Rupiah ke 15.000/US$? Sepertinya Tak Perlu Tunggu Akhir Tahun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 07:20
rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Di Indonesia, penambahan kasus COVID-19 masih dalam tren naik, sebab kasus pertama baru dilaporkan pada awal Maret lalu. Hingga Selasa kemarin, tercatat jumlah kasus sebanyak 4.839, dengan 459 orang meninggal dunia dan 428 orang dinyatakan sembuh.

Guna memerangi Pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia menggelontorkan stimulus senilai Rp 450,1 triliun. Sebagian besar, atau nyaris 40% dari itu, dialokasikan untuk pemulihan ekonomi nasional dengan alokasi Rp 150 triliun. Alokasi terbesar kedua adalah jaring pengaman sosial (JPS) atau social safety net dengan nilai Rp 110 triliun. Selanjutnya, alokasi untuk dana kesehatan sebesar Rp 75 triliun, dan terakhir Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan.

Semenjak stimulus tersebut diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 31 Maret lalu, nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil. Sebelumnya pada pekan kedua dan ketiga Maret, rupiah mengalami tekanan hebat, dalam sehari rupiah sempat ambles lebih dari 4% hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 23 Maret lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak krisis moneter 1998 kala rupiah menyentuh rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$.

Gelontoran stimulus oleh Pemerintah membuat para investor mulai percaya Indonesia akan mampu mengatasi pandemi yang telah merenggut nyawa nyaris 120 ribu orang diseluruh dunia.



Meningkatkan kepercayaan investor asing tercermin dari aliran modal asing (hot money) yang masuk ke dalam negeri sejak awal April.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sejak akhir Maret hingga 7 April lalu, terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 920 miliar. Sementara sepanjang Maret lalu, terjadi outflow ratusan triliun yang membuat kurs rupiah jeblok.

Tidak hanya pemerintah, BI juga berperan dalam memerangi virus corona serta dampaknya ke perekonomian melalui stimulus moneter.



Perry Warjiyo saat mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin mempertahankan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%. Sebelumnya BI sudah dua kali memangkas suku bunga masing-masing 25 basis poin (bps) pada Februari dan Maret lalu.

Hal tersebut dilakukan untuk menjaga likuiditas di pasar agar tidak terjadi pengetatan yang disebabkan penurunan aktivitas ekonomi akibat pandemi COVID-19. BI juga mengeluarkan baruan kebijakan lainnya, guna memitigasi risiko pandemi COVID-19, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, stabilnya nilai tukar rupiah belakangan ini, bahkan mencatat penguatan tajam juga tidak lepas dari peran BI melalui triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.

Sejauh ini, upaya Perry dkk menstabilkan rupiah cukup berhasil, bahkan rupiah mencatat penguatan tajam sejak pekan lalu.



Meski kemarin BI menahan suku bunga acuannya, tetapi bukan berarti tanpa stimulus. "Peluru" kembali dimuntahkan dari jalan MH Thamrin, Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19 dengan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).

"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).

Selama ini, BI sudah melakukan quantitative easing hampir Rp 300 triliun dan ke depan akan bertambah lagi.

Peningkatan quantitative easing dilakukan melalui:
  1. Penyediaan term repo dengan underlying SBN dengan tenor sampai dengan satu tahun.
  2. Menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah sebesar 200 basis poin (bps) untuk bank konvensional dan 50 bps untuk bank syariah, berlaku mulai 1 Mei. Langkah ini diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 102 triliun.
  3. Tidak memberlakukan kewajiban menambah giro untuk penambahan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik untuk bank konvensional dan bank syariah, berlaku mulai 1 Mei selama satu tahun. Kebijakan ini akan menambah likuiditas sekitar Rp 15,8 triliun.
Stimulus tambahan dari BI tentunya meningkatkan keyakinan pasar perekonomian akan segera bangkit saat COVID-19 berhasil dihentikan.

Perry juga mengatakan aliran modal asing kembali masuk setelah pemerintah dan BI mengeluarkan berbagai "amunisinya". 
 
"Apresiasi rupiah pada April 2020 didorong kembali meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik pasca ditempuhnya berbagai kebijakan di banyak negara untuk memitigasi dampak penyebaran Covid-19, termasuk Indonesia," ujar Perry

Jika aliran modal terus mengalir ke dalam negeri, ke depannya rupiah bisa terus menguat. Respon rupiah terhadap kebijakan tersebut baru akan terlihat pada hari ini, Rabu (14/4/2020), jika tidak ada perubahan yang berarti dari eksternal, atau tidak ada lonjakan kasus COVID-19, rupiah berpeluang kembali menguat mendekati target akhir tahun BI Rp 15.000/US$



(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular