
Ternyata Emas Bisa ke US$ 2.000/Oz, Begini Penjelasannya
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 March 2020 15:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia kembali melesat naik di pekan ini, setelah ambrol dalam dua pekan terakhir. Pada perdagangan Jumat (27/3/2020) pukul 14:07 WIB harga emas melemah 0,52% ke US$ 1.618,16/troy ons (oz), tetapi mengingat perdagangan masih berlangsung hingga sesi Amerika Serikat (AS) nanti malam, tentunya emas berpeluang berbalik menguat.
Apalagi dalam dua hari terakhir logam mulia ini menunjukkan pergerakan seperti itu, melemah di perdagangan sesi Asia, mulai bangkit di sesi Eropa, hingga akhirnya menguat di sesi AS. Emas sudah tercatat selalu menguat dalam 4 hari perdagangan di pekan ini. Selama periode tersebut, penguatannya tercatat sebesar 8,77%.
Pergerakan berbeda ditunjukkan dua pekan sebelumnya. Pada Senin (9/3/2020) 2 pekan lalu, harga emas sempat melesat hingga menyentuh US$ 1.702,56/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2012. Namun selepas itu, emas justru terus merosot.
Di penutupan perdagangan Jumat pekan lalu (20/3/2020) emas berada di level US$ 1.497,64/troy ons, atau ambles lebih dari 12% dari level tertinggi tersebut.
Meski pergerakan emas sedang dalam volatilitas tinggi, kepala strategi global di TD Securities, Bart Melek, tetap memprediksi harga emas akan ke US$ 1.800/troy ons di tahun ini bahkan bisa mencapai US$ 2.000/troy ons.
"Normalisasi kondisi likuiditas, suku bunga riil negatif, dan biaya investasi yang rendah serta kekhawatiran akan depresiasi mata uang, situasinya mirip dengan periode setelah krisis finansial global (2008), yang berarti harga emas dapat menguat menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat" tulis Melek sebagaimana dikutip Kitco.com.
Melek menambahkan penguatan menuju US$ 2.000/troy ons adalah kemungkinan lain sebelum memasuki tahun 2021, jika kondisi ekonomi global mulai normal, kebijakan moneter masih longgar serta defisit fiskal melonjak.
Pandemi virus corona (COVID-19) menjadi isu utama di awal tahun ini. Banyak negara termasuk AS yang terancam mengalami resesi akibat terhentinya aktivitas ekonomi karena beberapa negara bagian mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown).
Untuk meredam dampak COVID-19, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya hingga menjadi 0-0,25%. Selain itu The Fed juga kembali mengaktifkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, demi memastikan tidak ada pengetatan likuiditas ketika lockdown.
Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya juga mengambil kebijakan yang sama, sebut saja bank sentral Eropa dan Jepang yang mempertahankan suku bunga negatif, kemudian bank sentral Inggris dan Australia yang memangkas suku bunga hingga rekor terendah, dan bank sentral China hingga Bank Indonesia juga menurunkan suku bunga acuannya.
Berdasarkan riset Morgan Stanley, sejak 22 Januari, sudah ada 30 bank sentral yang menurunkan suku bunga. Selain itu di akhir tahun kuartal II-2020, Morgan Stanley melihat akan ada 25 bank sentral lagi yang akan menurunkan suku bunga.
Tidak hanya bank sentral yang bertindak, pemerintah juga melakukan halt yang sama dengan menggelontorkan stimulus fiskal. Pemerintah AS yang paling agresif, maklum saja Negeri Paman Sam kini tercatat sebagai negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di dunia mengalahkan China.
Di bawah komando Presiden Donald Trump, pemerintah AS akan mengucurkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun. Jumlah tersebut dua kali lipat dari nilai produk domestic bruto Indonesia.
Pemerintah negara lain juga melakukan hal yang sama, meski tidak sejumbo stimulus di AS.
Tujuannya dari stimulus moneter dan fiskal tersebut tentunya untuk menghentikan penyebaran COVID-19, dan ketika sudah terhenti maka ekonomi akan berakselerasi lebih cepat. Dan saat itulah dikatakan emas akan kembali melesat naik.
Perilaku emas saat ini dikatakan memiliki kemiripan dengan ketika krisis 2008, itu artinya emas bisa memecahkan rekor tertinggi US$ 1.920/troy ons, yang dicapai pada 6 September 2011.
"Saat krisis ekonomi akibat COVID-19 berhasil diatasi dan masalah kesehatan dimitigasi, perekonomian akan memiliki basis yang bagus untuk berkinerja dengan baik. Suku bunga negatif akan bertahan dalam waktu yang cukup lama, yang membuat biaya investasi emas menjadi lebih murah. Saat itulah jalan emas menuju US$ 2.000/troy ons menjadi terbuka lebar" kata Melek.
