
Rupiah Lewati Rp 15.200/US$, Memori 1998 Kembali Muncul
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 March 2020 14:00

Pandemi COVID-19 memang sudah mereda di tempat asalnya, kota Wuhan provinsi Hubei Republik Rakyat China. Namun wabah tersebut kini meluas di berbagai negara. Berdasarkan data John Hopkins University, total kasus COVID-19 secara global nyaris 200.000 kasus, dan total kasus di China sebanyak 81.068 kasus.
Itu artinya jumlah kasus di luar China kini lebih banyak. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan Eropa kini menjadi episentrum penyebaran COVID-19.
Selain itu, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan juga berisiko menghadapi gelombang penyebaran kedua. Selasa kemarin, Singapura melaporkan jumlah kasus baru sebanyak 23 orang, penambahan harian tersebut menjadi yang tertinggi sejak wabah ini menyebar di Negeri Merlion.
Hong Kong melaporkan 3 kasus baru, setelah di hari Senin melaporkan 9 kasus, yang merupakan penambahan harian terbesar sejak 9 Februari. Sementara itu, Taiwan melaporkan 10 kasus baru, sehingga total kasus menjadi 77 orang.
Kasus COVID-19 di Indonesia sejauh ini dilaporkan sebanyak 172 kasus, dengan 7 orang meninggal dunia dan 8 orang dinyatakan sembuh. Namun, angka tersebut tentunya masih berisiko bertambah, mengingat wabah tersebut baru masuk ke Indonesia sejak awal bulan ini.
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 atau virus corona Achmad Yurianto mengatakan ke depannya diprediksi akan terjadi penambahan kasus yang signifikan.
"Kita menyadari, akan terjadi penambahan pasien secara signifikan. Sebabnya dari kontak. Kita akan tracing dan edukasi juga semakin gencar. Sehingga masyarakat sudah mulai menyadari bahwa mereka juga harus waspada," kata Yurianto di BNPB, Selasa (17/3/2020).
Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.
"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan Puasa, Bulan Puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan pandemic tersebut baru akan bisa dikendalikan pada bulan Juli atau Agustus, dan ia juga mempertimbangkan mengambil kebijakan lockdown, meski tidak di semua negara bagian. Trump juga mengatakan perekonomian AS kini menuju resesi akibat pandemi COVID-19.
Mantan penasehat khusus bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Andrew Levin mengatakan AS akan sulit menghindari resesi akibat pandemi COVID-19, meski warga AS diberi uang tunai US$ 1.000 per kepala untuk melawan menghindari dampak negatif virus corona ke perekonomian.
"Masalahnya bagi ekonomi AS banyak kota yang di-lockdown, dan warganya tinggal di rumah, tidak pergi ke restoran, tidak pergi berbelanja, tidak membeli kendaraan. Saya melihat kita tidak bisa menghindari resesi," kata Levin yang juga profesor ekonomi di Universitas Darthmouth, sebagaimana dilansir CNBC International.
Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar dua pertiga dari total produk domestik bruto (PDB). Lockdown di sejumlah kota tentunya akan memukul sektor tersebut.
Banyak negara-negara kini mengambil kebijakan lockdown guna meredam penyebaran COVID-19. Akibatnya, aktivitas ekonomi diprediksi melambat secara global, pertumbuhan ekonomi terancam terpangkas dalam hingga munculnya risiko resesi.
Beberapa bank investasi ternama sudah memberikan prediksi resesi pasti terjadi terjadi di tahun ini, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa dalam?
"Resesi global 2020 kini menjadi dasar kasus kami. Dengan COVID-19 menyebar ke Eropa dan Asia, gangguan dan dislokasi ekonomi serta pasar akan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi global di semester I 2020" kata Chetan Ahya, kata kepala ekonom Morgan Stanley.
Sementara itu Goldman Sachs memprediksi resesi global di tahun ini akan lebih buruk dari tahun 1991 dan 2001, tetapi tidak akan separah krisis finansial 2008-2009. Akibat risiko resesi tersebut, sentimen pelaku pasar terus memburuk. Jika hal tersebut terus berlangsung dalam waktu lama, maka tekanan atas rupiah belum akan berakhir, dan tidak menutup kemungkinan rupiah mencapai rekor 1998.
(pap/pap)
Itu artinya jumlah kasus di luar China kini lebih banyak. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan Eropa kini menjadi episentrum penyebaran COVID-19.
Selain itu, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan juga berisiko menghadapi gelombang penyebaran kedua. Selasa kemarin, Singapura melaporkan jumlah kasus baru sebanyak 23 orang, penambahan harian tersebut menjadi yang tertinggi sejak wabah ini menyebar di Negeri Merlion.
Kasus COVID-19 di Indonesia sejauh ini dilaporkan sebanyak 172 kasus, dengan 7 orang meninggal dunia dan 8 orang dinyatakan sembuh. Namun, angka tersebut tentunya masih berisiko bertambah, mengingat wabah tersebut baru masuk ke Indonesia sejak awal bulan ini.
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 atau virus corona Achmad Yurianto mengatakan ke depannya diprediksi akan terjadi penambahan kasus yang signifikan.
"Kita menyadari, akan terjadi penambahan pasien secara signifikan. Sebabnya dari kontak. Kita akan tracing dan edukasi juga semakin gencar. Sehingga masyarakat sudah mulai menyadari bahwa mereka juga harus waspada," kata Yurianto di BNPB, Selasa (17/3/2020).
Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.
"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan Puasa, Bulan Puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan pandemic tersebut baru akan bisa dikendalikan pada bulan Juli atau Agustus, dan ia juga mempertimbangkan mengambil kebijakan lockdown, meski tidak di semua negara bagian. Trump juga mengatakan perekonomian AS kini menuju resesi akibat pandemi COVID-19.
Mantan penasehat khusus bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Andrew Levin mengatakan AS akan sulit menghindari resesi akibat pandemi COVID-19, meski warga AS diberi uang tunai US$ 1.000 per kepala untuk melawan menghindari dampak negatif virus corona ke perekonomian.
"Masalahnya bagi ekonomi AS banyak kota yang di-lockdown, dan warganya tinggal di rumah, tidak pergi ke restoran, tidak pergi berbelanja, tidak membeli kendaraan. Saya melihat kita tidak bisa menghindari resesi," kata Levin yang juga profesor ekonomi di Universitas Darthmouth, sebagaimana dilansir CNBC International.
Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS yang berkontribusi sekitar dua pertiga dari total produk domestik bruto (PDB). Lockdown di sejumlah kota tentunya akan memukul sektor tersebut.
Banyak negara-negara kini mengambil kebijakan lockdown guna meredam penyebaran COVID-19. Akibatnya, aktivitas ekonomi diprediksi melambat secara global, pertumbuhan ekonomi terancam terpangkas dalam hingga munculnya risiko resesi.
Beberapa bank investasi ternama sudah memberikan prediksi resesi pasti terjadi terjadi di tahun ini, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa dalam?
"Resesi global 2020 kini menjadi dasar kasus kami. Dengan COVID-19 menyebar ke Eropa dan Asia, gangguan dan dislokasi ekonomi serta pasar akan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi global di semester I 2020" kata Chetan Ahya, kata kepala ekonom Morgan Stanley.
Sementara itu Goldman Sachs memprediksi resesi global di tahun ini akan lebih buruk dari tahun 1991 dan 2001, tetapi tidak akan separah krisis finansial 2008-2009. Akibat risiko resesi tersebut, sentimen pelaku pasar terus memburuk. Jika hal tersebut terus berlangsung dalam waktu lama, maka tekanan atas rupiah belum akan berakhir, dan tidak menutup kemungkinan rupiah mencapai rekor 1998.
(pap/pap)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular