
Awas! Mudik Bisa Ganggu 'Bulan Madu' Rupiah & BI
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 14:28

Berdasarkan data Worlometers, pandemi COVID-19 sudah "menyerang" lebih dari 200 negara. Hampir tidak ada tempat yang bebas dari virus yang berasal dari kota Wuhan, China tersebut.
Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), bahkan satu negara penuh mengalami lockdown. Dampaknya, aktivitas masyarakat dan dunia usaha merosot tajam bahkan nyaris terhenti. Pertumbuhan ekonomi global sudah pasti melambat tajam, bahkan resesi di beberapa negara sudah terjadi. Bahkan pertumbuhan ekonomi global juga diprediksi mengalami resesi yang cukup dalam.
Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan ekonomi terbarunya. Di dalamnya tergambar betapa seramnya prospek ekonomi dunia akibat serangan COVID-19.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington AS itu memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.
Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/4/2020).
Pelaku pasar kini sudah terbiasa mendengar kata "resesi" bahkan terkesan sudah menerima. Hal ini terlihat setelah IMF merilis outlook ekonomi terbarunya kemarin, Wall Street sebagai kiblat bursa saham global masih tetap menghijau.
Resesi yang terjadi kali ini bukan karena ulah manusia, tetapi karena force majeure yang sulit dihindari. Mau tidak mau, resesi harus diterima. Yang terpenting tentunya adalah kemampuan negara-negara dalam meredam penyebaran COVID-19 dan segera bangkit begitu virus tersebut berhasil dibasmi.
China sudah memberikan gambaran mampu segera bangkit ketika pandemi COVID-19 bisa semakin ditekan, hingga dihentikan penyebarannya.
China sudah sukses meredam penyebaran virus corona, meski kini sedang menghadapi penyebaran dari kasus "impor" atau mudiknya orang-orang China yang tinggal di luar negeri, tetapi jumlahnya tidak signifikan dibandingkan penyebaran lokal yang terjadi sejak awal tahun. Akfivitas ekonomi Negeri Tiongkok pun berangsur-angsur pulih kembali.
Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Memang ekspor dan impor Negeri Tiongkok menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.
Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.
Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.
Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona (COVID-19).
(pap/hps)
Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown), bahkan satu negara penuh mengalami lockdown. Dampaknya, aktivitas masyarakat dan dunia usaha merosot tajam bahkan nyaris terhenti. Pertumbuhan ekonomi global sudah pasti melambat tajam, bahkan resesi di beberapa negara sudah terjadi. Bahkan pertumbuhan ekonomi global juga diprediksi mengalami resesi yang cukup dalam.
Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan ekonomi terbarunya. Di dalamnya tergambar betapa seramnya prospek ekonomi dunia akibat serangan COVID-19.
Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.
![]() |
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/4/2020).
Pelaku pasar kini sudah terbiasa mendengar kata "resesi" bahkan terkesan sudah menerima. Hal ini terlihat setelah IMF merilis outlook ekonomi terbarunya kemarin, Wall Street sebagai kiblat bursa saham global masih tetap menghijau.
Resesi yang terjadi kali ini bukan karena ulah manusia, tetapi karena force majeure yang sulit dihindari. Mau tidak mau, resesi harus diterima. Yang terpenting tentunya adalah kemampuan negara-negara dalam meredam penyebaran COVID-19 dan segera bangkit begitu virus tersebut berhasil dibasmi.
China sudah memberikan gambaran mampu segera bangkit ketika pandemi COVID-19 bisa semakin ditekan, hingga dihentikan penyebarannya.
China sudah sukses meredam penyebaran virus corona, meski kini sedang menghadapi penyebaran dari kasus "impor" atau mudiknya orang-orang China yang tinggal di luar negeri, tetapi jumlahnya tidak signifikan dibandingkan penyebaran lokal yang terjadi sejak awal tahun. Akfivitas ekonomi Negeri Tiongkok pun berangsur-angsur pulih kembali.
Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Memang ekspor dan impor Negeri Tiongkok menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.
Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.
Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.
Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona (COVID-19).
(pap/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular