Analisis

Lemahnya Data Penjualan Ritel Hambat Laju Penguatan Rupiah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2020 13:27
Lemahnya Data Penjualan Ritel Hambat Laju Penguatan Rupiah
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (11/2/2020) setelah membukukan pelemahan dua hari beruntun.

Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 13.690/US$, kemudian menguat hingga 0,11% di level Rp 13.675/US$. Pada pukul 13:00 WIB, penguatan rupiah terpangkas menjadi 0,07% ke Rp 13.680/US$.

Sentimen pelaku pasar yang sedikit membaik hari ini membuat rupiah bangkit. Meski demikian, pelaku pasar masih berhati-hati melihat dampak wabah virus corona terhadap ekonomi China. Berdasarkan data ArcGis, total korban meninggal akibat virus corona kini menjadi 1.016 orang, dan telah menjangkiti lebih dari 43.000 orang di berbagai negara.

Hasil riset S&P menunjukkan pertumbuhan ekonomi China bisa terpangkas 1,2% akibat virus corona. Kala ekonomi China melambat, negara-negara lain tentunya juga akan terseret, sebabnya Negeri Tiongkok merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia setelah AS.


Untuk meredam dampak virus corona ke ekonomi, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) awal bulan menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan ke 2,55% guna meredam gejolak finansial. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.

Selain itu, pemerintah China juga akan memangkas bea masuk impor berbagai produk AS senilai US$ 75 miliar. Belum jelas produk apa saja yang dimaksud, yang pasti bea masuk yang sebelumnya 10% akan dipangkas menjadi 5%, dan yang sebelumnya 5% menjadi 2,5%.

Dalam rilis Kementerian Keuangan China yang dikutip CNBC International, pemangkasan bea masuk tersebut dilakukan untuk perkembangan perdagangan yang lebih sehat antara China dengan AS. Pemangkasan tersebut mulai berlaku pada 14 Februari nanti.

Dengan pemangkasan bea impor itu, perundingan dagang fase II akan berjalan lancar, dan bea masuk yang diterapkan kedua negara semakin dipangkas sehingga arus perdagangan global menjadi lancar, dan diharapkan mampu mengurangi dampak negatif dari wabah virus corona.


Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan penjualan eceran pada Januari 2020 mengalami penurunan sejalan dengan pola musimannya pada awal tahun. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Januari 2020 yang diprakirakan -3,1% year-on-year (YoY).

Penurunan penjualan eceran di awal tahun memang sudah menjadi pola musiman, karena geliat perekonomian biasanya memang belum kencang. Namun penurunan akhir tahun lalu yang bisa dikatakan "bermasalah". Pada Desember 2019. penjualan IPR turun 0,5% YoY, meski ada Natal dan Tahun Baru yang biasanya menjadi musim belanja.

Penurunan tersebut bisa jadi memberikan gambaran daya beli masyarakat saat ini memang sedang tertekan. Rilis data tersebut pun menjadi sinyal bahwa pelemahan daya beli masih berlanjut, sehingga penguatan rupiah menjadi terbatas pada hari ini.

Secara teknikal, belum ada perubahan level yang harus diperhatikan dari Senin kemarin. Rupiah kini menuju fase konsolidasi melihat indikator rerata pergerakan konvergen dan divergen (MACD) yang bergerak naik, meski masih di wilayah negatif. 

Sekilas melihat ke belakang, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.

Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan lalu.

Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Sumber: Refinitiv


Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%. Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.

Sejak saat itu, penguatan rupiah menguat hingga ke Rp 13.565/US$. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640.

Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$. 

Level Rp 13.885/US$ akan menjadi batas atas fase konsolidasi rupiah, dan Rp 13.565/US$ (level terkuat tahun ini) akan menjadi batas bawah. Dalam jangka menengah, rupiah perlu menembus salah satu area tersebut untuk melihat pergerakan lebih lanjut. Jika mampu menembus ke bawah Rp 13.565/US$ maka peluang melanjutkan penguatan pola Descending Triangle akan kembali terbuka. 

Grafik: Rupiah (USD/IDR) 1 Jam
Sumber: Refinitiv



Sementara untuk hari ini, melihat grafik 1 jam indikator stochastic bergerak turun tetapi belum memasuki wilayah jenuh jual (oversold). 

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold untuk pasangan USD/IDR, itu menjadi sinyal harga akan berbalik naik. Tetapi jika belum mencapai oversold, ruang penguatan rupiah masih terbuka.
 
Resisten (tahanan atas) berada di Rp 13.690/US$, selama tertahan di bawah level tersebut, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.660/US$. Sementara jika menembus ke atas resisten, rupiah berisiko melemah ke Rp 13.715/US$. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular