Friday the 13th, Rupiah Anjlok 1,6% & Terburuk di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 March 2020 17:28
Friday the 13th, Rupiah Anjlok 1,6% & Terburuk di Asia
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah semakin jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (13/3/2020) akibat semakin memburuknya sentimen pelaku pasar yang memicu aksi jual masif di pasar finansial dalam negeri.

Rupiah langsung melemah 0,48% begitu perdagangan hari ini dibuka. Setelah depresiasi rupiah terus berlanjut hingga 2,34% ke Rp 14.835/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 13 November 2018.

Mata uang Garuda berhasil memangkas pelemahan selepas tengah hari, hingga menutup perdagangan di level Rp 14.740/US$, melemah 1,59% di pasar spot, melansir data Refinitiv. 

Meski berhasil menangkas pelemahan, rupiah tetap menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia hari ini. Mata uang utama Asia bergerak bervariasi melawan dolar AS pada perdagangan hari ini, rupee India menjadi yang terbaik setelah menguat 0,87%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 16:30 WIB.



Aksi jual akibat pandemi virus corona yang dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi global terus terjadi di pekan ini, bahkan semakin parah sejak Kamis kemarin.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang baru dibuka pada pukul 9:00 WIB lalu langsung jeblok 5% dan sekali lagi mengalami trading halt (pemberhentian perdagangan selama 30 menit). Kamis kemarin, perdagangan IHSG dihentikan lebih awal setelah anjlok 5,01% pada pukul 15:33 WIB.

Sesuai dengan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perdagangan bursa saham akan dihentikan selama 30 menit (trading halt) jika IHSG anjlok 5% atau lebih, sebagai langkah antisipasi dalam mengurangi fluktuasi tajam di pasar modal.

Meski demikian, IHSG berhasil bangkit di perdagangan sesi II, dan berakhir menguat 0,24%. Tetapi, investor asing masih melakukan aksi jual bersih Rp 581,21 miliar.



Selain dari pasar saham, aksi jual juga terjadi di pasar obligasi Indonesia. Yield obligasi tenor 10 tahun hingga Kamis kemarin naik 26,9 basis poin (bps) menjadi 7,248%. Yield tersebut menjadi yang tertinggi sejak 19 Desember 2019. Sementara pada hari ini, yield obligasi tenor 10 tahun naik tipis 0,7 bps ke 7,255%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.

Outflow yang terjadi di pasar saham dan obligasi tersebut membuat rupiah semakin terpuruk.

[Gambas:Video CNBC]



Adapun yang paling ditakutkan oleh pelaku pasar adalah pelambatan ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. Pemerintah berserta Bank Indonesia (BI) sudah menggelontorkan stimulus fiskal dan moneter guna meminimalisir dampak negatif tersebut. 

Pagi tadi, pemerintah mengumumkan stimulus fiskal yang terdiri dari:

  1. Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) 21 melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada seluruh sektor industri pengolahan. Diberlakukan selama enam bulan untuk karyawan dengan gaji di bawah Rp 200 juta/bulan.
  2. Relaksasi PPh 22 impor untuk 19 sektor di industri pengolahan dan Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE). Berlaku selama enam bulan.
  3. Relaksasi PPh 25 dengan bentuk pengurangan pajak korporasi sebesar 30% untuk industri pengolahan. Berlaku selama enam bulan.
  4. Relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berupa bebas audit dan tanpa plafon untuk 19 industri tertentu selama enam bulan.
Untuk memberikan stimulus ini, pemerintah memperkirakan defisit anggaran 2020 bisa bertambah menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, rencana defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah 1,76% PDB.

"Itu Rp 125 triliun sendiri (tambahan defisit). Belanja tidak direm tapi penerimaan turun. Kita akan lihat APBN memberikan dampak suportif kepada ekonomi hampir 0,8% PDB," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Sayangnya, pengumuman stimulus tersebut belum mampu membawa rupiah ke zona hijau, hanya mampu memangkas pelemahan. 



Sebelumnya, berbagai insentif juga sudah digelontorkan seperti subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.

Selain itu di awal bulan ini BI mengeluarkan lima langkah kebijakan. Yang pertama BI meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan atau triple intervention, yang kedua menurunkan GWM valas untuk bank umum, dari 8% menjadi 4% dari DPK. 

Kemudian yang ketiga yang ketiga, BI menurunkan GWM untuk rupiah 50 bps yang berlaku 1 April 2020 selama 9 bulan. GWM tersebut ditujukan untuk mempermudah bank untuk pembiayaan ekspor dan impor

Keempat, BI memperluas cakupan underlying transaksi bagi investor asing dalam lindung nilai. Dan yang kelima, BI menegaskan investor global dapat menggunakan bank kustodi baik global maupun domestik untuk kegiatan investasi di Indonesia. 

Tujuan lima kebijakan tersebut juga sama, agar roda perekonomian terus berputar saat terjadinya pandemi COVID-19. 


TIM RISET CNBC INDONESIA 


[Gambas:Video CNBC]




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular