
Rilis Lapkeu 2019, Bagaimana Prospek Saham PTBA?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 March 2020 17:38

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mencatatkan pertumbuhan pendapatan pada 2019, tetapi laba bersih justru anjlok 19%. Fluktuasi harga batu bara tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Berdasarkan laporan keuangan auditan PTBA yang dirilis hari ini, perusahaan mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 2,93% secara tahunan (yoy). Pada 2018 total pendapatan PTBA sebesar Rp 21,2 triliun, sementara tahun lalu perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp 21,8 triliun.
Kenaikan pendapatan perusahaan ditopang oleh kenaikan sebesar 3,77% (yoy) pendapatan dari sektor batu bara yang menyumbang hampir 98% dari total pendapatan perusahaan.
Walau harga rata-rata penjualan batu bara mengalami penurunan per tonnya (-7,84%), kenaikan pendapatan dari sektor ini didongkrak oleh kenaikan volume penjualan (+12,55%). Pada 2019 total volume penjualan batu bara perusahaan mencapai 27,8 juta ton (98% dari target).
Untuk pendapatan perusahaan dari sektor selain batu bara justru turun 28,5% (yoy). Namun porsi sektor ini sangatlah kecil (<2%) dibanding sektor batu bara. Pendapatan lain dari perusahaan disumbang dari penjualan listrik, briket, minyak sawit mentah dan inti sawit, serta jasa kesehatan rumah sakit dan jasa sewa.
Ketika pendapatan perusahaan naik single digit, beban produksinya justru naik 12,32% (yoy). Kenaikan biaya produksi disumbang oleh kenaikan biaya untuk jasa angkut (+9% yoy) dan biaya untuk jasa penambangan (+16% yoy). Kedua pos biaya produksi ini menyumbang lebih dari separuh dari total biaya produksi perusahaan.
Kenaikan biaya produksi ini menyebabkan laba kotor perusahaan turun dari Rp 8,5 triliun pada 2018 menjadi Rp 7,6 triliun tahun lalu. Laba kotor perseroan anjlok 10,6% (yoy).
Selain beban biaya produksi yang mengalami kenaikan, beban umum & administrasi perusahaan juga mengalami kenaikan sebesar 6,56% (yoy). Beban keuangan untuk periode 2019 juga mengalami kenaikan 23,3% (yoy) sebagai akibat biaya bunga dari pinjaman bank serta biaya bunga atas bunga diskonto.
Kenaikan berbagai pos beban biaya yang melebihi kenaikan pada pendapatan membuat laba bersih perseroan anjlok hingga 19% (yoy) pada 2019.
Pihak manajemen menjelaskan berbagai upaya efisiensi sudah dilakukan untuk dapat menekan anjloknya laba. Salah satunya adalah efisiensi pada strip rasio. Dalam pertambangan strip rasio merupakan rasio yang diperoleh dari perbandingan volume lapisan tanah yang dibongkar dibagi dengan batu bara yang diambil.
Besaran strip rasio sangat mempengaruhi profitabilitas dalam bisnis pertambangan. Jika strip rasionya tinggi maka biaya untuk menambang menjadi lebih mahal, tentu ini akan menggerus margin.
Berdasarkan laporan keuangan auditan PTBA yang dirilis hari ini, perusahaan mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 2,93% secara tahunan (yoy). Pada 2018 total pendapatan PTBA sebesar Rp 21,2 triliun, sementara tahun lalu perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp 21,8 triliun.
Kenaikan pendapatan perusahaan ditopang oleh kenaikan sebesar 3,77% (yoy) pendapatan dari sektor batu bara yang menyumbang hampir 98% dari total pendapatan perusahaan.
Walau harga rata-rata penjualan batu bara mengalami penurunan per tonnya (-7,84%), kenaikan pendapatan dari sektor ini didongkrak oleh kenaikan volume penjualan (+12,55%). Pada 2019 total volume penjualan batu bara perusahaan mencapai 27,8 juta ton (98% dari target).
Untuk pendapatan perusahaan dari sektor selain batu bara justru turun 28,5% (yoy). Namun porsi sektor ini sangatlah kecil (<2%) dibanding sektor batu bara. Pendapatan lain dari perusahaan disumbang dari penjualan listrik, briket, minyak sawit mentah dan inti sawit, serta jasa kesehatan rumah sakit dan jasa sewa.
Ketika pendapatan perusahaan naik single digit, beban produksinya justru naik 12,32% (yoy). Kenaikan biaya produksi disumbang oleh kenaikan biaya untuk jasa angkut (+9% yoy) dan biaya untuk jasa penambangan (+16% yoy). Kedua pos biaya produksi ini menyumbang lebih dari separuh dari total biaya produksi perusahaan.
Kenaikan biaya produksi ini menyebabkan laba kotor perusahaan turun dari Rp 8,5 triliun pada 2018 menjadi Rp 7,6 triliun tahun lalu. Laba kotor perseroan anjlok 10,6% (yoy).
Selain beban biaya produksi yang mengalami kenaikan, beban umum & administrasi perusahaan juga mengalami kenaikan sebesar 6,56% (yoy). Beban keuangan untuk periode 2019 juga mengalami kenaikan 23,3% (yoy) sebagai akibat biaya bunga dari pinjaman bank serta biaya bunga atas bunga diskonto.
Kenaikan berbagai pos beban biaya yang melebihi kenaikan pada pendapatan membuat laba bersih perseroan anjlok hingga 19% (yoy) pada 2019.
Pihak manajemen menjelaskan berbagai upaya efisiensi sudah dilakukan untuk dapat menekan anjloknya laba. Salah satunya adalah efisiensi pada strip rasio. Dalam pertambangan strip rasio merupakan rasio yang diperoleh dari perbandingan volume lapisan tanah yang dibongkar dibagi dengan batu bara yang diambil.
Besaran strip rasio sangat mempengaruhi profitabilitas dalam bisnis pertambangan. Jika strip rasionya tinggi maka biaya untuk menambang menjadi lebih mahal, tentu ini akan menggerus margin.
Next Page
Tantangan Untuk PTBA
Pages
Most Popular