Rupiah Masih Malu-Malu ke Bawah Rp 16.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 March 2020 13:20
Rupiah Masih Malu-Malu ke Bawah Rp 16.000/US$
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (27/3/2020) mendekati level Rp 16.000/US$.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 1,08% ke Rp 16.100/US$. Sempat memangkas penguatan, rupiah akhirnya kembali melaju hingga menguat 1,38% ke Rp 16.050/US$.

Rupiah melanjutkan penguatannya dalam dua perdagangan terakhir, dan semakin menjauhi level terlemah sejak krisis 1998 Rp 16.620/US$ yang dicapai di awal pekan ini.

Penguatan rupiah dipicu membaiknya sentimen terhadap risiko pelaku pasar setelah Pemerintah dan Senat AS telah mencapai kata sepakat untuk mengucurkan stimulus jumbo senilai US$ 2 triliun. Stimulus terbesar sepanjang sejarah tersebut digunakan untuk menghentikan pandemi virus corona (COVID-19) dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian.



AS kini menjadi negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak, melewati China yang merupakan asal virus tersebut. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini sudah ada 83.507 kasus positif COVID-19 di AS, sementara di China 81.782 kasus.

Stimulus jumbo tersebut kini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang (RUU), dan sudah di-voting di Senat, dan disetujui secara mutlak. RUU tersebut kini dilemparkan ke House of Representative (DPR) guna di-voting, jika disepakati selanjutnya akan ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan sah menjadi Undang-undang. DPR AS rencananya akan melakukan voting pada hari Jumat waktu setempat.

Ketua DPR AS, Nancy Pelosi mengatakan, RUU tersebut akan disetujui dan mendapat dukungan penuh dari DPR. Dampaknya sentimen pelaku pasar kembali membaik, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi, rupiah pun mendapat rejeki dari capital inflow ke RI.

Hal tersebut tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat nyaris 8% di perdagangan sesi I. Berdasarkan data RTI nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 6,59 triliun, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 38,29 miliar di pasar reguler.

Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun hingga siang ini turun tajam sebesar 29,6 basis poin (bps) menjadi 7,979%.

Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.

Selain itu, dolar AS juga sedang mengalami tekanan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan stimulus moneter yang masif pada hari Senin waktu setempat.

The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.



The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.

"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat itu nilai QE The Fed terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.

Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menyediakan likuiditas di pasar.

Sebelumnya di bulan ini, The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell juga telah membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%.

Kebijakan The Fed saat ini sama dengan ketika menghadapi krisis finansial 2008, bahkan lebih agresif lagi mengingat QE yang dilakukan nilainya tidak terbatas. Akibatnya, ekonomi AS akan banjir likuiditas, dan dolar AS jadi melemah.

Secara teknikal, rupiah berpeluang menguat lebih jauh melihat Indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought) dalam waktu yang cukup lama.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, dolar AS berpeluang melemah mengingat simbol perdagangan jika melawan rupiah adalah USD/IDR.

Apalagi pada perdagangan Selasa, rupiah kembali membentuk pola Black Marubozu.

Begitu perdagangan Selasa dibuka, rupiah langsung menguat 0,31% ke level Rp 16.5000/US$. Setelahnya penguatan rupiah semakin menebal hingga 0,6% ke Rp 16.450/US$ di akhir perdagangan.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya intraday, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Grafik: Rupiah (USD/IDR) 1 Jam 
Sumber: Refinitiv 


Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Rupiah pada hari ini sudah berhasil menjebol support Rp 16.200/US$ (level tertinggi 18 Juni 1998), sehingga target penguatannya menuju level psikologis Rp 16.000/US$ sampai Rp 15.900/US$.

Peluang menguat lebih lanjut akan terbuka jika rupiah secara meyakinkan melewati Rp 15.900/US$.

Sementara itu jika kembali ke atas Rp 16.200/US$, Mata Uang Garuda akan kembali tertekan.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular