
Terbaik di Asia (Lagi), Masa Jaya Rupiah akan Segera Kembali?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 17:05

Bank Indonesia (BI) yang kembali memberikan stimulus moneter membuat rupiah kembali perkasa. Setelah memangkas suku bunga sebanyak 2 kali secara beruntun masing-masing 25 basis poin (bps), Gubernur BI, Perry Warjiyo, melalui video conference mengumumkan suku bunga (7 Day Reverse Repo rate) tetap sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.
Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas eksternal di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi, meskipun BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).
"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).
"BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.
Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.
Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Kebijakan BI tersebut membuat pelaku pasar semakin yakin perekonomian Indonesia bisa segara bangkit setelah penyebaran pernyakit virus corona (COVID-19) bisa dihentikan.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Rabu (16/4/2020), nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09 miliar. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.
Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.
Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.
Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.
Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.
"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).
Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi COVID-19 perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.
Ya, perekonomian global dipastikan akan mengalami resesi di tahun ini. Laporan terbaru daru Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.
Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.
Tetapi sekali lagi, ketika pandemi COVID-19 berhasil dihentikan, perekonomian akan segera bangkit. IMF juga memproyeksikan perekonomian global akan tumbuh 5,8% di tahun 2021. Perekonomian Indonesia sendiri diramal akan tumbuh 8,2% tahun depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas eksternal di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi, meskipun BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).
"BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.
Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.
Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Kebijakan BI tersebut membuat pelaku pasar semakin yakin perekonomian Indonesia bisa segara bangkit setelah penyebaran pernyakit virus corona (COVID-19) bisa dihentikan.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Rabu (16/4/2020), nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09 miliar. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.
Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.
Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.
Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.
Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.
"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).
Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi COVID-19 perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.
Ya, perekonomian global dipastikan akan mengalami resesi di tahun ini. Laporan terbaru daru Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.
Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.
Tetapi sekali lagi, ketika pandemi COVID-19 berhasil dihentikan, perekonomian akan segera bangkit. IMF juga memproyeksikan perekonomian global akan tumbuh 5,8% di tahun 2021. Perekonomian Indonesia sendiri diramal akan tumbuh 8,2% tahun depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Most Popular