunculkan harapan pandemi COVID-19 akan segara berakhir, dan perekonomian segera bangkit.

China sudah membuktikan hal tersebut bisa terjadi. Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.

Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.



Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Memang ekspor dan impor Negeri Tiongkok menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.

Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.

Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.

Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona (COVID-19).

Pelambatan penyebaran COVID-19 secara global serta beransur pulihnya aktivitas ekonomi China membuat pelaku pasar kembali melirik aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi. Aliran modal asing (hot money) akhirnya kembali masuk ke pasar keuangan RI.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sejak akhir Maret hingga 7 April lalu, terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 920 miliar. Inflow tersebut membuat rupiah menjadi stabil dan kembali perkasa. Berbeda dengan bulan Maret lalu, terjadi outflow ratusan triliun yang membuat kurs rupiah jeblok

Bank Indonesia (BI) yang kembali memberikan stimulus moneter membuat rupiah kembali perkasa. Setelah memangkas suku bunga sebanyak 2 kali secara beruntun masing-masing 25 basis poin (bps), Gubernur BI, Perry Warjiyo, melalui video conference mengumumkan suku bunga (7 Day Reverse Repo rate) tetap sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.

Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas eksternal di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi, meskipun BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).

"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).

"BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.

Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.

Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.

BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.

Kebijakan BI tersebut membuat pelaku pasar semakin yakin perekonomian Indonesia bisa segara bangkit setelah penyebaran pernyakit virus corona (COVID-19) bisa dihentikan.



Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Rabu (16/4/2020), nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09 miliar. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.
Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.

Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.



"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).

Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi COVID-19 perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.

Ya, perekonomian global dipastikan akan mengalami resesi di tahun ini. Laporan terbaru daru Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.

Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.

Tetapi sekali lagi, ketika pandemi COVID-19 berhasil dihentikan, perekonomian akan segera bangkit. IMF juga memproyeksikan perekonomian global akan tumbuh 5,8% di tahun 2021. Perekonomian Indonesia sendiri diramal akan tumbuh 8,2% tahun depan.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular