
BI Sebut Undervalue, Pelemahan Rupiah Jadi Tipis
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 April 2020 17:15

Pandemi virus corona (COVID-19) masih menjadi biang keladi buruknya kinerja rupiah hingga mendekati level terlemah sepanjang sejarah.
Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sudah ada 180 negara/wilayah yang terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus semakin mendekati 1 juta orang. 47.287 diantaranya meninggal dunia, dan 195.081 orang dinyatakan sembuh.
Sementara di Indonesia, hingga hari ini kemarin sudah ada 1.790 kasus, dengan 170 orang meninggal dunia, dan 112 dinyatakan sembuh.
Jumlah kasus yang ada di dalam negeri memang tergolong kecil dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi ini baru tahap awal, dan dampak yang ditimbulkan di pasar keuangan dan sektor riil sangat besar.
Sektor finansial sudah terkena dampaknya jauh sebelum COVID-19 menyerang Indonesia. Aksi jual di bursa saham dan pasar obligasi terjadi sejak bulan Februari, dan semakin masif di bulan Maret ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan di Indonesia.
Padahal, Berdasarkan data Ditjen Per Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak akhir 2019 hingga 24 Januari terjadi capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun.
Inflow tersebut membuat rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia, per 24 Januari menguat 2,29% melawan dolar AS. Saat itu, tidak ada mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS lebih dari 2% selain rupiah, bahkan tidak banyak mata uang yang menguat.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah COVID-19 mulai menunjukkan dampak buruknya ke sektor riil.
Sektor pariwisata RI menjadi yang paling pertama terpukul sejak awal penyebaran (outbreak) COVID-19 di bulan Januari di kota Wuhan, China.
Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu kemarin melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.
"Biasanya Februari terjadi kenaikan dibandingkan Januari, tetapi Februari ini turun. Pada Maret, penurunan mungkin akan jauh lebih dalam," kata Suhariyanto, Kepala BPS.
Maklum saja, ketika virus corona menyebar dengan cepat di China, pemerintah Tiongkok langsung mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) kota Wuhan. Wisatawan asal China juga mulai dibatasi kunjungannnya guna menghindari penyebaran ke nagara-negara lain, meski pada akhirnya penyebaran tidak bisa dicegah, dan COVID-19 resmi menjadi pandemi.
"Ada penurunan curam sekali dari Wisman Tiongkok baik itu year on year atau month to month. Mengalami penurunan luar biasa dalam sebesar 94% secara year on year [Februari 2020 terhadap Februari 2019]. Jumlah wisman turun paling dalam dari Tiongkok turun 94,1% dan Hong Kong 93,16%," jelas Suhariyanto, Rabu (1/4/2020).
COVID-19 juga sudah menggerogoti sektor manufaktur RI, yang aktivitasnya mengalami kontraksi di bulan Maret.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.
Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.
Saat sektor manufaktur terpukul, perekonomian juga akan merosot mengingat sektor indursri berkontribusi nyaris 20% dari struktur produk domestic bruto (PDB) Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kemarin mengatakan ada 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/hps)
Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sudah ada 180 negara/wilayah yang terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus semakin mendekati 1 juta orang. 47.287 diantaranya meninggal dunia, dan 195.081 orang dinyatakan sembuh.
Sementara di Indonesia, hingga hari ini kemarin sudah ada 1.790 kasus, dengan 170 orang meninggal dunia, dan 112 dinyatakan sembuh.
Jumlah kasus yang ada di dalam negeri memang tergolong kecil dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi ini baru tahap awal, dan dampak yang ditimbulkan di pasar keuangan dan sektor riil sangat besar.
Padahal, Berdasarkan data Ditjen Per Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak akhir 2019 hingga 24 Januari terjadi capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 30,16 triliun.
Inflow tersebut membuat rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia, per 24 Januari menguat 2,29% melawan dolar AS. Saat itu, tidak ada mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS lebih dari 2% selain rupiah, bahkan tidak banyak mata uang yang menguat.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah COVID-19 mulai menunjukkan dampak buruknya ke sektor riil.
Sektor pariwisata RI menjadi yang paling pertama terpukul sejak awal penyebaran (outbreak) COVID-19 di bulan Januari di kota Wuhan, China.
Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu kemarin melaporkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 885.067 di bulan Februari. Anjlok 30,42% dibandingkan bulan sebelumnya dan 28,85% dibandingkan periode yang sama pada 2019.
"Biasanya Februari terjadi kenaikan dibandingkan Januari, tetapi Februari ini turun. Pada Maret, penurunan mungkin akan jauh lebih dalam," kata Suhariyanto, Kepala BPS.
Maklum saja, ketika virus corona menyebar dengan cepat di China, pemerintah Tiongkok langsung mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) kota Wuhan. Wisatawan asal China juga mulai dibatasi kunjungannnya guna menghindari penyebaran ke nagara-negara lain, meski pada akhirnya penyebaran tidak bisa dicegah, dan COVID-19 resmi menjadi pandemi.
"Ada penurunan curam sekali dari Wisman Tiongkok baik itu year on year atau month to month. Mengalami penurunan luar biasa dalam sebesar 94% secara year on year [Februari 2020 terhadap Februari 2019]. Jumlah wisman turun paling dalam dari Tiongkok turun 94,1% dan Hong Kong 93,16%," jelas Suhariyanto, Rabu (1/4/2020).
COVID-19 juga sudah menggerogoti sektor manufaktur RI, yang aktivitasnya mengalami kontraksi di bulan Maret.
Aktivitas industri dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur, yang menggambarkan pembelian bahan baku/penolong dan barang modal yang akan digunakan untuk proses produksi pada masa mendatang. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di atas 50 berarti industri sedang ekspansif sementara di bawah 50 artinya kontraktif alias mengkerut.
IHS Markit melaporkan PMI Indonesia Maret 2020 adalah 45,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51,9 sekaligus menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI yang dimulai pada April 2011.
Itu artinya sektor manufaktur RI sudah mulai menurunkan hingga menghentikan produksinya.
Kondisi seperti ini masih akan berlangsung setidaknya dua bulan ke depan mengingat puncak pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan pada April dan Mei.
Saat sektor manufaktur terpukul, perekonomian juga akan merosot mengingat sektor indursri berkontribusi nyaris 20% dari struktur produk domestic bruto (PDB) Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kemarin mengatakan ada 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular