
Hijau Lagi, IHSG Resmi Cetak Apresiasi Empat Hari Beruntun
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 February 2020 16:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (7/2/2020), di zona hijau.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,02% ke level 5.988,06. Per akhir sesi satu, apresiasi indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah bertambah lebar menjadi 0,15% ke level 5.996,29. Per akhir sesi dua, IHSG menguat 0,21% ke level 5.999,61.
Apresiasi IHSG pada hari ini lantas menandai apresiasi selama empat hari beruntun.
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru bergerak di zona merah: indeks Nikkei terpangkas 0,19%, indeks Hang Seng melemah 0,33%, indeks Straits Times jatuh 1,5%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,72%.
Terus meluasnya infeksi virus Corona menjadi faktor yang menekan kinerja bursa saham Benua Kuning. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga kemarin, Kamis (6/2/2020), sebanyak 636 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 31.000.
Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.
Meluasnya infeksi virus Corona memang datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri sejatinya memperkirakan bahwa akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Namun, kemungkinan besar estimasi tersebut akan meleset jauh, mengingat banyak wilayah di China yang dikarantina guna menekan meluasnya infeksi virus Corona.
Bahkan, pemerintah China memutuskan untuk memperpanjang libur Tahun Baru China di negaranya. Sejatinya, libur Tahun Baru China pada awalnya dijadwalkan untuk berlangsung pada tanggal 24 hingga 30 Januari 2020.
Berlaku secara nasional, pemerintah China kemudian memperpanjang libur Tahun Baru China hingga akhir pekan kemarin.
Menurut estimasi dari Morgan Stanley, jika libur Tahun Baru China diperpanjang selama satu minggu secara nasional, tingkat produksi industri untuk periode Januari 2020 dan Februari 2020 bisa terpangkas lima hingga delapan persentase poin, seperti dilansir dari CNBC International.
Melansir pemberitaan CNBC International, hingga Senin pagi (3/2/2020) setidaknya 24 provinsi, kota, dan wilayah di China telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk menghentikan operasional hingga setidaknya tanggal 10 Februari.
Bahkan, provensi Hubei yang terdampak paling parah oleh virus Corona telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk tak beroperasi hingga setidaknya tanggal 14 Februari.
Menurut perhitungan CNBC International menggunakan data yang dipublikasikan oleh Wind Information, 24 provinsi, kota, dan wilayah yang memperpanjang libur Tahun Baru China tersebut berkontribusi sebesar lebih dari 80% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) China. Sementara itu, kontribusi dari wilayah-wilayah tersebut terhadap total ekspor mencapai 90%. Di sisi lain, hubungan AS dan China di bidang perdagangan yang mendadak menjadi semakin dingin menjadi sentimen positif yang mewarnai jalannya perdagangan hari ini.
Kemarin, China mengumumkan bahwa pihaknya akan memangkas hingga setengah bea masuk terhadap ratusan produk impor asal AS. Jika ditotal, nilai dari produk impor asal AS yang akan mendapatkan keringanan bea masuk tersebut mencapai US$ 75 miliar.
Berdasarkan keterangan dari halaman Kementerian Keuangan China yang kami kutip dari CNBC International, pemangkasan bea masuk tersebut akan berlaku pada tanggal 14 Februari. Minyak mentah dan kedelai masuk ke dalam daftar produk yang bea masuknya akan menjadi lebih murah pada tanggal 14 Februari.
Menurut pernyataan lainnya dari halaman Kementerian Keuangan China, pelonggaran bea masuk yang diberikan oleh China menyasar barang-barang asal AS yang dikenakan bea masuk tambahan pada tanggal 1 September 2019. Kala itu, AS dan China belum meneken kesepakatan dagang tahap satu.
China mengungkapkan bahwa tanggal 14 Februari dipilih lantaran pada saat yang bersamaan AS akan memangkas hingga setengah bea masuk terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar.
