
Jika Tak Cepat Atasi COVID-19, Rupiah Bisa ke Rp 17.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 March 2020 14:57

Semakin lama Indonesia bertarung melawan COVID-19, tentunya semakin lama juga rupiah berada dalam posisi tertekan. Kecuali, jika sentimen pelaku pasar secara global bisa pulih meski pandemi COVID-19 belum berakhir, rupiah baru memiliki peluang menguat lebih jauh. Itu pun jika pemerintah RI mampu menjaga agar jumlah kasus COVID-19 tidak meroket.
Eropa dan AS akan menjadi kunci sentimen akan membaik atau tidak dalam waktu dekat. Episentrum penyebaran COVID-19 sudah berpindah ke Benua Biru serta Negeri Paman Sam.
Hingga saat ini ini jumlah kasus di AS tercatat sebanyak 164.274 kasus, menjadi yang terbanyak di dunia, disusul Italia 101.739 kasus, kemudian Spanyol 87.956 kasus, dan Jerman 66.885 kasus, berdasarkan data John Hopkins CSSE.
Stimulus moneter sudah digelontorkan oleh European Central Bank (ECB) guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Negeri Paman Sam bahkan lebih agresif lagi, bank sentral AS sudah membabat habis suku bunga acuannya hingga 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas.
Kemudian Pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, yang menjadi terbesar sepanjang sejarah. Nilai tersebut dua kali lipat dari nilai ekonomi Indonesia.
Semua itu dilakukan guna memerangi COVID-19, dan ketika berhasil ditaklukkan perekonomian akan kembali melesat naik, seperti halnya dengan yang terjadi di China.
Untuk memperbaiki sentimen pelaku pasar, rasanya tidak perlu sampai pandemi COVID-19 terhenti, ketika laju penambahan kasus sudah mulai melambat, itu akan jadi tanda menuju "kemenangan", dan pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang selama ini sudah merosot puluhan persen.
Pasar saham dan pasar obligasi Indonesia bisa kembali menjadi buruan pelaku pasar seperti halnya di awal tahun ini ketika rupiah menjadi mata uang terbaik dunia setelah mencatat penguatan 2,29% melawan dolar AS per 24 Januari lalu. Rupiah kala itu menikmati derasnya aliran modal (hot money) yang masuk ke dalam negeri.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow akibat pandemi COVID-19, maka rupiah akan tertekan hingga nilainya terus merosot seperti saat ini.
IHSG sepanjang tahun ini sudah ambles sekitar 30% sementara yield obligasi tenor 10 tahun di 7,879%, tertinggi dalam 9 bulan terakhir. Yield tersebut jauh lebih tinggi ketimbang obligasi AS dengan tenor yang sama dimana yield-nya di bawah 1%.
Ketika pandemi COVID-19 penyebaran sudah melambat, dan sentimen pelaku pasar berangsur membaik, berinvestasi di RI tentunya akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi sekali lagi, pemerintah harus mampu mengekang penyebaran COVID-19 agar jumlah kasusnya tidak mengalami lonjakan drastis.
Apalagi, dengan pandemi COVID-19 yang sudah menjangkiti hampir semua negara, para investor dikatakan akan lebih melirik negara berhasil mengatasi penyebaran COVID-19. Jika terjadi lonjakan drastis kasus COVID-19, tekanan bagi rupiah akan semakin besar.
"Kemerosotan ekonomi terjadi dimana-mana saat ini, jadi sejauh itu, kita akan melihat perdagangan berdasarkan perbedaan penanganan virus corona ketimbang perbedaan yield" kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxuCorp.
"Investor saat ini membeli mata uang negara yang mampu mengatasi virus corona lebih cepat dengan berbagai langkah yang diambil untuk menghentikan penyebarannya" tambah Innes. (pap/pap)
Eropa dan AS akan menjadi kunci sentimen akan membaik atau tidak dalam waktu dekat. Episentrum penyebaran COVID-19 sudah berpindah ke Benua Biru serta Negeri Paman Sam.
Hingga saat ini ini jumlah kasus di AS tercatat sebanyak 164.274 kasus, menjadi yang terbanyak di dunia, disusul Italia 101.739 kasus, kemudian Spanyol 87.956 kasus, dan Jerman 66.885 kasus, berdasarkan data John Hopkins CSSE.
Stimulus moneter sudah digelontorkan oleh European Central Bank (ECB) guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Negeri Paman Sam bahkan lebih agresif lagi, bank sentral AS sudah membabat habis suku bunga acuannya hingga 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas.
Kemudian Pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, yang menjadi terbesar sepanjang sejarah. Nilai tersebut dua kali lipat dari nilai ekonomi Indonesia.
Semua itu dilakukan guna memerangi COVID-19, dan ketika berhasil ditaklukkan perekonomian akan kembali melesat naik, seperti halnya dengan yang terjadi di China.
Untuk memperbaiki sentimen pelaku pasar, rasanya tidak perlu sampai pandemi COVID-19 terhenti, ketika laju penambahan kasus sudah mulai melambat, itu akan jadi tanda menuju "kemenangan", dan pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang selama ini sudah merosot puluhan persen.
Pasar saham dan pasar obligasi Indonesia bisa kembali menjadi buruan pelaku pasar seperti halnya di awal tahun ini ketika rupiah menjadi mata uang terbaik dunia setelah mencatat penguatan 2,29% melawan dolar AS per 24 Januari lalu. Rupiah kala itu menikmati derasnya aliran modal (hot money) yang masuk ke dalam negeri.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow akibat pandemi COVID-19, maka rupiah akan tertekan hingga nilainya terus merosot seperti saat ini.
IHSG sepanjang tahun ini sudah ambles sekitar 30% sementara yield obligasi tenor 10 tahun di 7,879%, tertinggi dalam 9 bulan terakhir. Yield tersebut jauh lebih tinggi ketimbang obligasi AS dengan tenor yang sama dimana yield-nya di bawah 1%.
Ketika pandemi COVID-19 penyebaran sudah melambat, dan sentimen pelaku pasar berangsur membaik, berinvestasi di RI tentunya akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi sekali lagi, pemerintah harus mampu mengekang penyebaran COVID-19 agar jumlah kasusnya tidak mengalami lonjakan drastis.
Apalagi, dengan pandemi COVID-19 yang sudah menjangkiti hampir semua negara, para investor dikatakan akan lebih melirik negara berhasil mengatasi penyebaran COVID-19. Jika terjadi lonjakan drastis kasus COVID-19, tekanan bagi rupiah akan semakin besar.
"Kemerosotan ekonomi terjadi dimana-mana saat ini, jadi sejauh itu, kita akan melihat perdagangan berdasarkan perbedaan penanganan virus corona ketimbang perbedaan yield" kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxuCorp.
"Investor saat ini membeli mata uang negara yang mampu mengatasi virus corona lebih cepat dengan berbagai langkah yang diambil untuk menghentikan penyebarannya" tambah Innes. (pap/pap)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular