
Seperti Krisis 1998, Rupiah Bergerak di Atas Rp 16.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 March 2020 13:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (20/3/2020) hingga mencapai level terlemah sejak krisis 1998.
Pada pukul 12:00 WIB, rupiah melemah 0,88% ke Rp 16.040/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 18 Juni 1998, kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.200/US$. Adapun rekor terlemah rupiah secara intraday Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.
Untuk diketahui, pada 17 Juni 1998, rupiah memang menyentuh level Rp 16.800/US$, tetapi di akhir perdagangan barada di level Rp 15.000/US$. Selanjutnya, sehari setelahnya rupiah kembali melemah ke Rp 16.200/US$, tetapi setelahnya justru berbalik menguat dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.000/US$.
Itu artinya pada perdagangan jika dilihat dari penutupan perdagangan, Kamis kemarin rupiah berakhir di Rp 15.900/US$ yang menjadi rekor penutupan terlemah sepanjang sejarah. Jika dilihat sejak akhir tahun 2019 hingga siang ini atau secara year-to-date, rupiah sudah ambles 15,56% melawan dolar AS.
Aksi jual di pasar finansial global membuat rupiah terpukul. Aksi jual sebenarnya tidak hanya terjadi di pasar keuangan RI, tetapi juga secara global. Namun Indonesia yang merupakan negara emerging market tentunya dianggap lebih berisiko oleh para investor sehingga aksi jual terjadi lebih parah.
Berdasarkan data RTI, secara year-to-date (YTD) akibat aksi jual tersebut terjadi capital outflow di pasar saham sebesar Rp 9,66 triliun. Sementara di pasar obligasi lebih parah lagi, sejak akhir Desember 2019 hingga 17 Marat terjadi outflow sebesar Rp 78,76 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan. Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit. Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.
Pandemi virus corona (COVID-19) yang dikhawatirkan memicu pelambatan ekonomi secara signifikan bahkan resesi global terus memicu aksi jual terus menerus.
Bank Indonesia (BI) Kamis kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 4,2-4,6% dari proyeksi sebelumnya 5-5,4%. BI juga menurunkan suku bunga, serta mengeluarkan 7 kebijakan guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Maret 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (19/3/2020).
Namun kebijakan BI tersebut belum mampu menenangkan pasar pada hari ini. Berdasarkan data RTI, di pasar saham investor asing melakukan aksi jual besih Rp 339,64 miliar pada perdagangan sesi I.
Sementara dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun hari ini naik 24,7 basis poin menjadi 8,161% siang ini yang menjadi level tertinggi sejak Mei 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Aksi jual di pasar saham dan obligasi tersebut sekali lagi menekan pergerakan rupiah hingga ke atas Rp 16.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Pada pukul 12:00 WIB, rupiah melemah 0,88% ke Rp 16.040/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 18 Juni 1998, kala itu rupiah menyentuh level terlemah intraday Rp 16.200/US$. Adapun rekor terlemah rupiah secara intraday Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.
Untuk diketahui, pada 17 Juni 1998, rupiah memang menyentuh level Rp 16.800/US$, tetapi di akhir perdagangan barada di level Rp 15.000/US$. Selanjutnya, sehari setelahnya rupiah kembali melemah ke Rp 16.200/US$, tetapi setelahnya justru berbalik menguat dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.000/US$.
Aksi jual di pasar finansial global membuat rupiah terpukul. Aksi jual sebenarnya tidak hanya terjadi di pasar keuangan RI, tetapi juga secara global. Namun Indonesia yang merupakan negara emerging market tentunya dianggap lebih berisiko oleh para investor sehingga aksi jual terjadi lebih parah.
Berdasarkan data RTI, secara year-to-date (YTD) akibat aksi jual tersebut terjadi capital outflow di pasar saham sebesar Rp 9,66 triliun. Sementara di pasar obligasi lebih parah lagi, sejak akhir Desember 2019 hingga 17 Marat terjadi outflow sebesar Rp 78,76 triliun, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan. Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit. Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar.
Pandemi virus corona (COVID-19) yang dikhawatirkan memicu pelambatan ekonomi secara signifikan bahkan resesi global terus memicu aksi jual terus menerus.
Bank Indonesia (BI) Kamis kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 4,2-4,6% dari proyeksi sebelumnya 5-5,4%. BI juga menurunkan suku bunga, serta mengeluarkan 7 kebijakan guna meminimalisir dampak COVID-19 ke perekonomian.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Maret 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (19/3/2020).
Namun kebijakan BI tersebut belum mampu menenangkan pasar pada hari ini. Berdasarkan data RTI, di pasar saham investor asing melakukan aksi jual besih Rp 339,64 miliar pada perdagangan sesi I.
Sementara dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun hari ini naik 24,7 basis poin menjadi 8,161% siang ini yang menjadi level tertinggi sejak Mei 2019.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Aksi jual di pasar saham dan obligasi tersebut sekali lagi menekan pergerakan rupiah hingga ke atas Rp 16.000/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular