Pemakzulan Trump Gagal, Benarkah Ekonomi Dunia Diuntungkan?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 12:10
Jenius Dalam Kelola Perekonomian
Foto: REUTERS/Andrew Kelly
Dengan kemenangan Trump dalam upaya pemakzulan yang dilakukan oleh Partai Demokrat, praktis ketidakpastian yang dihadapi oleh pelaku pasar saham dunia menjadi berkurang.

Ada harapan bahwa kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang sering dieksekusi oleh Trump akan terus bisa disalurkan, yang pada akhirnya akan menjaga laju perekonomian global di level yang relatif tinggi.

Sebagai informasi, pada tahun 2017 atau tahun pertama Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.

Trump memang merupakan sosok yang jenius jika berbicara mengenai perekonomian. Tahu betul bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS sedang tak berada di pihaknya, Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui pendahulunya, Barack Obama.

Di akhir tahun 2017, Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).

Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus kepada karyawannya yang pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. Ingat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.

Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).

Pemakzulan Trump Gagal Total, Ekonomi Global Jadi PemenangnyaFoto: Besaran Pajak Individu di AS (US Internal Revenue Service) (Tim Riset CNBC Indonesia)

Hasil dari suntikan insentif fiskal oleh Trump begitu terasa. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump sebagai presiden AS, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang nyaris mencapai 3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam setidaknya 10 tahun

Walaupun ada perlambatan yang cukup signifikan pada tahun 2019 menjadi 2,3%, ternyata jika berkaca kepada sejarah pertumbuhan ekonomi di level 2,3% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.

Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.

Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.

Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang.

Namun, di era pemerintahan Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.

Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.

Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan Trump.

Pelaku pasar saham AS lantas mengapresiasi ciamiknya laju perekonomian di era Trump. Melansir CNBC International yang mengutip data dari Bespoke Investment Group, secara rata-rata di tahun ketiga presiden, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group adalah data sejak tahun 1928.

Pada tahun ketiga Trump sebagai presiden atau tahun 2019, indeks S&P 500 membukukan apresiasi sebesar 28,88%. Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang mencapai 28,88% tersebut menempatkan Trump di posisi yang sangat superior jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.

Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya jika berbicara mengenai kinerja pasar saham. Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.

Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas bahwa Trump terbilang lebih ‘ramah’ bagi pasar saham AS. (ank/hps)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular