Jika Tak Cepat Atasi COVID-19, Rupiah Bisa ke Rp 17.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 March 2020 14:57
Jika Tak Cepat Atasi COVID-19, Rupiah Bisa ke Rp 17.000/US$
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (31/3/2020). Padahal ada beberapa kabar bagus yang seharusnya bisa membuat Mata Uang Garuda menguat lebih jauh.

Rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,15% di Rp 16.300/US$, dan sempat bertambah hingga 0,28% di Rp 16.280/US$. Tetapi kinerja tersebut gagal dipertahankan, rupiah malah berbalik melemah 0,39% ke Rp 16.385/US$ pada pukul 14:00 WIB.

Pergerakan tersebut menunjukkan masih kuatnya tekanan terhadap rupiah, dan pelaku pasar masih bimbang melihat dinamika yang terjadi di pasar global akibat pandemi virus corona (COVID-19).


Pandemi yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, China ini sudah "menyerang" lebih dari 170 negara, menginfeksi nyaris 785.000 orang, dengan 37.638 meninggal dunia, dan lebih dari 165.000 dinyatakan sembuh, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE per pagi ini.

China sendiri sudah sukses meredam penyebaran COVID-19, bahkan negeri Tiongkok kini bukan lagi menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Laju penambahan kasus COVID-19 di China sudah jauh melambat, bahkan 0 untuk transmisi local. Kasus infeksi terbaru dilaporkan dari orang-orang yang datang ke China atau kasus impor.

Amerika Serikat (AS) kini menjadi episentrum baru penyebaran COVID-19. Hingga pagi ini tercatat jumlah kasus sebanyak 163.429 kasus, disusul Italia 101.739 kasus, kemudian Spanyol 87.956 kasus. China berada ditempat ke empat dengan jumlah kasus sebanyak 82.199 kasus.

Selain sukses meredam COVID-19, ada satu kabar bagus lagi dari China. Sektor manufaktur Negeri Tiongkok bangkit lebih cepat dari prediksi. Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7, dan jauh di atas prediksi di Forex Factory sebesar 44,9.

Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.

Sektor manufaktur yang pulih lebih cepat tentunya membuktikan jika perekonomian akan segara bangkit saat COVID-19 berhasil diatasi.



Situasi tersebut bisa terjadi di semua negara yang terpapar COVID-19. Yang menjadi masalah adalah Indonesia baru melaporkan kasus COVID-19 sejak awal bulan ini, dan jumlahnya terus bertambah.

Hingga Senin kemarin terdapat 1.414 kasus positif COVID-19, dengan 122 korban meninggal dunia, dan 75 dinyatakan sembuh.

China perlu waktu sekitar 3 bulan untuk menjinakkan COVID-19, sementara AS yang menjadi episentrum baru diprediksi baru akan mengakhiri social distancing satu bulan ke depan.

Sementara itu, Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.

"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa, bulan puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom beberapa waktu lalu. 

"Di Indonesia sebetulnya bekerja sama dengan beberapa pihak, itu sama juga membuat permodelan dari data yang sudah ada. Dari permodelan yang ada, kita memperkirakan bahwa masa puncak di Indonesia itu akan berlaku 60-80 hari sejak infeksi pertama itu diumumkan tanggal 2 Maret," kata dia.

Prediksi dari BIN tersebut nyaris sama dengan lamanya waktu yang diperlukan China hingga berhasil menekan penyebaran COVID-19.

Berkaca dari hal tersebut, upaya Indonesia untuk menaklukan COVID-19 tentunya masih cukup lama, dan rupiah masih belum bisa lepas dari tekanan, dan tidak menutup kemungkinan akan melampaui rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.

Semakin lama Indonesia bertarung melawan COVID-19, tentunya semakin lama juga rupiah berada dalam posisi tertekan. Kecuali, jika sentimen pelaku pasar secara global bisa pulih meski pandemi COVID-19 belum berakhir, rupiah baru memiliki peluang menguat lebih jauh. Itu pun jika pemerintah RI mampu menjaga agar jumlah kasus COVID-19 tidak meroket.

Eropa dan AS akan menjadi kunci sentimen akan membaik atau tidak dalam waktu dekat. Episentrum penyebaran COVID-19 sudah berpindah ke Benua Biru serta Negeri Paman Sam.

Hingga saat ini ini jumlah kasus di AS tercatat sebanyak 164.274 kasus, menjadi yang terbanyak di dunia, disusul Italia 101.739 kasus, kemudian Spanyol 87.956 kasus, dan Jerman 66.885 kasus, berdasarkan data John Hopkins CSSE.



Stimulus moneter sudah digelontorkan oleh European Central Bank (ECB) guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian. Negeri Paman Sam bahkan lebih agresif lagi, bank sentral AS sudah membabat habis suku bunga acuannya hingga 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas.

