
Rahasia Tahir Bisa Jadi 'Raja Importir' & Orang Terkaya RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 1960-an adalah masa sulit bagi perekonomian Indonesia. Inflasi tinggi dan harga bahan pokok meroket membuat rakyat merana. Situasi ini sangat dirasakan oleh Ang Tjoen Ming, nama kecil dari Tahir yang berasal dari keluarga pedagang becak di Surabaya.
Keluarganya tak bisa menyerah karena keadaan. Satu-satunya jalan keluar dari situasi ini dan menjadi kaya raya adalah lewat berdagang di luar jual-beli becak. Keluarga Tahir punya ide bisnis menarik.
Saat itu masyarakat kelas menengah atas haus akan barang-barang impor yang mewah. Dari mulai parfum bermerek, baju mahal buatan Hongkong atau Singapura, kain sutra, sampai mobil Mercedes Benz. Namun, untuk memiliki barang tersebut, mereka harus beli langsung ke luar negeri.
Tidak ada jasa penitipan. Karena inilah, keluarga Tahir memutuskan banting setir menjadi importir. Mondar-mandir Jakarta-Singapura kemudian menjadi kelaziman bagi Tahir yang saat itu masih berusia belasan tahun.
Akibat sudah bermain di dunia importir sejak muda, Tahir sangat menguasai seluk-beluk pasar. Alhasil saat tumbuh dewasa dia menjadi salah satu 'raja' importir di Indonesia. Tahir mulai serius di sektor ini sejak tahun 1970-an. Peluang untuk tumbuh sangat besar di sektor ini karena minim persaingan dan tinggi permintaan.
Dalam otobiografi berjudul Living Sacrifice (2015), Tahir memaparkan kalau dia menjadi importir hampir seluruh barang. Dari kebutuhan pangan hingga benda-benda kecil yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Dari produk fesyen murah sampai yang mutakhir dan berharga sangat mahal.
Tahir punya kiat tersendiri supaya sukses di sektor ini. Kuncinya adalah peka terhadap keadaan sekitar.
"Kiatnya adalah kejelian membidik barang yang disukai pasar dan keseimbangan antara demand dan stok. Jurusnya sederhana. Hanya peka pada apa yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dan cari apa yang dibutuhkan di sana. Lalu, jangan sampai barang menipis. Jadi ketika di gudang sudah hampir, kebutuhan langsung dipenuhi. Ketersediaan barang harus terjamin. Cara ini dilakukan agar tidak menurunkan kepercayaan dan agar masyarakat tidak berpaling," kata Tahir.
Karena inilah, piring pun dia jual karena punya pasar tersendiri. Bahkan menjadi kunci emas bisnisnya.
Piring yang dijualnya bermerek Duralex asal Prancis. Konon, piring itu tidak akan pecah kalau dibanting. Masyarakat berbondong-bondong ingin membelinya. Tahir pun menjadi agen tunggal distributor Duralex di Indonesia.
"Duralex meledak di pasaran. Benar-benar booming. Permintaan membeludak. Stok di gudang dengan cepat tandas. Uang berputar cepat," kata Tahir.
Keberhasilan menjual Duralex membuat Tahir semakin melebarkan sektor usahanya. Berbagai cabang usaha pun berdiri di bawah kendalinya. Banyaknya cabang usaha mendorongnya untuk membuat satu grup usaha bernama Mayapada pada 1986. Di Mayapada-lah Tahir mengalami jatuh-bangun kehidupan.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Disebut Gibran Investor IKN, Ini Kisah Pendiri Grup Mayapada
