
Rupiah Tanda-Tanda Stabil, BI Bersiap Pangkas Suku Bunga?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 April 2020 14:21

Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) bertindak super agresif dalam melindungi perekonomian Paman Sam dari "serangan" COVID-19. The Fed melakukan dua kali pemangkasan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) di bulan Maret, tetapi dalam dua pemangkasan tersebut FFR dibabat habis hingga 0-0,25%.
Pemangkasan pertama dilakukan pada 3 Maret waktu Indonesia sebesar 50 bps, kemduian selanjutnya pada 16 Maret sebesar 100 bps. Kedua pemangkasan tersebut dilakukan diluar jadwal Rapat Dewan Gubernur (RGD) resmi, sehingga bisa dikatakan sebagai pemangkasan suku bunga darurat.
Selain itu, The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas.
Kebijakan bank sentral paling powerful di dunia tersebut sama dengan saat menghadapi krisis finansial global tahun 2008, bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE dilakukan dengan nilai tak terbatas.
"Tidak seperti pascakrisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas," kata Ray Attril, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Di pekan ini, The Fed mengumumkan detail salah satu stimulusnya berupa pinjaman lunak ke dunia usaha senilai US$ 2,3 triliun.
Program yang diberi nama main street tersebut akan diberikan kepada perusahaan dengan jumlah tenaga kerja hingga 10.000 orang, dan pendapatan kurang dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2019 lalu. Pembayaran pokok dan bunga pinjaman tersebut akan ditangguhkan selama satu tahun.
Berbagai kebijakan The Fed dan bank sentral lainnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, ada harapan ketika penyebaran virus corona berhasil dihentikan, perekomomian global akan segera bangkit lagi. Dampaknya para investor mulai kembali masuk ke aset-aset berisiko.
The Fed yang super agresif dalam memangkas suku bunga membuat selisih yield di AS dan Indonesia, menjadi semakin lebar. Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di level 0,722% sementara obligasi Indonesia tenor yang sama sebesar 8,115%. Selisih yang sangat lebar.
Meski dalam kondisi saat ini, pelaku pasar tidak melihat tingginya yield, tetapi lebih melihat keamanan berinvetasi. Tetapi sekali lagi, ketika pandemi berhasil dihentikan, investor tentunya akan memilih berinvetasi di yield yang tinggi, sehingga aliran modal bisa masuk kembali ke Indonesia, rupiah bisa stabil bahkan kembali menguat.
(pap/pap)
Pemangkasan pertama dilakukan pada 3 Maret waktu Indonesia sebesar 50 bps, kemduian selanjutnya pada 16 Maret sebesar 100 bps. Kedua pemangkasan tersebut dilakukan diluar jadwal Rapat Dewan Gubernur (RGD) resmi, sehingga bisa dikatakan sebagai pemangkasan suku bunga darurat.
Selain itu, The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas.
"Tidak seperti pascakrisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas," kata Ray Attril, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Di pekan ini, The Fed mengumumkan detail salah satu stimulusnya berupa pinjaman lunak ke dunia usaha senilai US$ 2,3 triliun.
Program yang diberi nama main street tersebut akan diberikan kepada perusahaan dengan jumlah tenaga kerja hingga 10.000 orang, dan pendapatan kurang dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2019 lalu. Pembayaran pokok dan bunga pinjaman tersebut akan ditangguhkan selama satu tahun.
Berbagai kebijakan The Fed dan bank sentral lainnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, ada harapan ketika penyebaran virus corona berhasil dihentikan, perekomomian global akan segera bangkit lagi. Dampaknya para investor mulai kembali masuk ke aset-aset berisiko.
The Fed yang super agresif dalam memangkas suku bunga membuat selisih yield di AS dan Indonesia, menjadi semakin lebar. Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di level 0,722% sementara obligasi Indonesia tenor yang sama sebesar 8,115%. Selisih yang sangat lebar.
Meski dalam kondisi saat ini, pelaku pasar tidak melihat tingginya yield, tetapi lebih melihat keamanan berinvetasi. Tetapi sekali lagi, ketika pandemi berhasil dihentikan, investor tentunya akan memilih berinvetasi di yield yang tinggi, sehingga aliran modal bisa masuk kembali ke Indonesia, rupiah bisa stabil bahkan kembali menguat.
(pap/pap)
Pages
Most Popular