
Gawat! Investor AS Mulai Was-was Gegara Corona

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor di Amerika Serikat tengah diterpa kekhawatiran meluasnya virus corona (COVID-19). Investor takut jika wabah ini dapat merusak pertumbuhan ekonomi global, membebani harga aset-aset pasar keuangan, dan tentunya menyebabkan resesi.
Ketika virus ini menyebar di AS, para investor khawatir tentang beberapa hal, mulai dari langkah penanganan pemerintah AS yang kurang menyeluruh, kebingungan mengenai jumlah kasus di negara ini, dan kekhawatiran yang membuat mereka takut tertular virus yang berasal dari Wuhan, China ini.
Selain itu, pembatasan aktivitas yang diberlakukan pemerintah AS juga akan menekan pengeluaran konsumen dan merusak sendi-sendi perekonomian Negeri Paman Sam.
"Pasar [keuangan saat ini] belum mengejar fakta [soal virus corona]. Kami berpikir 20% [potensi penurunan pasar] lebih rendah lagi di pasar saham AS tahun ini. Ibaratnya, kita baru saja melompat dari gedung 20 lantai dan kita berada di lantai 10," kata John Lekas, CEO dan Manajer Portofolio Senior di Leader Capital, dikutip dari Reuters.
Setidaknya, bursa saham di AS (Wall Street) jatuh sekitar 12% dari penutupan tertinggi yang dicatatkan pada 19 Februari lalu. Indeks S&P futures (indeks berjangka AS), yang dibuka pada Minggu malam, turun tajam, dan terakhir diperdagangkan 4,5% lebih rendah setelah harga minyak anjlok sekitar 30%. Fakta-fakta ini mengintensifkan kekhawatiran mengenai masalah kemampuan kredit alias gagal bayar (default).
Mengacu data CNBC, indeks saham berjangka (futures) AS ambles lebih dari 4% di perdagangan Senin (9/3/2020), seiring dengan kecemasan akan pelambatan ekonomi akibat wabah virus corona diperparah dengan perang harga minyak mentah.
Pada pukul 11:11 WIB, indeks Dow Jones futures anjlok nyaris 1.200 poin, atau 4,64%, sementara S&P 500 futures dan Nasdaq futures masing-masing merosot 4,89% dan 4,82%. Jebloknya indeks Wall Street futures mengindikasikan bursa saham AS juga akan dibuka ambles saat perdagangan pasar AS dibuka nanti malam.
"Antara minyak dan virus, berita utama ini menciptakan histeria bagi pasar saat ini. Kenaikan pasar saham yang tinggi dan [potensi] default [agal bayar] kredit akan menjadi pembicaraan lagi pada akhir pekan ini jika minyak tidak rebound," kata Ken Polcari, ahli strategi pasar senior di SlateStone Wealth LLC di Jupiter, Florida.
Analis di Deutsche Bank juga menguraikan skenario di mana indeks S&P 500 jatuh, bahkan diprediksi bisa mencapai 20% atau lebih dari level tertingginya, jika virus tersebut tidak cepat diatasi dan terus menyebar. Salah satu indeks acuan di bursa Wall Street ini sudah turun sekitar 8% dari puncaknya pada Jumat pekan lalu (6/3/2020).
"Pasar [saham] hanya bergerak dari [level] yang dinilai terlalu tinggi menjadi sedang. Pasar saham AS belum mempertimbangkan penurunan akibat dampak makroekonomi dan pendapatan dari penurunan aktivitas [perusahaan akibat corona]," tulis para analis di bank asal Jerman tersebut.
Deutsche memprediksi, skenario utama penurunan pasar saham AS antara 15% hingga 20% sebelum nantinya balik arah alias rebound. Bahkan bank investasi ini melihat potensi penurunan yang besar dan resesi.
Sektor teknologi
Laporan dari Bank of America Merrill Lynch mengibaratkan virus corona dengan "kecelakaan kereta yang bergerak lambat" di mana "pasar bergerak secara perlahan, sementara peristiwa yang sedang berlangsung yakni corona bergerak justru secara progresif.
Namun masih ada asa. Michael Purves, CEO di Tallbacken Capital Advisors, menilai sektor teknologi "masih terlalu kuat" di tengah tekanan ini, sampai ada bukti dampak virus ini terhadap penjualan perusahaan-perusahaan teknologi di AS.
Selain teknologi, beberapa analis juga fokus pada potensi tekanan yang bisa dirasakan di sektor keuangan khususnya mata uang. Dalam hal ini, ada potensi terganggunga pertukaran lintas mata uang yang digunakan lembaga untuk melindungi nilai mata uang, akses pendanaan mata uang asing, dan instrumen lain.
Adapun analis lain khawatir soal dampak ke penyaluran kredit dan akses ke uang tunai. Analis dari Oxford Economics bahkan menilai ancaman paling serius terhadap ekonomi AS, mungkin bukan datang dari jumlah kasus atau kematian akibat virus corona, melainkan terganggunya aktivitas sehari-hari dan pembatasan aktivitas perjalanan.
Oxford Economics juga memprediksi terjadi resesi di AS sebesar 35%, dari perkiraan sebelumnya 25% yang ditetapkan pada awal Januari 2020.
Sebelumnya, Rabobank dalam sebuah catatan awal pekan ini, juga mengatakan strategi awal di sebagian besar negara-negara Barat tidak efektif dalam mengatasi corona. Sebab mereka tidak melakukan apa-apa dan hanya bisa memberitahu bahwa semua orang baik-baik saja.
Sejauh ini, 19 orang telah meninggal dari sekitar 450 kasus virus corona baru yang dilaporkan di AS. Sebagai perbandingan, data Johns Hopkins CSSE mencatat, pada Senin ini pukul 12.41 WIB, kasus terinfeksi di AS mencapai 554 orang, dengan jumlah kematian 17 orang.
(tas/tas) Next Article AS Mulai Tanpa Masker, Bursa Wall Street Melambung Tinggi