Menurut Kementerian Keuangan China, pemangkasan bea masuk terhadap produk impor asal AS merupakan langkah untuk “mewujudkan perkembangan yang baik dan stabil terkait hubungan dagang China-AS.”
Dari dalam negeri, sentimen positif bagi bursa saham Tanah Air datang dari rilis angka cadangan devisa. Per akhir Januari 2020, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa cadangan devisa berada di level US$ 131,7 miliar, meningkat hingga US$ 2,5 miliar jika dibandingkan dengan posisi per akhir Desember 2019 yang senilai US$ 129,18 miliar.
Cadangan devisa per akhir Januari 2020 nyaris menyamai rekor tertinggi yang dibukukan pada Januari 2018 yakni senilai US$ 131,98 miliar.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2020 tercatat sebesar US$ 131,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2019 sebesar US$ 129,2 miliar," papar BI dalam keterangan resminya, Jumat (7/2/2020).
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,8 bulan impor atau 7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Peningkatan cadangan devisa pada Januari 2020 terutama didorong oleh utang, seiring dengan penerbitan global bond pemerintah. Selain itu, penerimaan devisa migas dan penerimaan valas lainnya ikut berkontribusi dalam mendongkrak posisi cadangan devisa Indonesia.
Pada awal Januari 2020, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan surat utang global dengan denominasi valuta asing (valas). Menurut keterangan resmi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, global bond terbit dalam dua denominasi mata uang yakni dolar AS dan euro.
Pemerintah menerbitkan surat utang global denominasi dolar AS dalam dua seri yaitu RI0230 (tenor 10 tahun) senilai US$ 1,2 miliar dan seri RI 0250 (tenor 30 tahun) senilai US$ 800 juta. Sementara untuk surat utang berdenominasi euro, pemerintah menerbitkan obligasi global dengan seri RIEURO227 senilai EUR 1 miliar (tenor 7 tahun).
Penerimaan valas dari penerbitan surat utang global tersebut mendorong cadangan devisa Indonesia menggemuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Damai Dagang di Depan Mata, IHSG Awali Hari di Zona Hijau
Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,02% ke level 5.988,06. Per akhir sesi satu, apresiasi indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah bertambah lebar menjadi 0,15% ke level 5.996,29. Per akhir sesi dua, IHSG menguat 0,21% ke level 5.999,61.
Apresiasi IHSG pada hari ini lantas menandai apresiasi selama empat hari beruntun.
Terus meluasnya infeksi virus Corona menjadi faktor yang menekan kinerja bursa saham Benua Kuning. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Melansir publikasi Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
Melansir CNBC International, hingga kemarin, Kamis (6/2/2020), sebanyak 636 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 31.000.
Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.
Meluasnya infeksi virus Corona memang datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri sejatinya memperkirakan bahwa akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Namun, kemungkinan besar estimasi tersebut akan meleset jauh, mengingat banyak wilayah di China yang dikarantina guna menekan meluasnya infeksi virus Corona.
Bahkan, pemerintah China memutuskan untuk memperpanjang libur Tahun Baru China di negaranya. Sejatinya, libur Tahun Baru China pada awalnya dijadwalkan untuk berlangsung pada tanggal 24 hingga 30 Januari 2020.
Berlaku secara nasional, pemerintah China kemudian memperpanjang libur Tahun Baru China hingga akhir pekan kemarin.
Menurut estimasi dari Morgan Stanley, jika libur Tahun Baru China diperpanjang selama satu minggu secara nasional, tingkat produksi industri untuk periode Januari 2020 dan Februari 2020 bisa terpangkas lima hingga delapan persentase poin, seperti dilansir dari CNBC International.
Melansir pemberitaan CNBC International, hingga Senin pagi (3/2/2020) setidaknya 24 provinsi, kota, dan wilayah di China telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk menghentikan operasional hingga setidaknya tanggal 10 Februari.
Bahkan, provensi Hubei yang terdampak paling parah oleh virus Corona telah mengabarkan kepada perusahaan-perusahaan untuk tak beroperasi hingga setidaknya tanggal 14 Februari.
Menurut perhitungan CNBC International menggunakan data yang dipublikasikan oleh Wind Information, 24 provinsi, kota, dan wilayah yang memperpanjang libur Tahun Baru China tersebut berkontribusi sebesar lebih dari 80% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) China. Sementara itu, kontribusi dari wilayah-wilayah tersebut terhadap total ekspor mencapai 90%. Di sisi lain, hubungan AS dan China di bidang perdagangan yang mendadak menjadi semakin dingin menjadi sentimen positif yang mewarnai jalannya perdagangan hari ini.
Kemarin, China mengumumkan bahwa pihaknya akan memangkas hingga setengah bea masuk terhadap ratusan produk impor asal AS. Jika ditotal, nilai dari produk impor asal AS yang akan mendapatkan keringanan bea masuk tersebut mencapai US$ 75 miliar.
Berdasarkan keterangan dari halaman Kementerian Keuangan China yang kami kutip dari CNBC International, pemangkasan bea masuk tersebut akan berlaku pada tanggal 14 Februari. Minyak mentah dan kedelai masuk ke dalam daftar produk yang bea masuknya akan menjadi lebih murah pada tanggal 14 Februari.
Menurut pernyataan lainnya dari halaman Kementerian Keuangan China, pelonggaran bea masuk yang diberikan oleh China menyasar barang-barang asal AS yang dikenakan bea masuk tambahan pada tanggal 1 September 2019. Kala itu, AS dan China belum meneken kesepakatan dagang tahap satu.
China mengungkapkan bahwa tanggal 14 Februari dipilih lantaran pada saat yang bersamaan AS akan memangkas hingga setengah bea masuk terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar.
Menurut Kementerian Keuangan China, pemangkasan bea masuk terhadap produk impor asal AS merupakan langkah untuk “mewujudkan perkembangan yang baik dan stabil terkait hubungan dagang China-AS.”
Dari dalam negeri, sentimen positif bagi bursa saham Tanah Air datang dari rilis angka cadangan devisa. Per akhir Januari 2020, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa cadangan devisa berada di level US$ 131,7 miliar, meningkat hingga US$ 2,5 miliar jika dibandingkan dengan posisi per akhir Desember 2019 yang senilai US$ 129,18 miliar.
Cadangan devisa per akhir Januari 2020 nyaris menyamai rekor tertinggi yang dibukukan pada Januari 2018 yakni senilai US$ 131,98 miliar.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2020 tercatat sebesar US$ 131,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2019 sebesar US$ 129,2 miliar," papar BI dalam keterangan resminya, Jumat (7/2/2020).
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,8 bulan impor atau 7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Peningkatan cadangan devisa pada Januari 2020 terutama didorong oleh utang, seiring dengan penerbitan global bond pemerintah. Selain itu, penerimaan devisa migas dan penerimaan valas lainnya ikut berkontribusi dalam mendongkrak posisi cadangan devisa Indonesia.
Pada awal Januari 2020, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan surat utang global dengan denominasi valuta asing (valas). Menurut keterangan resmi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, global bond terbit dalam dua denominasi mata uang yakni dolar AS dan euro.
Pemerintah menerbitkan surat utang global denominasi dolar AS dalam dua seri yaitu RI0230 (tenor 10 tahun) senilai US$ 1,2 miliar dan seri RI 0250 (tenor 30 tahun) senilai US$ 800 juta. Sementara untuk surat utang berdenominasi euro, pemerintah menerbitkan obligasi global dengan seri RIEURO227 senilai EUR 1 miliar (tenor 7 tahun).
Penerimaan valas dari penerbitan surat utang global tersebut mendorong cadangan devisa Indonesia menggemuk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Damai Dagang di Depan Mata, IHSG Awali Hari di Zona Hijau
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular