Rupiah Tembus Rp 15.900, Emiten Manufaktur Harus Gimana?

tahir saleh, CNBC Indonesia
20 March 2020 16:04
Nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap dolar AS.
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia -  Nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat ini (20/3/2020). Depresiasi rupiah bahkan sempat menembus level Rp 16.000/US$ di tengah sentimen negatif wabah virus corona yang menimpa global dan kini Indonesia.

Pelemahan kurs rupiah ini juga dikhawatirkan berdampak kepada emiten-emiten manufaktur berbasis ekspor. Presiden Direktur PT Mark Dynamics Indonesia Tbk (MARK) Ridwan Goh mengatakan fluktuasi kurs dolar yang tinggi terhadap rupiah akan menyebabkan terjadi kenaikan di biaya produksi.

Namun di sisi lain, dengan penjualan perseroan yang 95% berbasis ekspor, maka akan terjadi natural hedging (lindung nilai secara alami).

"Pengaruh kenaikan kurs dollar terhadap rupiah akan sedikit berpengaruh pada sisi hutang perseroan yang dalam mata uang dolar AS," kata Ridwan, dalam keterangan resmi di Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Jumat (20/3/2020).


Dia menegaskan, untuk mengantisipasi, beberapa faktor akibat perlambatan ekonomi dan depresiasi rupiah, maka perseroan sedang merencanakan untuk melakukan diversifikasi produk. Dengan diversifikasi produk ini, diharapkan sumber pendapatan dari perseroan akan lebih bervariasi dan risiko dampak dari perlambatan ekonomi bisa diminimalisasi.

Sebagai informasi, pada pukul 14:26 WIB, rupiah melemah 1,89% ke Rp 16.200/US$ di pasar spot. Level tersebut menyamai level terlemah 18 Juni 1998, di mana kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.200/US$, mengacu data Refinitiv.

Mark Dymanics adalah emiten berkode saham MARK yang bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi cetakan sarung tangan kesehatan, serta mengklaim satu-satunya produsen cetakan sarung tangan kesehatan di Indonesia dengan kapasitas produksi terbesar di dunia.


Ridwan menambahkan kondisi saat ini, di tengah wabah corona, perekonomian Tiongkok atau China menjadi melambat. Penurunan ekonomi Tiongkok berpengaruh pada permintaan ekspor Indonesia ke Tiongkok, sehingga berpengaruh pada sektor manufaktur.

"Perlambatan juga terjadi di sektor penerbangan dan pariwisata, akibat menurunnya frekuensi penerbangan dari dan ke Tiongkok dan menurunnya turis Tiongkok ke Indonesia, termasuk juga dari negara-negara lainnya," katanya.

Bagi perseroan, yang mana produk perseroan 95% berorientasi ekspor dan pelanggan perseroan adalah produsen sarung tangan kesehatan, maka secara B to B tidak terlalu berpengaruh. "Hal ini disebabkan karena industri perseroan yang berada di sektor kesehatan, di mana masih terdapat peluang untuk terjadinya peningkatan permintaan sarung tangan kesehatan."

Mengacu laporan keuangan, hingga kuartal III-2019, pendapatan MARK mencapai Rp 267 miliar dibanding dengan periode yang sama di tahun 2018 yang sebesar Rp 240 miliar, dengan laba bersih sebesar Rp 65 miliar dari periode yang sama di tahun 2018 Rp 58 miliar.

"Akan tetapi dengan perlambatan ekonomi regional dan global, kami perkirakan akan terjadi perlambatan pada permintaan produk perseroan, baik dari sisi permintaan produk perseroan maupun dari sisi supply bahan baku dari perseroan," tegas Ridwan.

Sebagai informasi, pada penutupan Jumat ini (20/3/2020), US$ 1 dibanderol Rp 15.900/US$ di pasar spot. Rupiah stagnan alis 0% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin.


[Gambas:Video CNBC]


(tas/hps) Next Article Laba Emiten Sarung Tangan RI Naik 23%, Ini Pemicunya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular