
Corona Tewaskan 813 Orang, Cadev China Masih Meningkat
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 February 2020 12:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) China mencatat kenaikan pada bulan Januari di tengah wabah virus corona yang menewaskan ratusan orang dan menjangkiti puluhan ribu orang.
Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) pada Jumat (7/2/2020) merilis data cadev bulan Januari sebesar US$ 3,115 triliun naik US$ 7,57 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut terbilang mengejutkan melihat hasil polling Reuters terhadap para ekonom menunjukkan cadev diprediksi akan menurun menjadi US$ 3,10 triliun.
Kontrol modal yang ketat dari pemerintah China mampu mencegah capital outflow di tengah wabah virus corona yang semakin mengganas. Selain itu, meningkatnya.
Berdasarkan data dari ArcGis, jumlah korban meninggal akibat virus corona di China sudah lebih dari 800 orang. Jumlah tersebut lebih banyak dari korban meninggal akibat wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada tahun 2002 dan 2003 sebanyak 775 orang di seluruh dunia.
Data terbaru, hingga Minggu pagi (9/2/2020), pukul 09.53 waktu Indonesia, korban tewas sudah mencapai 813 orang di dunia, bertambah dari pagi tadi 806 orang. Dari jumlah itu, China sebanyak 811 orang, ditambah 1 Hong Kong dan 1 Filipina, berdasarkan data Gisanddata.
Sementara itu, jumlah pasien yang terjangkit virus corona kini lebih dari 37.000 orang di seluruh dunia, jauh lebih banyak dari SARS yang lebih dari 8.000 orang.
Sebelum wabah virus corona menghantui China, kontrol modal yang ketat juga mampu menahan capital outflow saat terjadi perang dagang antara China dengan AS sejak pertengahan 2018.
Kebijakan kontrol modal tersebut membatasi pada investor China untuk berinvestasi di perusahaan asing, membeli properti di luar negeri, hingga membatasi jumlah uang yang bisa ditransfer keluar dari China. Dengan kebijakan tersebut, China mampu menjaga stabilitas nilai tukar yuan, dan cadev yang dimiliki.
Pada tahun 2019 lalu, kebijakan control modal China membuat investasi langsung keluar (outbound direct investment/ODI) dari China turun 8,2% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi US$ 110,6 miliar, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan China.
Di sisi lain, investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/FDI) tumbuh 5,8% dibandingkan tahun 2018 menjadi US$ 136,71 miliar.
Dari sektor properti, di tahun 2018 terjadi penurunan jumlah properti yang dibeli investor China hingga anjlok lebih dari setengahnya. Berdasarkan data dari Real Capital Analytics yang dikutip Cushman & Wakefield. Total nilai properti yang dibeli investor China di luar negeri "hanya" US$ 15,7 miliar, anjlok 63% dibandingkan tahun sebelumnya.
Mantan penasehat PBoC, Yu Yongding, bahkan mengatakan kontrol modal di China menjadi "ekstrim". Ia mengatakan pada pertengahan tahun lalu tidak bisa menukar yuan dengan dolar AS senilai US$ 20.000 untuk ditransfer keluar negeri.
Padahal, peraturan pemerintah memperbolehkan warga negara China menukar yuan dengan dolar AS maksimal senilai US$ 50.000 per tahun. Alasan transfer yu ditolak oleh oleh bank lantaran umurnya yang sudah 62 tahun.
"Saya selalu mendukung kontrol modal, saya selalu mendorong pendekatan tersebut. Tetapi terkadang kita cenderung terlalu ekstrim melakukan sesuatu" kata Yu kepada portal berita Sina.com, sebagaimana dilansir South Morning China Post.
Berkat kebijakan kontrol modal tersebut, China mampu mempertahankan cadangan devisanya sebagai yang terbesar di dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article China Mulai Gerah, Dolar AS Mulai "Dibuang"
Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) pada Jumat (7/2/2020) merilis data cadev bulan Januari sebesar US$ 3,115 triliun naik US$ 7,57 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut terbilang mengejutkan melihat hasil polling Reuters terhadap para ekonom menunjukkan cadev diprediksi akan menurun menjadi US$ 3,10 triliun.
Kontrol modal yang ketat dari pemerintah China mampu mencegah capital outflow di tengah wabah virus corona yang semakin mengganas. Selain itu, meningkatnya.
Berdasarkan data dari ArcGis, jumlah korban meninggal akibat virus corona di China sudah lebih dari 800 orang. Jumlah tersebut lebih banyak dari korban meninggal akibat wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada tahun 2002 dan 2003 sebanyak 775 orang di seluruh dunia.
Sementara itu, jumlah pasien yang terjangkit virus corona kini lebih dari 37.000 orang di seluruh dunia, jauh lebih banyak dari SARS yang lebih dari 8.000 orang.
Sebelum wabah virus corona menghantui China, kontrol modal yang ketat juga mampu menahan capital outflow saat terjadi perang dagang antara China dengan AS sejak pertengahan 2018.
Kebijakan kontrol modal tersebut membatasi pada investor China untuk berinvestasi di perusahaan asing, membeli properti di luar negeri, hingga membatasi jumlah uang yang bisa ditransfer keluar dari China. Dengan kebijakan tersebut, China mampu menjaga stabilitas nilai tukar yuan, dan cadev yang dimiliki.
Pada tahun 2019 lalu, kebijakan control modal China membuat investasi langsung keluar (outbound direct investment/ODI) dari China turun 8,2% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi US$ 110,6 miliar, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan China.
Di sisi lain, investasi langsung dari luar negeri (foreign direct investment/FDI) tumbuh 5,8% dibandingkan tahun 2018 menjadi US$ 136,71 miliar.
Dari sektor properti, di tahun 2018 terjadi penurunan jumlah properti yang dibeli investor China hingga anjlok lebih dari setengahnya. Berdasarkan data dari Real Capital Analytics yang dikutip Cushman & Wakefield. Total nilai properti yang dibeli investor China di luar negeri "hanya" US$ 15,7 miliar, anjlok 63% dibandingkan tahun sebelumnya.
![]() |
Mantan penasehat PBoC, Yu Yongding, bahkan mengatakan kontrol modal di China menjadi "ekstrim". Ia mengatakan pada pertengahan tahun lalu tidak bisa menukar yuan dengan dolar AS senilai US$ 20.000 untuk ditransfer keluar negeri.
Padahal, peraturan pemerintah memperbolehkan warga negara China menukar yuan dengan dolar AS maksimal senilai US$ 50.000 per tahun. Alasan transfer yu ditolak oleh oleh bank lantaran umurnya yang sudah 62 tahun.
"Saya selalu mendukung kontrol modal, saya selalu mendorong pendekatan tersebut. Tetapi terkadang kita cenderung terlalu ekstrim melakukan sesuatu" kata Yu kepada portal berita Sina.com, sebagaimana dilansir South Morning China Post.
Berkat kebijakan kontrol modal tersebut, China mampu mempertahankan cadangan devisanya sebagai yang terbesar di dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article China Mulai Gerah, Dolar AS Mulai "Dibuang"
Most Popular