Kemudian Pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, yang menjadi terbesar sepanjang sejarah. Nilai tersebut dua kali lipat dari nilai ekonomi Indonesia.

Semua itu dilakukan guna memerangi COVID-19, dan ketika berhasil ditaklukkan perekonomian akan kembali melesat naik, seperti halnya dengan yang terjadi di China.



Untuk memperbaiki sentimen pelaku pasar, rasanya tidak perlu sampai pandemi COVID-19 terhenti, ketika laju penambahan kasus sudah mulai melambat, itu akan jadi tanda menuju "kemenangan", dan pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang selama ini sudah merosot puluhan persen.

Pasar saham dan pasar obligasi Indonesia bisa kembali menjadi buruan pelaku pasar seperti halnya di awal tahun ini ketika rupiah menjadi mata uang terbaik dunia setelah mencatat penguatan 2,29% melawan dolar AS per 24 Januari lalu. Rupiah kala itu menikmati derasnya aliran modal (hot money) yang masuk ke dalam negeri.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow akibat pandemi COVID-19, maka rupiah akan tertekan hingga nilainya terus merosot seperti saat ini.

IHSG sepanjang tahun ini sudah ambles sekitar 30% sementara yield obligasi tenor 10 tahun di 7,879%, tertinggi dalam 9 bulan terakhir. Yield tersebut jauh lebih tinggi ketimbang obligasi AS dengan tenor yang sama dimana yield-nya di bawah 1%.

Ketika pandemi COVID-19 penyebaran sudah melambat, dan sentimen pelaku pasar berangsur membaik, berinvestasi di RI tentunya akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi sekali lagi, pemerintah harus mampu mengekang penyebaran COVID-19 agar jumlah kasusnya tidak mengalami lonjakan drastis.

Apalagi, dengan pandemi COVID-19 yang sudah menjangkiti hampir semua negara, para investor dikatakan akan lebih melirik negara berhasil mengatasi penyebaran COVID-19. Jika terjadi lonjakan drastis kasus COVID-19, tekanan bagi rupiah akan semakin besar.

"Kemerosotan ekonomi terjadi dimana-mana saat ini, jadi sejauh itu, kita akan melihat perdagangan berdasarkan perbedaan penanganan virus corona ketimbang perbedaan yield" kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxuCorp.

"Investor saat ini membeli mata uang negara yang mampu mengatasi virus corona lebih cepat dengan berbagai langkah yang diambil untuk menghentikan penyebarannya" tambah Innes. Secara teknikal, rupiah sebenarnya berpeluang menguat lebih jauh setelah di hari Jumat pekan lalu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 16.200/US$ (level tertinggi 18 Juni 1998). Selain itu indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought) dalam waktu yang cukup lama.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, dolar AS berpeluang melemah mengingat simbol perdagangan jika melawan rupiah adalah USD/IDR.

Apalagi pada perdagangan Selasa, rupiah kembali membentuk pola Black Marubozu.


Begitu perdagangan Selasa dibuka, rupiah langsung menguat 0,31% ke level Rp 16.5000/US$. Setelahnya penguatan rupiah semakin menebal hingga 0,6% ke Rp 16.450/US$ di akhir perdagangan.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemah intraday, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Sumber: Refinitiv


Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Kemudian pada Jumat lalu rupiah juga membentuk pola Dravestone Doji, di mana harga pembukaan sama dengan harga penutupan perdagangan, dengan ekor yang panjang di atas.

Pola ini kerap kali dijadikan sinyal jika harga suatu instrumen akan berbalik turun, dalam hal ini USD/IDR bergerak turun atau rupiah menguat melawan dolar AS.

Tetapi sayangnya pandemi COVID-19 yang kembali membuat sentimen pelaku pasar membuat rupiah malah ambles Senin kemarin. Faktor fundamental memang lebih berpengaruh terhadap pergerakan rupiah semenjang munculnya pandemi COVID-19.

Rupiah Senin kemairn kembali mengakhiri perdagagan di atas atas Rp 16.200/US$ sehingga tekanan menjadi lebih besar. Pelemahan rupiah berpotensi berlanjut, apalagi jika di akhir perdagangan berada di atas level tersebut, rupiah berisiko melemah menuju Rp Rp16.500 sampai Rp 16.620/US$.
Ke depannya jika dua level tersebut mulus dilewati, rupiah berisko mencapai level terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$, bahkan sampai Rp 17.000/US$. 

Sementara jika kembali ke bawah US$ 16.200, peluang penguatan rupiah kembali terbuka menuju Rp 16.000 sampai Rp 15.900/US$.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular