Nasib Minyak Kini di Tangan G20, Amankah?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 April 2020 14:15
Nasib Minyak Kini di Tangan G20, Amankah?
Foto: Ilustrasi Kilang Minyak (AP/Eric Gay)
Jakarta, CNBC Indonesia - Usai Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya (OPEC+) memutuskan untuk memangkas produksi, nasib pasar minyak mentah masih menunggu keputusan berapa pemangkasan produksi yang akan dilakukan oleh negara-negara G20.

Pada Kamis (9/4/2020) OPEC+ menggelar rapat melalui konferensi video selama 9 jam lebih sebelum akhirnya memutuskan untuk memangkas produksi sebesar 10 juta barel per hari (bpd) atau setara dengan 10% dari pasokan minyak global.

Di bawah pimpinan Arab dan Rusia, OPEC+ akan mulai memangkas produksinya mulai 1 Mei - 30 Juni 2020 atau selama 2 bulan. Untuk periode enam bulan setelahnya hingga akhir Desember 2020, OPEC+ berencana untuk memangkas produksi minyaknya sebesar 8 juta bpd.

Setelah itu, organisasi kartel minyak tersebut akan memangkas produksinya sebesar 6 juta bpd selama 16 bulan hingga 30 April 2022. Namun dalam maraton konferensi video tersebut Mexico yang dijatah untuk memangkas produksi minyak sebesar 400 ribu bpd menolak.



Menteri Energi Meksiko Rocio Nahle mengatakan negara itu hanya bersedia untuk memangkas produksi sebesar 100 ribu bpd. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Jumat (10/4/2020), Presiden AS Donald Trump mengatakan dia berbicara dengan Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador dan telah setuju untuk "mengambil beberapa kelonggaran".

AS bersedia untuk memotong produksi atas nama Meksiko. Namun Trump tidak merinci bagaimana pemangkasan produksi akan dilakukan, yang jelas jatah AS tersebut harus dikembalikan Mexico di masa mendatang.

Setelah rapat online OPEC+ digelar, proposal pemangkasan produksi minyak juga diajukan ke negara-negara lain anggota G20. Pada pertemuan luar biasa G20 yang diselenggarakan oleh Arab Saudi, kelompok itu sepakat untuk memangkas produksi minyaknya dan membentuk kelompok khusus untuk memantau upaya negara-negara dalam membatasi produksi.


"Untuk mendukung pemulihan ekonomi global dan melindungi pasar energi, kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan respons kebijakan yang kolaboratif," kata siaran pers.

"Kami menyadari komitmen beberapa produsen untuk menstabilkan pasar energi. Kami mengakui pentingnya kerja sama internasional dalam memastikan ketahanan sistem energi. "tambahnya, melansir CNBC International.

Namun terkait dengan berapa total produksi yang dipangkas oleh G20 masih belum jelas. Rapat yang berlangsung pada Jumat (10/4/2020) hanya menyisakan clue bagi pasar bahwa G20 siap untuk berupaya menstabilkan pasar dengan menjaga keseimbangan suplai dan demand.

Setelah pertemuan G20 tersebut digelar, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan dia berharap negara-negara di luar kelompok itu akan mengurangi produksinya sebesar 5 juta bpd.

[Gambas:Video CNBC]



Bagaimanapun juga usai OPEC+ ketok palu pangkas produksi sebesar 10 juta bpd pasar langsung merespons negatif. Pada Kamis (9/4/2020) harga minyak mentah kontrak futures melorot lagi.

Brent dibanderol US$ 31,48/barel atau turun 4,14%. Sementara minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) anjlok lebih dalam sebesar 9,29% ke level US$ 22,76/barel.

Bagaimana pun juga harga minyak sudah terjun bebas ke level terendah nyaris dalam 2 dekade terakhir akibat pandemi corona dan perang harga antara Arab dengan Rusia.



"Covid-19 adalah binatang buas tak terlihat yang tampaknya berdampak pada semua yang ada di depannya," kata Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo pada pertemuan itu. "Untuk pasar minyak sendiri, ini benar-benar merusak fundamental pasokan dan permintaan sejak kami terakhir bertemu pada 6 Maret," tambahnya.

Kini Arab dan Rusia mulai terlihat mesra dan punya misi yang sama untuk menstabilkan pasar. Namun volume produksi yang dipangkas tersebut dinilai berbagai pihak masih belum mampu mendongkrak harga lantaran permintaan minyak akibat terhentinya aktivitas ekonomi karena pandemi jauh lebih besar.

Bank of America memprediksi konsumsi minyak mentah global di kuartal I lalu turun sekitar 12 juta barel per hari. Kemudian konsultan minyak mentah, FGE, juga melihat permintaan minyak mentah berkurang 12 juta barel per hari, bahkan 20 juta barel per hari dalam skenario terburuknya.

Bank investasi global Goldman Sachs memperkirakan pada Maret saja permintaan minyak global sudah anjlok 10,5 juta bpd. Pada minggu terakhir Maret, Goldman memperkirakan konsumsi minyak dunia turun 26 juta bpd atau setara dengan 25% dari permintaan global.

Lebih lanjut Goldman Sachs memperkirakan permintaan minyak di bulan April akan semakin tertekan dan mengalamoi kontraksi hingga 18,7 juta bpd pada April ini.

“Pemangkasan produksi OPEC + yang dilaporkan 10 juta bpd tidak akan cukup untuk menyumbat ketidakseimbangan jangka pendek penurunan permintaan sebesar 15-20 juta bpd di pasar dan menghindari kejatuhan di bulan Mei,” Chris Midgely, kepala analis S&P Global Platts.

Pemotongan "tidak akan cukup untuk membawa dukungan restoratif berkelanjutan untuk harga minyak, tidak kecuali OPEC melangkah lebih jauh," tambahnya, melansir CNBC International.

Pekan depan kemungkinan harga minyak akan kembali bergerak volatil dan sangat sensitif dengan isu-isu yang ada. Walau isu pemangkasan produksi minyak oleh OPEC+ setidaknya cukup membawa harga minyak melambung ke atas US$ 30/barel (untuk Brent), tetapi ada tiga hal yang perlu dicermati ke depan.

Ketiga hal tersebut adalah 1) berapa besar pemangkasan produksi minyak G20 dan bagaimana penjatahannya, 2) bagaimana kepatuhan masing-masing produsen terhadap komitmen pemangkasan yang diambil serta 3) berapa lama wabah corona ini akan terus merebak.

Secara fundamental pasar minyak memang masih belum mendukung penguatan harga. Jika G20 gagal memenuhi ekspektasi pasar dengan memangkas lebih sedikit produksi minyaknya disertai dengan rendahnya kepatuhan terhadap komitmen serta virus yang terus merebak, maka harga minyak akan anjlok lagi.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular