
Pasokan Minyak Bakal Turun, Tapi Kok Harga Anjlok?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 April 2020 08:33

Akan tetapi, kabar dari OPEC+ malah tidak membuat harga minyak melesat, yang ada malah jatuh. Mengapa bisa begitu?
Jawabannya adalah virus corona alias Coronavirus Desease-2019 (Covid-19). Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu menyebar dengan sangat cepat.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis per pukul 07:21 WIB, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia sudah hampir 1,6 juta orang, tepatnya 1.596.496 orang. Korban jiwa juga semakin bertambah mendekati 100.000 orang, saat ini di 95.506 orang.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan virus corona sudah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Hampir tidak ada tempat yang aman.
Akibat serangan virus mematikan, aktivitas masyarakat menjadi terbatas (atau dibatasi). Banyak pemerintah mengimbau atau bahkan benar-benar melarang warga untuk keluar rumah untuk menekan angka penularan (flattening the curve).
Ini membuat permintaan energi menurun. Misalnya di sektor transportasi, penggunaan kendaraan berkurang jauh karena saat ini jutaan orang di dunia menerapkan kerja, belajar, dan beribadah di rumah.
"Permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia anjlok sekitar 30 juta barel per hari. Serangan virus corona membuat pesawat terbang banyak yang menganggur, begitu pula kendaraan lainnya seiring penurunan aktivitas ekonomi," sebut riset Reuters.
Pengurangan pasokan minyak walau sampai 15 juta barel/hari masih lebih sedikit ketimbang penurunan permintaan. Masih ada kelebihan pasokan (oversupply) sehingga harga akan cenderung bergerak ke selatan.
Apalagi stok minyak Amerika Serikat (AS), negara produsen terbesar di dunia, bukannya berkurang tetapi terus bertambah. Per 3 April 2020, stok minyak Negeri Adidaya mencapai 484,37 juta barel, tertinggi sejak awal Juni tahun lalu. Sejak awal tahun, stok minyak AS naik 12,67%.
Jadi wajar saja harga minyak turun meski sudah ada kesepakatan untuk memangkas produksi. Wong permintaan rendah, bagaimana bisa menjual dengan harga tinggi?
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Jawabannya adalah virus corona alias Coronavirus Desease-2019 (Covid-19). Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu menyebar dengan sangat cepat.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis per pukul 07:21 WIB, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia sudah hampir 1,6 juta orang, tepatnya 1.596.496 orang. Korban jiwa juga semakin bertambah mendekati 100.000 orang, saat ini di 95.506 orang.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan virus corona sudah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Hampir tidak ada tempat yang aman.
Akibat serangan virus mematikan, aktivitas masyarakat menjadi terbatas (atau dibatasi). Banyak pemerintah mengimbau atau bahkan benar-benar melarang warga untuk keluar rumah untuk menekan angka penularan (flattening the curve).
Ini membuat permintaan energi menurun. Misalnya di sektor transportasi, penggunaan kendaraan berkurang jauh karena saat ini jutaan orang di dunia menerapkan kerja, belajar, dan beribadah di rumah.
"Permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia anjlok sekitar 30 juta barel per hari. Serangan virus corona membuat pesawat terbang banyak yang menganggur, begitu pula kendaraan lainnya seiring penurunan aktivitas ekonomi," sebut riset Reuters.
Pengurangan pasokan minyak walau sampai 15 juta barel/hari masih lebih sedikit ketimbang penurunan permintaan. Masih ada kelebihan pasokan (oversupply) sehingga harga akan cenderung bergerak ke selatan.
Apalagi stok minyak Amerika Serikat (AS), negara produsen terbesar di dunia, bukannya berkurang tetapi terus bertambah. Per 3 April 2020, stok minyak Negeri Adidaya mencapai 484,37 juta barel, tertinggi sejak awal Juni tahun lalu. Sejak awal tahun, stok minyak AS naik 12,67%.
Jadi wajar saja harga minyak turun meski sudah ada kesepakatan untuk memangkas produksi. Wong permintaan rendah, bagaimana bisa menjual dengan harga tinggi?
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular