
AS Kurangi Ngopi, Saham Starbucks di Nasdaq Ambles 35%

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham Starbucks Corporation di Bursa Nasdaq sudah terjungkal dalam beberapa bulan terakhir di tengah tekanan yang dialami ekonomi sejumlah negara akibat wabah virus corona (COVID-19). Wabah corona memaksa pemerintah membatasi aktivitas masyarakat termasuk untuk berkumpul di keramaian.
Data perdagangan Bursa Nasdaq AS mencatat, saham berkode SBUX ini pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (20/3/2020), ditutup minus 5,50% di level US$ 58,03/saham.
Dalam sebulan terakhir, saham SBUX minus 31,34%, sementara secara year to date atau tahun berjalan sejak Januari, saham Starbucks minus 35% mengingat pada awal Januari saham SBUX di level US$ 89,35.
Saham Starbucks pernah mencapai level tertinggi US$ 93,75/saham pada 23 Januari silam.
Mengacu analisis yang ditulis di situs Nasdaq, saham Starbucks sebetulnya sudah ambles 39% sepanjang tahun ini, jatuh ke level terendah sejak 2018.
"Penurunan lebih lanjut akan tergantung pada durasi wabah coronavirus di AS. Ketika orang Amerika menghindari tempat-tempat umum dan takut kontaminasi meningkat, kemungkinan orang tidak akan berduyun-duyun ke Starbucks drive-through windows," tulis artikel terkait Starbucks di Nasdaq, dikutip CNBC Indonesia, Senin (23/3/2020).
"Jadi apa artinya ini bagi investor? Ketika Starbucks mengumumkan efek negatif pada pendapatan dari krisis coronavirus di Tiongkok, Starbucks mungkin harus memperbarui angka-angka [penjualan] tersebut dengan mempertimbangkan efek coronavirus di AS. Itu bisa mewakili gelombang berita buruk lainnya secara global [soal corona]," tulis analisis tersebut.
Di sisi lain, JPMorgan sempat memprediksi bahwa pasar saham AS terutama indeks acuan S&P 500 di New York Stock Exchange (NYSE) dan Bursa Nasdaq bisa kembali menembus rekor tertinggi pada awal tahun depan dengan catatan pemerintah AS bisa dengan cepat mengantisipasi dan menangani wabah virus corona (COVID-19) dengan stimulus fiskal.
Head of US Equity Strategy JPMorgan Dubravko Lakos-Bujas dalam riset yang disampaikan kepada klien menyatakan pihaknya berharap level indeks S&P 500 bisa mencapai 3.400 pada awal 2021.
Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sepanjang masa, melampaui level sebelumnya yakni 3.386 yang dicatatkan pada 19 Februari silam. Prediksi level tersebut juga 47% lebih tinggi dari pergerakan rata-rata pada Jumat lalu ketika ditutup di level 2.304,92.
Mengacu data CNBC International, pada Jumat lalu (20/3/2020, tiga indeks acuan di bursa Wall Street AS (NYSE dan Nasdaq) terjungkal. S&P 500 minus 4,34% di level 2.304, indeks Nasdaq juga turun 3,79% di level 6.879, sementara indeks Dow Jones industrial Average (DJIA) minus 4,55% di level 19.173.
"Harus diakui bahwa pasar saham global sekarang turun 30-50% dari level tertinggi baru-baru ini, dan bahwa posisi investor kian sebetulnya semakin menguntungkan [karena ada potensi beli saham harga murah]. Kami melihat profil pengembalian yang asimetris dan memprediksi pasar saham bisa rebound signifikan," tulis Lakos-Bujas, dikutip CNBC International, Minggu (22/3/2020).
(tas/tas) Next Article Gokil! Dulu Cuma Tukang Koran, Sekarang Hartanya Rp57 Triliun
