Corona Rada Adem, Giliran Minyak Bikin Rupiah Melemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2020 09:02
Corona Rada Adem, Giliran Minyak Bikin Rupiah Melemah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Tarik-ulur antara sentimen positif dan negatif membuat pelaku pasar wait and see sehingga arus modal tidak banyak mengalir ke pasar keuangan Indonesia.

Pada Rabu (8/4/2020), US$ 1 setara dengan Rp 16.175 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.


Kemarin, rupiah menguat cukup tajam di hadapan dolar AS yaitu mencapai 1,56%. Rupiah menjadi mata uang terbaik Asia.

Penguatan rupiah terjadi karena pengumuman dari Bank Indonesia (BI) soal kerja sama fasilitas Repo Line dengan bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed senilai US$ 60 miliar. Melalui fasilitas ini, BI bisa memperoleh likuiditas dolar AS dari The Fed dengan menukarkan obligasi pemerintah AS.

"Jadi Repo Line tidak menambah cadangan devisa tetapi sangat bagus untuk kita gunakan dalam memenuhi kebutuhan dolar saat pasar global mengalami keketatan. Tidak banyak bank sentral negara berkembang yang diberikan Repo Line ini," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam briefing perkembangan ekonomi terkini, kemarin.


Dengan tersedianya Repo Line, BI akan punya 'ban serep' untuk mengawal rupiah apabila cadangan devisa dirasa kurang memadai. Pasar bisa tenang karena gejolak rupiah sepertinya bisa diredam, BI punya 'peluru' yang cukup.

Namun hari ini, investor lebih memilih mencairkan keuntungan yang didapat kemarin. Sebab, ketidakpastian masih lumayan tinggi sehingga pelaku pasar memilih wait and see.


Ada kabar positif yaitu penyebaran virus corona atau Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) yang melambat di sejumlah negara hot spot. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 06:11 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia memang bertambah menjadi 1.426.096 pasien. Korban jiwa juga semakin banyak menjadi 81.865 orang.


Namun, ada pertanda awal bahwa penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini mulai mereda. Di AS, negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia yaitu hampir 400.000 pasien, pertumbuhan kasus baru semakin berkurang.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pertumbuhan kasus corona di Negeri Paman Sam pada 7 April adalah 8,62%. Ini menjadi yang terendah sejak 27 Maret, dan jauh di bawah rata-rata laju pertumbuhan selama 24 Januari-7 April yang sebesar 22,17%.

 

Sementara di China, ground zero penyebaran virus corona, untuk kali pertama sejak Januari tidak ada kematian akibat Covid-19. Di Wuhan, kemarin hanya ada dua kasus baru.

"Kami percaya bahwa perekonomian global akan pulih setelah pandemi ini mencapai puncaknya," tegas Charalambos Pissouros, Senior Market Analyst di JFD Group, dikutip dari Reuters.

Ini menjadi sentimen positif yang bisa menggairahkan pasar. Sebab, sepertinya mulai ada pertanda bahwa badai corona akan segera berlalu.



Namun, langkah investor terhalang karena penantian terhadap pertemuan OPEC+ yang berlangsung di Arab Saudi esok hari. Rencananya, pertemuan ini akan membahas seputar pemangkasan produksi sebesar 10 juta barel/hari atau sekitar 10% dari pasokan minyak di pasar dunia.

"Pasar ingin kejelasan apakah Arab Saudi dan Rusia benar-benar sudah sepakat soal pemotongan produksi," tegas Gene McGillian, Vice President of Market Research di Tradition Energy, seperti dikutip dari Reuters.


Wajar pasar harap-harap cemas dan masih ragu apakah kesepakatan bisa tercapai. Pasalnya, sudah ada catatan OPEC dan Rusia gagal mencapai kata sepakat soal penurunan produksi.

Bulan lalu, hubungan Arab Saudi-Rusia menegang. Gara-garanya, Rusia menolak proposal OPEC soal rencana pemotongan produksi minyak 1,5 juta barel/hari. Keputusan Rusia membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek.

Tidak hanya menggenjot produksi, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.

Kehadiran AS sebagai juru damai mampu membuat hubungan Arab Saudi-Rusia membaik dan bersedia untuk berdialog di forum OPEC+ esok hari. Namun soal apakah rencana pemotongan produksi 10 juta barel/hari bakal gol, tidak ada yang tahu. Ini yang membuat pelaku pasar agak grogi sehingga berpikir ulang untuk bermain di aset-aset berisiko.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular