Analisis Fundamental

Mau Caplok Pinehill, Bagaimana Prospek Bisnis Indofood?

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
13 February 2020 09:51
Ingatan Investor Seperti Gajah?
Foto: Ist/indofood.com

Terkait dengan transaksi afiliasi, publik juga mungkin belum lupa, bahwa Grup Salim pernah mengajukan transaksi afiliasi dengan jumlah tidak seberapa tetapi harganya dinilai kurang wajar, meskipun argumen wajar tersebut juga mendapatkan pembenaran dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Pertama
, pada 10 Juni 2017. PT Aston Inti Makmur (AIM) yang dimiliki Indofood CBP, Indofood, dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) membeli 42.877 m2 lahan dan fasilitas pengolahan minyak goreng di Penjaringan (Jakarta Utara) senilai Rp 2,18 triliun. 

Artinya, harga pembelian lahan itu adalah Rp 51 juta/m2 dari pemilik lama, yang salah satunya adalah Liem Hong Sien, nama lain dari Anthoni Salim.

Kedua
, pada 22 Juni 2017. Indofood pernah menjual tanah seluas 19.452 m2 di Purwakarta (Jawa Barat) dengan nilai Rp 51,88 miliar kepada afiliasi yaitu PT Indoagri Daitocacao, atau artinya dengan harga Rp 2,67 juta/m2. 

Ketiga
, pada Desember 2018. AIM yang bertindak sebagai perusahaan properti membeli 262.600 m2 tanah di Riau senilai Rp 1,31 triliun dari PT Alam Indah Bintan, atau artinya Rp 5 juta/m2.

Namun, jangan terjebak masa lalu. Grup Salim juga tidak sepatutnya menutup diri, dan investor pasar modal juga sebaiknya mempercayakan bahwa jika emiten untung maka pemegang saham akan lebih diuntungkan.


Atau minimal, yang diharapkan oleh investor adalah nilai transaksi itu tidak sampai melebihi nilai buku dari ICBP, mengingat saat ini Indofood CBP sudah memiliki 17 pabrik mi instan, sedangkan rencana akuisisi itu membidik sekurangnya tujuh lokasi, sama dengan jumlah negara yang ditawarkan. Per September, nilai buku Indofood CBP setelah dikurangi goodwilldan kewajiban adalah Rp 23,45 triliun.

Dari catatan yang sama kepada investornya, sekuritas yang mengikuti konferensi telepon itu menyatakan penduduk dari tujuh negara itu dua kali lipat dari penduduk Indonesia (sekitar 500 juta jiwa) dengan penjualan Indomie baru 7,4 miliar bungkus per tahun di mana sudah tumbuh hingga 10% dalam 3 tahun terakhir. 

Setelah sebelumnya menggabungkan bisnis CPO ke dalam Indofood dan Indolacto ke Indofood CBP, dengan masuknya pabrik mi instan di tujuh negara tersebut maka akan semakin melebarkan sayap kedua perusahaan itu ke dunia lain. 

Niatan menjadi perusahaan multinasional, yang sudah lebih dulu dirintis 'saudaranya' tentu bukanlah lagi mimpi. Selain itu, tujuan lain dari akuisisi itu adalah untuk meneruskan warisan yang sudah ditunjukkan dengan pangsa pasar 50%-90% hingga mampu menggoyang dunia. Hal itulah yang disampaikan manajemen dalam konferensi telepon itu. 

Tujuan lain adalah kesempatan pertumbuhan bisnis yang sangat besar dengan jumlah penduduk negara target yang luas serta konsumsi per kapita yang masih rendah, apalagi konsumsi mi instan dan Indomie. 

Sebagai perbandingan, ICBP memproduksi mi instan 12,59 miliar bungkus pada 2014 dan mampu memproduksi 18 miliar bungkus pada catatan kinerja 2016. Dari total penjualan Indofood CBP, porsi penjualan domestik mencapai 89,86% dan sisanya ekspor. 

Dengan asumsi seluruh produk mi instan memiliki porsi penjualan domestik yang sama yaitu 89,86% dan dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, maka didapatkan tingkat konsumsi mi instan Indofood CBP terhadap seluruh penduduk sebanyak 64,7 bungkus per tahun. Hal ini dengan mengesampingkan fakta bahwa ada umur yang belum bisa memasak dan sudah pantas menyeruput mi instan.

Dibandingkan dengan tujuh negara, maka didapatkan tingkat konsumsi Indomie per penduduk setiap tahunnya baru sebanyak 14,8 bungkus per tahun, masih sangat rendah karena kurang dari seperempat tingkat konsumsi mi instan bikinan Indofood CBP di dalam negeri.


Jika Terus, Lalu Apa?
Jika transaksi itu diteruskan, maka ICBP segera menggelar uji tuntas (due diligence) dengan menunjuk satu konsultan keuangan domestik dan satu konsultan asing. Selain itu, perseroan juga akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa 'Independen'.

Keputusan yang diambil dalam rapat akan krusial karena menyangkut ekspansi, atau kalau boleh dikatakan konsolidasi besar-besaran dari Grup Salim yang taruhannya tidak sedikit.

Pemegang saham independen akan memiliki suara yang menentukan dalam RUPSLB itu, karena pihak afiliasi sangat dilarang ikut ambil suara mengingat transaksi tersebut sarat dengan benturan kepentingan.

Hasil dari konsolidasi juga tentu tidak hanya menyuntik aset bagi perusahaan tetapi juga generator pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, pun dengan pangsa pasar yang berarti dua kali lipat lebih banyak daripada di dalam negeri.

ICBP juga akan semakin mengimbangi lebih berminatnya pelaku pasar tahun ini kepada Indofood yang memiliki aset-aset CPO seperti LSIP dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) yang diprediksi lebih bersinar tahun ini.

Jika Grup Salim fair dan tanpa ada permainan berbentuk pemegang saham 'ondel-ondel', yang hanya setuju karena dikendalikan dari jauh, maka pemegang saham independen akan sangat dimanjakan dan berada di atas angin. Konglomerasi itu harus mampu menyajikan data-data yang menunjukkan bahwa nilai akusisi adalah wajar adanya.

Ambil untung dari sisi Grup Salim tentu akan dianggap normal jika harganya di atas nilai buku, tetapi kewajaran harus dapat ditanamkan kepada pemegang saham minoritas, sehingga mereka tidak berpikir Grup Salim dapat semena-mena menggunakan uang perusahaan yang juga dimiliki publik untuk dipindahkan ke kantong grup semata.

Ingat, ini demi nama baik juga. Tidak hanya nama Indofood tetapi juga Indomie, agar Indomie semakin menjadi selera dunia, tidak hanya di Indonesia. Seperti yang dibawakan dalam jingleciptaan A. Riyanto itu di setiap iklannya di televisi yang bisa dipelesetkan dengan prasangka mulia:

"Indomie, Indomie, seleraku. Indomie dari Indonesia, 'tuk seluruh dunia."

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]



(tas/tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular