
Pemakzulan Trump Gagal, Benarkah Ekonomi Dunia Diuntungkan?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 12:10

Di tahun 2020 dan seterusnya, tangan dingin Trump bagi perekonomian AS dan dunia jelas masih dibutuhkan.
Sebagai informasi, pada awal November 2020 pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump sendiri merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.
Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa tangan dingin Trump masih diperlukan bagi perekonomian AS dan dunia. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.
Seperti yang diketahui, kini AS dan China sudah resmi menyegel kesepakatan dagang tahap satu.
Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.
Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.
Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.
Alasan kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada hari Jumat kemarin (31/1/2020), Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa pasca menjadi bagian dari blok ekonomi terbesar di dunia tersebut selama 47 tahun.
Kepergian Inggris dari Uni Eropa pada hari Jumat kemarin sekaligus menandai dimulainya periode transisi yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Selama periode transisi berlangsung, Inggris akan tetap menjadi bagian dari pasar tunggal (single market) dan wilayah kepabeanan (customs union) yang akan membuatnya menikmati perdagangan tanpa tarif dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.
Selama periode transisi tersebut, Inggris akan menggelar negosiasi dengan Uni Eropa terkait dengan kesepakatan dagang kedua belah pihak. Jika sampai kedua belah pihak tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya ‘no-deal Brexit’ akan tetap terjadi.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian global.
Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.
Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian AS dan global tetap bertenaga.
Belum lama ini, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” Melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.
Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata, sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.
“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.
Alasan ketiga yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.
Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang para pendahulunya. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.
Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.
Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian global adalah perang senjata nuklir. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.
Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.
Sebagai catatan, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia melejit sebesar 18,93%.
Jadi, gagalnya pemakzulan Trump yang diinisiasi oleh Partai Demokrat sejatinya merupakan kemenangan bagi perekonomian AS, beserta perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Sebagai informasi, pada awal November 2020 pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump sendiri merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.
Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa tangan dingin Trump masih diperlukan bagi perekonomian AS dan dunia. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.
Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.
Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.
Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.
Alasan kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada hari Jumat kemarin (31/1/2020), Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa pasca menjadi bagian dari blok ekonomi terbesar di dunia tersebut selama 47 tahun.
Kepergian Inggris dari Uni Eropa pada hari Jumat kemarin sekaligus menandai dimulainya periode transisi yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Selama periode transisi berlangsung, Inggris akan tetap menjadi bagian dari pasar tunggal (single market) dan wilayah kepabeanan (customs union) yang akan membuatnya menikmati perdagangan tanpa tarif dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.
Selama periode transisi tersebut, Inggris akan menggelar negosiasi dengan Uni Eropa terkait dengan kesepakatan dagang kedua belah pihak. Jika sampai kedua belah pihak tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya ‘no-deal Brexit’ akan tetap terjadi.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian global.
Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.
Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian AS dan global tetap bertenaga.
Belum lama ini, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” Melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.
Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata, sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.
“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.
Alasan ketiga yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.
Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang para pendahulunya. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.
Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.
Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian global adalah perang senjata nuklir. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.
Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.
Sebagai catatan, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia melejit sebesar 18,93%.
Jadi, gagalnya pemakzulan Trump yang diinisiasi oleh Partai Demokrat sejatinya merupakan kemenangan bagi perekonomian AS, beserta perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular