
Pemakzulan Trump Gagal, Benarkah Ekonomi Dunia Diuntungkan?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 February 2020 12:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham dunia membukukan kinerja yang ciamik pada perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (6/2/2020).
Di kawasan Asia, seluruh bursa saham utama mengawali hari di zona hijau. Pada pembukaan perdagangan, indeks Nikkei terapresiasi 1,38%, indeks Shanghai naik 0,31%, indeks Hang Seng menguat 1,45%, indeks Straits Times terkerek 0,47%, dan indeks Kospi bertambah 0,88%.
Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terapresiasi 2,07%, indeks Shanghai naik 0,52%, indeks Hang Seng menguat 1,83%, indeks Straits Times terkerek 0,39%, dan indeks Kospi bertambah 2,01%.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia dibuka naik 0,41% ke level 6.002,92. Hingga berita ini diturunkan, IHSG menguat 0,22% ke level 5.991,42.
Jika apresiasi IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menandai apresiasi ketiga secara beruntun.
Pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (5/2/2020), bursa saham AS alias Wall Street mencatatkan apresiasi yang signifikan. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 1,68%, indeks S&P 500 menguat 1,13%, dan indeks Nasdaq Composite terkerek 0,43%.
Pada perdagangan hari ini, Wall Street tampak belum akan kehabisan nafas walau sudah mencetak apresiasi selama tiga hari beruntun. Hingga pukul 13:00 WIB, kontrak futures indeks Dow Jones mengimplikasikan kenaikan sebesar 127,15 poin, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan naik masing-masing sebesar 13,56 dan 53,02 poin.
Jika dihitung persentasenya, maka indeks Dow Jones diimplikasikan menguat sebesar 0,43% pada pembukaan perdagangan nanti malam, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan menguat masing-masing sebesar 0,41% dan 0,56%.
Untuk diketahui, pergerakan sebesar itu pada kontrak futures indeks saham utama AS jarang sekali didapati pada pagi hingga siang hari waktu Indonesia. Pasalnya, dalam periode tersebut pelaku pasar saham AS sedang terlelap dalam tidur.
Pergerakan yang besar pada kontrak futures indeks saham utama AS di pagi hingga siang hari waktu Indonesia biasanya didapati ketika ada sentimen yang begitu signifikan, baik positif maupun negatif.
Pada hari ini, sentimen positif bagi bursa saham dunia datang dari upaya pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh Partai Demokrat yang gagal total.
Seperti yang diketahui, pada pertengahan Desember 2019 DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump. Kala itu, mayoritas anggota DPR AS memberikan persetujuan untuk mencopot Trump dari posisinya sebagai orang nomor satu di AS.
Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Anggota DPR AS menggolkan pasal penyalahgunaan kekuasaan dengan skor 230-197. Sementara itu, pasal kedua yang menyebut bahwa Trump telah menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, digolkan dengan skor 229-198.
Pemakzulan Trump tersebut membuatnya menjadi presiden AS ketiga sepanjang sejarah yang dimakzulkan oleh DPR. Dua presiden AS lainnya yang mengalami nasib serupa adalah Andrew Johnson dan Bill Clinton.
Namun, kini upaya dari Partai Demokrat terbukti gagal total. Kemarin waktu setempat, Senat AS resmi melakukan pemungutan suara atas dua pasal yang didakwakan oleh DPR AS kepada Trump.
Hasilnya, Trump dinyatakan tak bersalah atas kedua pasal tersebut. Melansir CNBC International, sebanyak 52 dari 100 senator menyatakan Trump tak bersalah atas dakwaan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara untuk dakwaan menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, sebanyak 53 senator menyatakan Trump tak bersalah.
Praktis, Trump tetap menempati posisi sebagai orang nomor satu di AS, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Dengan kemenangan Trump dalam upaya pemakzulan yang dilakukan oleh Partai Demokrat, praktis ketidakpastian yang dihadapi oleh pelaku pasar saham dunia menjadi berkurang.
Ada harapan bahwa kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang sering dieksekusi oleh Trump akan terus bisa disalurkan, yang pada akhirnya akan menjaga laju perekonomian global di level yang relatif tinggi.
Sebagai informasi, pada tahun 2017 atau tahun pertama Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.
Trump memang merupakan sosok yang jenius jika berbicara mengenai perekonomian. Tahu betul bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS sedang tak berada di pihaknya, Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui pendahulunya, Barack Obama.
Di akhir tahun 2017, Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).
Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus kepada karyawannya yang pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. Ingat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.
Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).
Hasil dari suntikan insentif fiskal oleh Trump begitu terasa. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump sebagai presiden AS, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang nyaris mencapai 3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam setidaknya 10 tahun
Walaupun ada perlambatan yang cukup signifikan pada tahun 2019 menjadi 2,3%, ternyata jika berkaca kepada sejarah pertumbuhan ekonomi di level 2,3% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.
Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.
Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang.
Namun, di era pemerintahan Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan Trump.
Pelaku pasar saham AS lantas mengapresiasi ciamiknya laju perekonomian di era Trump. Melansir CNBC International yang mengutip data dari Bespoke Investment Group, secara rata-rata di tahun ketiga presiden, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group adalah data sejak tahun 1928.
Pada tahun ketiga Trump sebagai presiden atau tahun 2019, indeks S&P 500 membukukan apresiasi sebesar 28,88%. Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang mencapai 28,88% tersebut menempatkan Trump di posisi yang sangat superior jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.
Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya jika berbicara mengenai kinerja pasar saham. Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.
Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas bahwa Trump terbilang lebih ‘ramah’ bagi pasar saham AS. Di tahun 2020 dan seterusnya, tangan dingin Trump bagi perekonomian AS dan dunia jelas masih dibutuhkan.
Sebagai informasi, pada awal November 2020 pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump sendiri merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.
Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa tangan dingin Trump masih diperlukan bagi perekonomian AS dan dunia. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.
Seperti yang diketahui, kini AS dan China sudah resmi menyegel kesepakatan dagang tahap satu.
Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.
Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.
Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.
Alasan kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada hari Jumat kemarin (31/1/2020), Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa pasca menjadi bagian dari blok ekonomi terbesar di dunia tersebut selama 47 tahun.
Kepergian Inggris dari Uni Eropa pada hari Jumat kemarin sekaligus menandai dimulainya periode transisi yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Selama periode transisi berlangsung, Inggris akan tetap menjadi bagian dari pasar tunggal (single market) dan wilayah kepabeanan (customs union) yang akan membuatnya menikmati perdagangan tanpa tarif dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.
Selama periode transisi tersebut, Inggris akan menggelar negosiasi dengan Uni Eropa terkait dengan kesepakatan dagang kedua belah pihak. Jika sampai kedua belah pihak tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya ‘no-deal Brexit’ akan tetap terjadi.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian global.
Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.
Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian AS dan global tetap bertenaga.
Belum lama ini, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” Melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.
Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata, sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.
“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.
Alasan ketiga yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.
Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang para pendahulunya. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.
Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.
Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian global adalah perang senjata nuklir. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.
Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.
Sebagai catatan, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia melejit sebesar 18,93%.
Jadi, gagalnya pemakzulan Trump yang diinisiasi oleh Partai Demokrat sejatinya merupakan kemenangan bagi perekonomian AS, beserta perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Trump Dimakzulkan, Wall Street Tetap Akan Menghijau Hari Ini
Di kawasan Asia, seluruh bursa saham utama mengawali hari di zona hijau. Pada pembukaan perdagangan, indeks Nikkei terapresiasi 1,38%, indeks Shanghai naik 0,31%, indeks Hang Seng menguat 1,45%, indeks Straits Times terkerek 0,47%, dan indeks Kospi bertambah 0,88%.
Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terapresiasi 2,07%, indeks Shanghai naik 0,52%, indeks Hang Seng menguat 1,83%, indeks Straits Times terkerek 0,39%, dan indeks Kospi bertambah 2,01%.
Jika apresiasi IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menandai apresiasi ketiga secara beruntun.
Pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (5/2/2020), bursa saham AS alias Wall Street mencatatkan apresiasi yang signifikan. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones naik 1,68%, indeks S&P 500 menguat 1,13%, dan indeks Nasdaq Composite terkerek 0,43%.
Pada perdagangan hari ini, Wall Street tampak belum akan kehabisan nafas walau sudah mencetak apresiasi selama tiga hari beruntun. Hingga pukul 13:00 WIB, kontrak futures indeks Dow Jones mengimplikasikan kenaikan sebesar 127,15 poin, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan naik masing-masing sebesar 13,56 dan 53,02 poin.
Jika dihitung persentasenya, maka indeks Dow Jones diimplikasikan menguat sebesar 0,43% pada pembukaan perdagangan nanti malam, sementara indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq Composite diimplikasikan menguat masing-masing sebesar 0,41% dan 0,56%.
Untuk diketahui, pergerakan sebesar itu pada kontrak futures indeks saham utama AS jarang sekali didapati pada pagi hingga siang hari waktu Indonesia. Pasalnya, dalam periode tersebut pelaku pasar saham AS sedang terlelap dalam tidur.
Pergerakan yang besar pada kontrak futures indeks saham utama AS di pagi hingga siang hari waktu Indonesia biasanya didapati ketika ada sentimen yang begitu signifikan, baik positif maupun negatif.
Pada hari ini, sentimen positif bagi bursa saham dunia datang dari upaya pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh Partai Demokrat yang gagal total.
Seperti yang diketahui, pada pertengahan Desember 2019 DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump. Kala itu, mayoritas anggota DPR AS memberikan persetujuan untuk mencopot Trump dari posisinya sebagai orang nomor satu di AS.
Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Anggota DPR AS menggolkan pasal penyalahgunaan kekuasaan dengan skor 230-197. Sementara itu, pasal kedua yang menyebut bahwa Trump telah menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, digolkan dengan skor 229-198.
Pemakzulan Trump tersebut membuatnya menjadi presiden AS ketiga sepanjang sejarah yang dimakzulkan oleh DPR. Dua presiden AS lainnya yang mengalami nasib serupa adalah Andrew Johnson dan Bill Clinton.
Namun, kini upaya dari Partai Demokrat terbukti gagal total. Kemarin waktu setempat, Senat AS resmi melakukan pemungutan suara atas dua pasal yang didakwakan oleh DPR AS kepada Trump.
Hasilnya, Trump dinyatakan tak bersalah atas kedua pasal tersebut. Melansir CNBC International, sebanyak 52 dari 100 senator menyatakan Trump tak bersalah atas dakwaan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara untuk dakwaan menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, sebanyak 53 senator menyatakan Trump tak bersalah.
Praktis, Trump tetap menempati posisi sebagai orang nomor satu di AS, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Dengan kemenangan Trump dalam upaya pemakzulan yang dilakukan oleh Partai Demokrat, praktis ketidakpastian yang dihadapi oleh pelaku pasar saham dunia menjadi berkurang.
Ada harapan bahwa kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi yang sering dieksekusi oleh Trump akan terus bisa disalurkan, yang pada akhirnya akan menjaga laju perekonomian global di level yang relatif tinggi.
Sebagai informasi, pada tahun 2017 atau tahun pertama Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.
Trump memang merupakan sosok yang jenius jika berbicara mengenai perekonomian. Tahu betul bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS sedang tak berada di pihaknya, Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui pendahulunya, Barack Obama.
Di akhir tahun 2017, Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).
Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus kepada karyawannya yang pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. Ingat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.
Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).
![]() |
Hasil dari suntikan insentif fiskal oleh Trump begitu terasa. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump sebagai presiden AS, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, diikuti pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018. Pada tahun 2019, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,3%.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang nyaris mencapai 3% merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dalam setidaknya 10 tahun
Walaupun ada perlambatan yang cukup signifikan pada tahun 2019 menjadi 2,3%, ternyata jika berkaca kepada sejarah pertumbuhan ekonomi di level 2,3% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.
Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.
Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang.
Namun, di era pemerintahan Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan Trump.
Pelaku pasar saham AS lantas mengapresiasi ciamiknya laju perekonomian di era Trump. Melansir CNBC International yang mengutip data dari Bespoke Investment Group, secara rata-rata di tahun ketiga presiden, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group adalah data sejak tahun 1928.
Pada tahun ketiga Trump sebagai presiden atau tahun 2019, indeks S&P 500 membukukan apresiasi sebesar 28,88%. Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang mencapai 28,88% tersebut menempatkan Trump di posisi yang sangat superior jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.
Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya jika berbicara mengenai kinerja pasar saham. Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.
Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas bahwa Trump terbilang lebih ‘ramah’ bagi pasar saham AS. Di tahun 2020 dan seterusnya, tangan dingin Trump bagi perekonomian AS dan dunia jelas masih dibutuhkan.
Sebagai informasi, pada awal November 2020 pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump sendiri merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.
Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa tangan dingin Trump masih diperlukan bagi perekonomian AS dan dunia. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.
Seperti yang diketahui, kini AS dan China sudah resmi menyegel kesepakatan dagang tahap satu.
Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.
Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.
Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.
Alasan kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada hari Jumat kemarin (31/1/2020), Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa pasca menjadi bagian dari blok ekonomi terbesar di dunia tersebut selama 47 tahun.
Kepergian Inggris dari Uni Eropa pada hari Jumat kemarin sekaligus menandai dimulainya periode transisi yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Selama periode transisi berlangsung, Inggris akan tetap menjadi bagian dari pasar tunggal (single market) dan wilayah kepabeanan (customs union) yang akan membuatnya menikmati perdagangan tanpa tarif dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.
Selama periode transisi tersebut, Inggris akan menggelar negosiasi dengan Uni Eropa terkait dengan kesepakatan dagang kedua belah pihak. Jika sampai kedua belah pihak tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya ‘no-deal Brexit’ akan tetap terjadi.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian global.
Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.
Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian AS dan global tetap bertenaga.
Belum lama ini, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” Melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.
Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata, sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.
“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.
Alasan ketiga yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.
Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang para pendahulunya. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.
Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.
Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian global adalah perang senjata nuklir. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.
Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.
Sebagai catatan, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia melejit sebesar 18,93%.
Jadi, gagalnya pemakzulan Trump yang diinisiasi oleh Partai Demokrat sejatinya merupakan kemenangan bagi perekonomian AS, beserta perekonomian global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Trump Dimakzulkan, Wall Street Tetap Akan Menghijau Hari Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular