Jakarta, CNBC Indonesia - "Aku percaya kepada Indomie, mi instan yang 'mahakuasa'," demikian racauan para netizen di sosial media mengenai rasa Indomie yang begitu nikmat.
Tapi kenikmatan mencicipi Indomie ini nyatanya tak senikmat harga saham produsennya, yakni Indofood di papan Bursa Efek Indonesia (BEI). Baru melempar wacana akuisisi entitas afiliasinya, Pinehill, dua saham utama Grup Salim sudah dihukum pasar pada transaksi Kamis kemarin (12/2/20).
Masing-masing saham turun 8,79% dan 6,32% yaitu untuk PT Indofood Sukses Makmur Tbk (Indofood/INDF) dan anak usahanya yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (Indofood CBP/ICBP) yang memproduksi Indomie. Pasar saham ternyata bisa juga 'berburuk sangka' alias su'udzon atas rencana transaksi ini.
Koreksi harga sebuah saham tentu wajar, tetapi menjadi wah ketika penurunan harga kedua saham milik dinasti konglomerasi yang dibangun mendiang Sudono Salim tersebut terjadi lebih dari 9 kali lipat dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 0,69%.
Dalam keterbukaan informasinya kepada BEI, Grup Salim melalui ICBP menyatakan sudah ditawari untuk membeli saham Pinehill Company Ltd (PCL) yang sebelumnya dimiliki dua entitas afiliasi yaitu Pinehill Corpora Ltd (PCRL) dan Steele Lake Ltd.
PCL juga disebut memiliki empat anak usaha yang memiliki entitas usaha di tujuh negara, yaitu Arab Saudi, Nigeria, Turki, Mesir, Kenya, Maroko, dan Serbia. ICBP juga menyatakan sudah berniat melanjutkan tawaran tersebut dengan proses uji tuntas (due diligence).
PCRL dan Steele Lake merupakan entitas yang berdiri di British Virgin Island, satu dari 10 negara Laut Karibia yang lumrah menjadi perusahaan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) untuk memanfaatkan keringanan pajak transaksi, atau disebut tax haven.
Lantas kenapa pasar bisa berprasangka kotor terhadap rencana tersebut?
Patut dicermati bahwa arti dari transaksi afiliasi adalah transaksi yang memiliki benturan kepentingan karena ada hubungan 'darah' antarkedua entitas.
Bisa dibayangkan bahwa selama ini Grup Salim melebarkan produksi mi instan andalannya yang sudah mendunia yaitu Indomie melalui beberapa perusahaan patungan di beberapa negara, biasanya didirikan dengan bantuan pengusaha setempat seperti dengan Maher Abu Alata di Mesir, Abdullah Ghozy di Maroko, dan Grup Wazaran di Arab Saudi.
Alhasil perusahaan-perusahaan patungan yang memproduksi dan meluaskan penjualan Indomie itu harus membayar hak royalti merek kepada Indofood sebagai pemilik nama besar.
Royalti Indomie
Dicermati dari laporan keuangan Indofood September lalu ke bursa, perusahaan yang membayar royalti terbesar kepada INDF pada periode itu adalah Pinehill Arabia Food Ltd (Arab Saudi) Rp 93,95 miliar, Dufil Prima Foods Plc (Nigeria) Rp 51,31 miliar, dan Salim Wazaran Abu Alata Co (Sawata, Mesir) Rp 32,66 miliar.
Nama Salim Wazaran Group (Sawaz Group) bahkan sudah lebih sering digunakan dibanding nama Indofood sebagai pembawa panji Indomie di Eropa Tengah, Timur Tengah, dan Afrika.
Pinehill Co Ltd (PCL) yang sedang ditawarkan ke ICBP tadi berarti dapat dikatakan sebagai bagian dari Grup Salim tetapi bukanlah bagian atau terkait langsung dengan INDF, atau istilahnya masih saudara, karena laporan keuangan Indofood tidak menunjukkan jejak dari perusahaan itu.
Salah satu catatan (notes) sebuah perusahaan efek kepada nasabahnya yang beredar kemarin memberikan petunjuk bahwa 51% saham PCL dimiliki oleh Anthoni Salim, direktur utama INDF sekaligus direktur utama ICBP.
Kepemilikan pimpinan tertinggi Grup Salim tersebut pada PCL dilakukan melalui PCRL. Fakta itu menjadi salah satu poin pembicaraan pelaku pasar dengan manajemen ICBP melalui konferensi telepon (conference call).
PCL disebut memiliki 49% saham Dufil dan masing-masing sebesar 59% pada tiga anak usaha lain yang akan ditawarkan kepada ICBP. Penelusuran data pada Dufil menemukan dokumen prospektus rencana penerbitan efek utang pada 2016 silam.
Obligasi itu rencananya akan ditawarkan senilai 40 miliar naira (sekarang setara Rp 1,5 triliun), di mana putera mahkota Grup Salim yaitu Axton Salim bertindak sebagai satu dari empat direktur non-eksekutif perusahaan tersebut.
Dokumen yang sama menjelaskan bahwa pemegang saham Dufil terdiri dari Tolaram Africa Foods PTE Ltd 48,99%, Platinum Stream Profits Ltd 41,02%, Benetta Enterprises INC 7,97%, dan lain-lain 2,02%.
Yang menarik dari data tadi adalah porsi 49% PCL itu masih dimiliki oleh Tolaram Africa, anak usaha patungan antara Grup Salim dengan Grup Tolaram pada 2016. Tolaram adalah perusahaan pengusaha keturunan Pakistan yang membangun bisnis tekstil di Malang (Jawa Timur) dan melebarkan sayapnya ke Singapura pada 1965. Sejak saat itu, pusat bisnisnya dipindahkan ke Singapura. Di Indonesia, awal Januari lalu Tolaram baru mencatatkan saham anak usahanya, PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR).
Memang tidak banyak yang didapatkan dari nama Tolaram, tetapi sebenarnya Grup Salim juga terkenal dengan sifatnya yang tertutup, terutama setelah 1998. Bahkan ketika kondisi rusuh sedang panas-panasnya, Sudono Salim atau Om Liem harus mengungsi ke Singapura dan tinggal di Amerika Serikat karena rumahnya dijarah dan dibakar.
Patut diingat pada krisis moneter itu Grup Salim jatuh hingga berutang Rp 52 triliun, tetapi berhasil diselamatkan oleh Anthoni dan Eva Riyanti Hutapea berkat penjualan Indocement, BCA, Indomobil, dan Indosiar.
[Gambas:Video CNBC]
Terkait dengan transaksi afiliasi, publik juga mungkin belum lupa, bahwa Grup Salim pernah mengajukan transaksi afiliasi dengan jumlah tidak seberapa tetapi harganya dinilai kurang wajar, meskipun argumen wajar tersebut juga mendapatkan pembenaran dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Pertama, pada 10 Juni 2017. PT Aston Inti Makmur (AIM) yang dimiliki Indofood CBP, Indofood, dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) membeli 42.877 m2 lahan dan fasilitas pengolahan minyak goreng di Penjaringan (Jakarta Utara) senilai Rp 2,18 triliun.
Artinya, harga pembelian lahan itu adalah Rp 51 juta/m2 dari pemilik lama, yang salah satunya adalah Liem Hong Sien, nama lain dari Anthoni Salim.
Kedua, pada 22 Juni 2017. Indofood pernah menjual tanah seluas 19.452 m2 di Purwakarta (Jawa Barat) dengan nilai Rp 51,88 miliar kepada afiliasi yaitu PT Indoagri Daitocacao, atau artinya dengan harga Rp 2,67 juta/m2.
Ketiga, pada Desember 2018. AIM yang bertindak sebagai perusahaan properti membeli 262.600 m2 tanah di Riau senilai Rp 1,31 triliun dari PT Alam Indah Bintan, atau artinya Rp 5 juta/m2.
Namun, jangan terjebak masa lalu. Grup Salim juga tidak sepatutnya menutup diri, dan investor pasar modal juga sebaiknya mempercayakan bahwa jika emiten untung maka pemegang saham akan lebih diuntungkan.
Atau minimal, yang diharapkan oleh investor adalah nilai transaksi itu tidak sampai melebihi nilai buku dari ICBP, mengingat saat ini Indofood CBP sudah memiliki 17 pabrik mi instan, sedangkan rencana akuisisi itu membidik sekurangnya tujuh lokasi, sama dengan jumlah negara yang ditawarkan. Per September, nilai buku Indofood CBP setelah dikurangi goodwilldan kewajiban adalah Rp 23,45 triliun.
Dari catatan yang sama kepada investornya, sekuritas yang mengikuti konferensi telepon itu menyatakan penduduk dari tujuh negara itu dua kali lipat dari penduduk Indonesia (sekitar 500 juta jiwa) dengan penjualan Indomie baru 7,4 miliar bungkus per tahun di mana sudah tumbuh hingga 10% dalam 3 tahun terakhir.