Meski demikian, volatilitas tinggi harga emas diprediksi masih akan terjadi dalam jangka pendek. Melek menyebut setiap penurunan tajam harga emas akan bersifat sementara melihat kondisi makro yang dijabarkan di atas. Apalagi saat ini produksi emas sedang terganggu akibat lockdown, begitu juga dengan masalah logistik yang menghambat pengiriman emas, hal itu menjadi katalis tambahan bagi emas untuk menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Apalagi dalam dua hari terakhir logam mulia ini menunjukkan pergerakan seperti itu, melemah di perdagangan sesi Asia, mulai bangkit di sesi Eropa, hingga akhirnya menguat di sesi AS. Emas sudah tercatat selalu menguat dalam 4 hari perdagangan di pekan ini. Selama periode tersebut, penguatannya tercatat sebesar 8,77%.
Pergerakan berbeda ditunjukkan dua pekan sebelumnya. Pada Senin (9/3/2020) 2 pekan lalu, harga emas sempat melesat hingga menyentuh US$ 1.702,56/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2012. Namun selepas itu, emas justru terus merosot.
Meski pergerakan emas sedang dalam volatilitas tinggi, kepala strategi global di TD Securities, Bart Melek, tetap memprediksi harga emas akan ke US$ 1.800/troy ons di tahun ini bahkan bisa mencapai US$ 2.000/troy ons.
"Normalisasi kondisi likuiditas, suku bunga riil negatif, dan biaya investasi yang rendah serta kekhawatiran akan depresiasi mata uang, situasinya mirip dengan periode setelah krisis finansial global (2008), yang berarti harga emas dapat menguat menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat" tulis Melek sebagaimana dikutip Kitco.com.
Melek menambahkan penguatan menuju US$ 2.000/troy ons adalah kemungkinan lain sebelum memasuki tahun 2021, jika kondisi ekonomi global mulai normal, kebijakan moneter masih longgar serta defisit fiskal melonjak.
Pandemi virus corona (COVID-19) menjadi isu utama di awal tahun ini. Banyak negara termasuk AS yang terancam mengalami resesi akibat terhentinya aktivitas ekonomi karena beberapa negara bagian mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown).
Untuk meredam dampak COVID-19, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya hingga menjadi 0-0,25%. Selain itu The Fed juga kembali mengaktifkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, demi memastikan tidak ada pengetatan likuiditas ketika lockdown.
Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya juga mengambil kebijakan yang sama, sebut saja bank sentral Eropa dan Jepang yang mempertahankan suku bunga negatif, kemudian bank sentral Inggris dan Australia yang memangkas suku bunga hingga rekor terendah, dan bank sentral China hingga Bank Indonesia juga menurunkan suku bunga acuannya.
Berdasarkan riset Morgan Stanley, sejak 22 Januari, sudah ada 30 bank sentral yang menurunkan suku bunga. Selain itu di akhir tahun kuartal II-2020, Morgan Stanley melihat akan ada 25 bank sentral lagi yang akan menurunkan suku bunga.
Tidak hanya bank sentral yang bertindak, pemerintah juga melakukan halt yang sama dengan menggelontorkan stimulus fiskal. Pemerintah AS yang paling agresif, maklum saja Negeri Paman Sam kini tercatat sebagai negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di dunia mengalahkan China.
Di bawah komando Presiden Donald Trump, pemerintah AS akan mengucurkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun. Jumlah tersebut dua kali lipat dari nilai produk domestic bruto Indonesia.
Pemerintah negara lain juga melakukan hal yang sama, meski tidak sejumbo stimulus di AS.
Tujuannya dari stimulus moneter dan fiskal tersebut tentunya untuk menghentikan penyebaran COVID-19, dan ketika sudah terhenti maka ekonomi akan berakselerasi lebih cepat. Dan saat itulah dikatakan emas akan kembali melesat naik.
Perilaku emas saat ini dikatakan memiliki kemiripan dengan ketika krisis 2008, itu artinya emas bisa memecahkan rekor tertinggi US$ 1.920/troy ons, yang dicapai pada 6 September 2011.
"Saat krisis ekonomi akibat COVID-19 berhasil diatasi dan masalah kesehatan dimitigasi, perekonomian akan memiliki basis yang bagus untuk berkinerja dengan baik. Suku bunga negatif akan bertahan dalam waktu yang cukup lama, yang membuat biaya investasi emas menjadi lebih murah. Saat itulah jalan emas menuju US$ 2.000/troy ons menjadi terbuka lebar" kata Melek.
Meski demikian, volatilitas tinggi harga emas diprediksi masih akan terjadi dalam jangka pendek. Melek menyebut setiap penurunan tajam harga emas akan bersifat sementara melihat kondisi makro yang dijabarkan di atas. Apalagi saat ini produksi emas sedang terganggu akibat lockdown, begitu juga dengan masalah logistik yang menghambat pengiriman emas, hal itu menjadi katalis tambahan bagi emas untuk menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular