
Produksi Sudah Dipangkas Harga Minyak Terus Ambles, Ada Apa?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 April 2020 20:23

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Harga minyak mentah dunia anjlok pada perdagangan Kamis (9/4/2020) kemarin, padahal OPEC+ sudah sepakat untuk memangkas produksi.
Pada perdagangan Kamis, minyak jenis Brent merosot 4,14% ke US$ 31,48/barel di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sementara jenis Light Sweet ambrol 9,29% ke US$ 22,76/barel.
Dini hari tadi waktu Indonesia, akhirnya perang harga minyak selesai. OPEC dan Rusia atau yang disebut OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi 10 juta barel/hari, plus (bila disetujui G20) 5 juta barel/hari dari negara-negara lain. Dengan berkurangnya pasokan diharapkan harga akan lebih tinggi dan stabil, tidak di level rendah seperti sekarang.
OPEC mengatakan pemangkasan produksi sebesar 10 juta barel per hari akan dilakukan pada bulan Mei dan Juni, kemudian dikurangi menjadi 8 juta barel per hari di sisa tahun ini. Pada tahun depan, produksi akan dikurangi sebanyak 6 juta barel per hari, dan berlangsung hingga April 2022, sebagaimana dilansir CNBC International.
Meski demikian, pemangkasan tersebut belum mampu mengangkat harga minyak mentah. Sebabnya, outlook permintaan yang masih suram akibat pandemi virus corona (COVID-19).
Virus corona hingga saat ini sudah "menyerang" 185 negara/wilayah, menjangkiti lebih dari 1,6 juta orang, dengan lebih dari 95.000 orang meninggal dunia dan 356.161 sembuh, berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE.
Penyebaran tersebut membuat beberapa negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) atau satu negara penuh, sehingga roda perekonomian menurun drastis. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global akan melambat, bahkan resesi hampir pasti terjadi.
Ketika aktivitas ekonomi menurun, permintaan akan minyak mentah tentunya juga akan berkurang, tidak hanya dari industri, tetapi juga secara ritel. Maklum saja, kebijakan lockdown membuat aktivitas masyarakat dibatasi, sehingga permintaan bahan bakar minyak (BBM) juga pasti menurun. Dan hal ini terjadi di berbagai negara.
Bank of America memprediksi konsumsi minyak mentah global di kuartal I lalu turun sekitar 12 juta barel per hari. Kemudian konsultan minyak mentah, FGE, juga melihat permintaan minyak mentah berkurang 12 juta barel per hari, bahkan 20 juta barel per hari dalam skenario terburuknya.
OPEC+ baru mulai memangkas produksinya pada bulan Mei, sementara permintaan sudah mulai merosot sejak munculnya pandemi COVID-19. Jika pandemi ini masih belum bisa dihentikan pada bulan depan, jumlah produksi yang dipangkas juga masih lebih sedikit dibandingkan penurunan permintaan. Hal tersebut menyebabkan harga minyak masih terus tertekan.
Akibat penurunan permintaan tersebut, Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak jenis Brent rata-rata berada di level US$ 20/barel. Sementara Citi lebih rendah lagi, rata-rata diperkirakan US$ 17/barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Duh Makin Mahal, Harga Minyak Bisa ke US$ 70/barel
Pada perdagangan Kamis, minyak jenis Brent merosot 4,14% ke US$ 31,48/barel di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sementara jenis Light Sweet ambrol 9,29% ke US$ 22,76/barel.
Dini hari tadi waktu Indonesia, akhirnya perang harga minyak selesai. OPEC dan Rusia atau yang disebut OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi 10 juta barel/hari, plus (bila disetujui G20) 5 juta barel/hari dari negara-negara lain. Dengan berkurangnya pasokan diharapkan harga akan lebih tinggi dan stabil, tidak di level rendah seperti sekarang.
Meski demikian, pemangkasan tersebut belum mampu mengangkat harga minyak mentah. Sebabnya, outlook permintaan yang masih suram akibat pandemi virus corona (COVID-19).
Virus corona hingga saat ini sudah "menyerang" 185 negara/wilayah, menjangkiti lebih dari 1,6 juta orang, dengan lebih dari 95.000 orang meninggal dunia dan 356.161 sembuh, berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE.
Penyebaran tersebut membuat beberapa negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) atau satu negara penuh, sehingga roda perekonomian menurun drastis. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global akan melambat, bahkan resesi hampir pasti terjadi.
Ketika aktivitas ekonomi menurun, permintaan akan minyak mentah tentunya juga akan berkurang, tidak hanya dari industri, tetapi juga secara ritel. Maklum saja, kebijakan lockdown membuat aktivitas masyarakat dibatasi, sehingga permintaan bahan bakar minyak (BBM) juga pasti menurun. Dan hal ini terjadi di berbagai negara.
Bank of America memprediksi konsumsi minyak mentah global di kuartal I lalu turun sekitar 12 juta barel per hari. Kemudian konsultan minyak mentah, FGE, juga melihat permintaan minyak mentah berkurang 12 juta barel per hari, bahkan 20 juta barel per hari dalam skenario terburuknya.
OPEC+ baru mulai memangkas produksinya pada bulan Mei, sementara permintaan sudah mulai merosot sejak munculnya pandemi COVID-19. Jika pandemi ini masih belum bisa dihentikan pada bulan depan, jumlah produksi yang dipangkas juga masih lebih sedikit dibandingkan penurunan permintaan. Hal tersebut menyebabkan harga minyak masih terus tertekan.
Akibat penurunan permintaan tersebut, Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak jenis Brent rata-rata berada di level US$ 20/barel. Sementara Citi lebih rendah lagi, rata-rata diperkirakan US$ 17/barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Duh Makin Mahal, Harga Minyak Bisa ke US$ 70/barel
Most Popular