Setelah sebelumnya menggabungkan bisnis CPO ke dalam Indofood dan Indolacto ke Indofood CBP, dengan masuknya pabrik mi instan di tujuh negara tersebut maka akan semakin melebarkan sayap kedua perusahaan itu ke dunia lain.
Niatan menjadi perusahaan multinasional, yang sudah lebih dulu dirintis 'saudaranya' tentu bukanlah lagi mimpi. Selain itu, tujuan lain dari akuisisi itu adalah untuk meneruskan warisan yang sudah ditunjukkan dengan pangsa pasar 50%-90% hingga mampu menggoyang dunia. Hal itulah yang disampaikan manajemen dalam konferensi telepon itu.
Tujuan lain adalah kesempatan pertumbuhan bisnis yang sangat besar dengan jumlah penduduk negara target yang luas serta konsumsi per kapita yang masih rendah, apalagi konsumsi mi instan dan Indomie.
Sebagai perbandingan, ICBP memproduksi mi instan 12,59 miliar bungkus pada 2014 dan mampu memproduksi 18 miliar bungkus pada catatan kinerja 2016. Dari total penjualan Indofood CBP, porsi penjualan domestik mencapai 89,86% dan sisanya ekspor.
Dengan asumsi seluruh produk mi instan memiliki porsi penjualan domestik yang sama yaitu 89,86% dan dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, maka didapatkan tingkat konsumsi mi instan Indofood CBP terhadap seluruh penduduk sebanyak 64,7 bungkus per tahun. Hal ini dengan mengesampingkan fakta bahwa ada umur yang belum bisa memasak dan sudah pantas menyeruput mi instan.
Dibandingkan dengan tujuh negara, maka didapatkan tingkat konsumsi Indomie per penduduk setiap tahunnya baru sebanyak 14,8 bungkus per tahun, masih sangat rendah karena kurang dari seperempat tingkat konsumsi mi instan bikinan Indofood CBP di dalam negeri.
Jika Terus, Lalu Apa?
Jika transaksi itu diteruskan, maka ICBP segera menggelar uji tuntas (due diligence) dengan menunjuk satu konsultan keuangan domestik dan satu konsultan asing. Selain itu, perseroan juga akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa 'Independen'.
Keputusan yang diambil dalam rapat akan krusial karena menyangkut ekspansi, atau kalau boleh dikatakan konsolidasi besar-besaran dari Grup Salim yang taruhannya tidak sedikit.
Pemegang saham independen akan memiliki suara yang menentukan dalam RUPSLB itu, karena pihak afiliasi sangat dilarang ikut ambil suara mengingat transaksi tersebut sarat dengan benturan kepentingan.
Hasil dari konsolidasi juga tentu tidak hanya menyuntik aset bagi perusahaan tetapi juga generator pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, pun dengan pangsa pasar yang berarti dua kali lipat lebih banyak daripada di dalam negeri.
ICBP juga akan semakin mengimbangi lebih berminatnya pelaku pasar tahun ini kepada Indofood yang memiliki aset-aset CPO seperti LSIP dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) yang diprediksi lebih bersinar tahun ini.
Jika Grup Salim fair dan tanpa ada permainan berbentuk pemegang saham 'ondel-ondel', yang hanya setuju karena dikendalikan dari jauh, maka pemegang saham independen akan sangat dimanjakan dan berada di atas angin. Konglomerasi itu harus mampu menyajikan data-data yang menunjukkan bahwa nilai akusisi adalah wajar adanya.
Ambil untung dari sisi Grup Salim tentu akan dianggap normal jika harganya di atas nilai buku, tetapi kewajaran harus dapat ditanamkan kepada pemegang saham minoritas, sehingga mereka tidak berpikir Grup Salim dapat semena-mena menggunakan uang perusahaan yang juga dimiliki publik untuk dipindahkan ke kantong grup semata.
Ingat, ini demi nama baik juga. Tidak hanya nama Indofood tetapi juga Indomie, agar Indomie semakin menjadi selera dunia, tidak hanya di Indonesia. Seperti yang dibawakan dalam jingleciptaan A. Riyanto itu di setiap iklannya di televisi yang bisa dipelesetkan dengan prasangka mulia:
"Indomie, Indomie, seleraku. Indomie dari Indonesia, 'tuk seluruh dunia."
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]