
Awas! Mudik Bisa Ganggu 'Bulan Madu' Rupiah & BI
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 14:28

Indonesia sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan, dan tentunya lengkap dengan tradisi mudik. Tetapi tahun ini ceritanya beda, Pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak mudik di tahun ini guna meredam penyebaran COVID-19.
Jakarta saat ini menjadi episentrum penyebaran COVID-19, dan tentunya banyak warga yang berasal dari luar daerah. Dengan demikian, fenomena mudik dari Jakarta, atau wilayah lainnya di tahun ini berisiko memperluas dan memperbanyak kasus COVID-19 di Indonesia.
Hingga Selasa kemarin, tercatat jumlah kasus sebanyak 4.839, dengan 459 orang meninggal dunia dan 428 orang dinyatakan sembuh. Penambahan kasus di Indonesia sedang dalam tren menanjak sebab kasus pertama baru dilaporkan awal Maret lalu.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo memaparkan pemodelan yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN).
"Estimasi jumlah kasus di Maret 1.577 masukan BIN. Ini relatif akurat. Estimasi akhir April 27.300. Puncaknya pada akhir Juni dan akhir Juli,"
Berikut ini estimasi jumlah kasus positif COVID-19 sebagaimana pemodelan BIN:
Jika estimasi di bulan April mendekati aktualnya nanti, bisa jadi jumlah kasus di Indonesia lebih dari 100 ribu orang menjadi nyata. Masih belum jelas apakah estimasi dari BIN tersebut sudah memperhitungkan penyebaran akibat fenomena mudik.
Yang pasti, penyebaran kasus akibat mudik bisa mengalami lonjakan signifikan. Singapura bisa menjadi contoh nyata.
Singapura merupakan salah satu negara yang terpapar COVID-19 sejak awal kemunculannya, bahkan sempat menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah China. Tetapi, Singapura mampu meredam penyebarannya, hingga pertengahan Maret total jumlah kasus sekitar 200-an orang.
Tetapi setelahnya, Negeri Merlion menghadapi "serangan" virus corona gelombang kedua. Sebabnya, warga negara Singapura yang tinggal di Eropa maupun Amerika Serikat (AS) "mudik" setelah Eropa kemudian AS menjadi episentrum penyebaran COVID-19.
Dampaknya, Singapura mengalami lonjakan kasus, hingga hari ini jumlah kasus tercatat sebanyak 3.252 kasus, naik 1.500% lebih dibandingkan pertengahan Maret lalu.
Pada pekan lalu, Pemerintah Singapura sudah resmi menerapkan aturan "semi-lockdown" atau yang disebut dengan "circuit breaker". Warga diminta untuk tetap di rumah, tempat kerja ditutup mulai Selasa (7/4/2020) kemarin, dan sekolah diliburkan sehari setelahnya.
Hanya layanan penting seperti pasar, supermarket, klinik, rumah sakit, transportasi dan perbankan yang diperbolehkan buka. Status ini, menurut Perdana Menteri Lee Hsien Loong dilakukan guna memutus rantai penyebaran pandemi corona (COVID-19).
Tetapi, kebijakan tersebut belum efektif meredam penyebaran virus corona. Penambahan kasus baru tiap harinya masih meningkat, bahkan mencapai rekor terbanyak 386 kasus pada 13 April lalu. Sementara Selasa kemarin, dilaporkan ada kasus baru sebanyak 334.
Penambahan tersebut menunjukkan besarnya risiko "ledakan" kasus COVID-19 akibat mudik. China juga mengalami hal yang sama, setelah sukses menghentikan penyebaran COVID-19 di dalam negeri, fenomena mudik kini membuat Negeri Tingkok kembali mengalami penambahan kasus di atas 100 orang per hari. Penambahan kasus di China tersebut akan menjadi perhatian pelaku pasar ke depannya, apakah terus meningkat atau berhasil diredam kembali, dan tentunya akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar global.
Sementara jika lonjakan kasus terjadi secara signifikan di Indonesia, pelaku pasar tentunya akan kembali meragukan kemampuan pemerintah dalam memerangi COVID-19, dampaknya bisa terjadi capital outflow seperti di bulan Maret lalu yang membuat rupiah babak belur.
Kemerosotan ekonomi akibat COVID-19 bisa dimaklumi pelaku pasar, penanggulangan pandemi ini yang lebih menjadi perhatian.
"Perlambatan ekonomi terjadi di mana-mana sehingga investor tidak punya banyak pilihan. Kami melihat virus corona membuat investor tidak lagi melihat imbalan dalam berinvestasi. Investor memilih aset di negara yang dipandang virus corona lebih bisa dijinakkan melalui langkah-langkah penanggulangan," kata Stephen Innes, Chief Global Market di AxiCorp, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini upaya Pemerintah memerangi virus corona dengan stimulus senilai Rp 450,1 triliun, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), begitu juga dengan gelontoran stimulus oleh BI masih cukup mampu menumbuhkan tingkat kepercayaan investor yang terlihat dari inflow di pasar obligasi, serta pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tidak lagi merosot tajam.
Tantangan ke depannya tentunya bagaimana meredam penyebaran COVID-19 agar tidak terjadi lonjakan kasus signifikan, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan pelaku pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps)
Jakarta saat ini menjadi episentrum penyebaran COVID-19, dan tentunya banyak warga yang berasal dari luar daerah. Dengan demikian, fenomena mudik dari Jakarta, atau wilayah lainnya di tahun ini berisiko memperluas dan memperbanyak kasus COVID-19 di Indonesia.
Hingga Selasa kemarin, tercatat jumlah kasus sebanyak 4.839, dengan 459 orang meninggal dunia dan 428 orang dinyatakan sembuh. Penambahan kasus di Indonesia sedang dalam tren menanjak sebab kasus pertama baru dilaporkan awal Maret lalu.
"Estimasi jumlah kasus di Maret 1.577 masukan BIN. Ini relatif akurat. Estimasi akhir April 27.300. Puncaknya pada akhir Juni dan akhir Juli,"
Berikut ini estimasi jumlah kasus positif COVID-19 sebagaimana pemodelan BIN:
- Estimasi jumlah kasus di akhir Maret 1.577 kasus (realita 1.528, akurasi prediksi 99 persen)
- Estimasi jumlah kasus di akhir April 27.307 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Mei 95.451 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Juni 105.765 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Juli 106.287 kasus
Jika estimasi di bulan April mendekati aktualnya nanti, bisa jadi jumlah kasus di Indonesia lebih dari 100 ribu orang menjadi nyata. Masih belum jelas apakah estimasi dari BIN tersebut sudah memperhitungkan penyebaran akibat fenomena mudik.
Yang pasti, penyebaran kasus akibat mudik bisa mengalami lonjakan signifikan. Singapura bisa menjadi contoh nyata.
Singapura merupakan salah satu negara yang terpapar COVID-19 sejak awal kemunculannya, bahkan sempat menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah China. Tetapi, Singapura mampu meredam penyebarannya, hingga pertengahan Maret total jumlah kasus sekitar 200-an orang.
Tetapi setelahnya, Negeri Merlion menghadapi "serangan" virus corona gelombang kedua. Sebabnya, warga negara Singapura yang tinggal di Eropa maupun Amerika Serikat (AS) "mudik" setelah Eropa kemudian AS menjadi episentrum penyebaran COVID-19.
Dampaknya, Singapura mengalami lonjakan kasus, hingga hari ini jumlah kasus tercatat sebanyak 3.252 kasus, naik 1.500% lebih dibandingkan pertengahan Maret lalu.
Pada pekan lalu, Pemerintah Singapura sudah resmi menerapkan aturan "semi-lockdown" atau yang disebut dengan "circuit breaker". Warga diminta untuk tetap di rumah, tempat kerja ditutup mulai Selasa (7/4/2020) kemarin, dan sekolah diliburkan sehari setelahnya.
Hanya layanan penting seperti pasar, supermarket, klinik, rumah sakit, transportasi dan perbankan yang diperbolehkan buka. Status ini, menurut Perdana Menteri Lee Hsien Loong dilakukan guna memutus rantai penyebaran pandemi corona (COVID-19).
Tetapi, kebijakan tersebut belum efektif meredam penyebaran virus corona. Penambahan kasus baru tiap harinya masih meningkat, bahkan mencapai rekor terbanyak 386 kasus pada 13 April lalu. Sementara Selasa kemarin, dilaporkan ada kasus baru sebanyak 334.
Penambahan tersebut menunjukkan besarnya risiko "ledakan" kasus COVID-19 akibat mudik. China juga mengalami hal yang sama, setelah sukses menghentikan penyebaran COVID-19 di dalam negeri, fenomena mudik kini membuat Negeri Tingkok kembali mengalami penambahan kasus di atas 100 orang per hari. Penambahan kasus di China tersebut akan menjadi perhatian pelaku pasar ke depannya, apakah terus meningkat atau berhasil diredam kembali, dan tentunya akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar global.
Sementara jika lonjakan kasus terjadi secara signifikan di Indonesia, pelaku pasar tentunya akan kembali meragukan kemampuan pemerintah dalam memerangi COVID-19, dampaknya bisa terjadi capital outflow seperti di bulan Maret lalu yang membuat rupiah babak belur.
Kemerosotan ekonomi akibat COVID-19 bisa dimaklumi pelaku pasar, penanggulangan pandemi ini yang lebih menjadi perhatian.
"Perlambatan ekonomi terjadi di mana-mana sehingga investor tidak punya banyak pilihan. Kami melihat virus corona membuat investor tidak lagi melihat imbalan dalam berinvestasi. Investor memilih aset di negara yang dipandang virus corona lebih bisa dijinakkan melalui langkah-langkah penanggulangan," kata Stephen Innes, Chief Global Market di AxiCorp, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini upaya Pemerintah memerangi virus corona dengan stimulus senilai Rp 450,1 triliun, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), begitu juga dengan gelontoran stimulus oleh BI masih cukup mampu menumbuhkan tingkat kepercayaan investor yang terlihat dari inflow di pasar obligasi, serta pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tidak lagi merosot tajam.
Tantangan ke depannya tentunya bagaimana meredam penyebaran COVID-19 agar tidak terjadi lonjakan kasus signifikan, sehingga menurunkan tingkat kepercayaan pelaku pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular