
Perang Lawan Corona! Ini Pandangan Crazy Rich Dato' Sri Tahir

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu crazy rich Indonesia, Dato' Sri Tahir sekaligus pendiri Mayapada Group, bersama Badri Munir Sukoco, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, mengungkapkan pandangan mereka terkait dengan kebijakan pemerintah guna meredam gejolak ekonomi akibat virus corona (COVID-19).
Dalam riset bertajuk Stimulus COVID-19 yang dipublikasikan CSIS Commentaries DMRU-006 edisi 21 March 2020, keduanya memaparkan sejumlah poin yang semestinya menjadi masukan kepada pemerintah.
"Sejak COVID-19 diumumkan sebagai pandemi global oleh Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) 11 Maret lalu, tingkat kekhawatiran akan perekonomian dunia semakin meningkat," kata Tahir, salah satu orang terkaya di negeri ini, juga menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dalam ulasan tersebut, dikutip CNBC Indonesia, Senin (23/3/2020).
Hal ini seiring dengan pesimisme yang disampaikan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahwa COVID-19 akan membuat perekonomian dunia hilang sekitar US$ 1 triliun dan pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 2%, jauh di bawah prediksi sebelumnya yang mencapai 2,5% (World Bank, Januari 2020).
Selain gangguan supply chain dari dan ke China, kebijakan lockdown (penguncian wilayah atau isolasi) dan semi lockdown beragam negara, maupun ketidakpastian yang diakibatkan harga minyak memperparah kondisi yang ada.
"Tanda-tanda akan resesi mulai terlihat dengan memudarnya tingkat kepercayaan pasar terhadap prospek bisnis yang ada. Per tanggal 16 Maret 2020, Bloomberg melaporkan indeks Dow Jones turun 19%, sedangkan indeks Nikkei turun 27%, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) -33%," tulis Tahir dan Badri Munir.
Sektor industri paling terdampak adalah industri penerbangan, di mana International Air Transport Association (IATA) memprediksi COVID-19 menghilangkan pendapatan sebesar US$ 113 miliar dikarenakan sedikitnya orang yang bepergian, baik domestik maupun antar negara.
Hal ini tentunya berdampak pada industri ikutannya, seperti turisme, hotel, restoran, taksi dan lain sebagainya. International Civil Aviation Organization (ICAO) juga memprediksi bahwa Jepang akan kehilangan US$1,29 miliar dari wisatawan China, sedangkan Thailand akan kehilangan US$1,15 miliar.
Bagaimana dengan di Indonesia?
"Dalam 2 minggu terakhir kita menyaksikan menurunnya kepercayaan investor pada kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dari awal tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 31,09% ke 4.330,67 (19 Maret). Dibandingkan awal tahun, rupiah terdepresiasi hingga 15,12% terhadap US$," tulis mereka.
Hal ini patut dipahami, mengingat ketidakpastian yang terjadi akan membuat semua orang akan mengubah investasi yang dianggap memberikan kepastian dengan nilai yang stabil.
Selain US$, emas menjadi pelarian yang mengakibatkan naik hingga 22,41% (19 Maret 2019) dibandingkan 2 Januari 2019.
Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar kontraksi ekonomi dapat diminimalisasi?
Keduanya mengutip pernyataan Richard Kozul-Wright, salah satu Direktur UNCTAD yang menyarankan tiada lain agar masing-masing pemerintahan perlu mengeluarkan stimulus untuk menggerakkan ekonomi yang terdampak sangat keras oleh pandemi COVID-19.
Mereka menyatakan, dari fakta terbaru hingga 19 Maret 2020 (bisa jadi kebijakan pemerintahan di atas berubah seiring dinamika perekonomian dunia dan politik di dalam negeri masing-masing), secara umum ada 5 macam stimulus yang dilakukan oleh masing-masing negara.
Pertama, stimulus untuk mendukung penguatan layanan kesehatan dan dana operasional untuk mengefektifkan kebijakan lockdown atau semi lockdown yang diambil.
Kedua, memberikan bantuan langsung tunai bagi warga negara (tentunya disesuaikan dengan level pendapatan dan jumlah keluarga yang ditanggung) untuk memampukan mereka berkonsumsi sekaligus menggerakkan sektor riil di domestik.
Ketiga, memberikan stimulus bagi UKM yang memiliki porsi terbesar dan paling terdampak dengan menjamin pinjamannya atau penggajian pegawainya agar tidak di-PHK.
Keempat, memberikan stimulus bagi sektor-sektor perekonomian yang paling terdampak dan dipastikan akan bangkrut dan memperbesar jumlah pengangguran yang ada. Kelima, memberikan stimulus pengurangan suku bunga, mengurangi persyaratan cadangan bank, maupun memberikan stimulus pajak bagi individu maupun badan usaha.
Selain itu, tulis mereka, hal-hal praktis yang membuahkan hasil cepat harus segera dilakukan di sektor-sektor berpotensi.
Pertama, pembukaan sektor kelautan untuk menangkap ikan-ikan dan disertai dengan investasi penyimpanan dingin (cold storage) dan pengalengannya.
Kedua, di sektor pertambangan, relaksasi perijinan ekspor dan investasi harus ditempuh, paling tidak di saat masa penanganan COVID-19 di RI.
Ketiga, industri padat karya juga harus diberi prioritas supaya mereka semakin mampu dan dimantapkan untuk menyerap tenaga kerja. Bisa ditempuh dengan tax holiday untuk periode tertentu.
"Contoh jika ada pabrik atau usaha yang bisa menunjukkan punya karyawan +/- 2000 atau lebih, pemerintah berikan tax holiday. Ini untuk merangsang keberanian investasi dan membuka usaha yang bisa menampung banyak tenaga kerja.
Keempat, COVID-19 juga mengancam sektor pariwisata, suatu sektor unggulan RI. Oleh karena itu investasi di sektor pariwisata harus diberi insentif yang agresif, sebagai contoh pembebasan corporate tax untuk beberapa tahun.
Kelima, hal pragmatis lain yang juga tidak kalah penting: UMKM menyumbang sebesar 60 % pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka perlu menerima bantuan kredit murah yang lebih terjangkau dari KUR, idealnya +/- 2% untuk UMKM.
Keenam, data menunjukkan merosotnya penjualan properti, contoh, penjualan properti residensial kontraksi 16,33%. Sektor strategis ini juga perlu distimulasi. Restriksi yang ada pada pengaturan kepemilikan tanah dan bangunan, dan juga pajak-pajak terkait juga harus direlaksasi, supaya ada capital masuk ke Indonesia.
Ketujuh, investasi di sektor yang dapat memperkuat ketahanan pangan, seperti pertanian, pembudidayaan ikan, juga diberi fasilitas kredit murah, mungkin 2% per tahun.
"Semua kepala negara dan kepala pemerintahan menyadari pandemi COVID-19 adalah fenomena global yang serius. Sebagaimana pembuka pidato Kanselir Jerman, Angela Merkel, "Es ist Ernst (This is serious)." Tentu Pemerintah Indonesia akan "take it seriously"," tulis keduanya.
"Melihat pergerakan nilai tukar rupiah dan turunnya IHSG yang cukup dalam, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan paket-paket stimulus yang lebih serius agar tingkat kepercayaan masyarakat dan pelaku bisnis meningkat. Dan yang utama adalah menjadikan rumah tangga dan UKM tetap dapat berkonsumsi di tengah pandemi COVID-19," tegas mereka.
Menurut Tahir dan Badri, beberapa berita positif terkait ditemukannya vaksin COVID-19 dalam 2 minggu terakhir cukup melegakan, baik oleh tim riset di China, Jepang, maupun Australia.
Namun sebagian besar ahli menyatakan bahwa COVID-19 akan bersirkulasi antara 4 bulan hingga yang paling parah 2 tahun.
"Tentu tidak salah jika Pemerintah Indonesia telah menyiapkan skenario untuk menyikapinya. Dan tentunya diiringi doa kita semua agar pandemi ini lekas hilang dari bumi kita tercinta."
(tas/hps) Next Article Terseret Jiwasraya, Tahir: Kantor Jiwasraya Aja Saya Gak Tahu
